Rencana

368 51 5
                                    

Aku berdiri di samping musalla, mengawasi para santri yang hilir mudik di sekitarku. Mereka sedang bersiap untuk mengikuti pembelajaran pagi. Setelah bakda Subuh tadi, aku menjadi imam dan menyemak pengajian Al Quran. Lalu barusan memeriksa beberapa santri agar melaksanakan salat Dhuha.

Sepertinya, masih diperlukan banyak pembenahan. Para santri perempuan ini seolah tak bergerak kalau tak diawasi untuk sekadar salat atau bersiap belajar.

Aku mengembuskan napas lewat mulut. Tantangan yang cukup berat dan banyak. Membenahi semua dari nol. Rasanya, seolah-olah aku harus membersihkan rumah yang telah lama tak berpenghuni.

Dua minggu sudah di tempat ini. Untuk beradaptasi, ternyata tak semudah yang kubayangkan. Adat istiadat kebiasaan yang jauh berbeda. Pun perihal Haidar yang ternyata tak mudah untuk kenal dan dekat dengan orang baru. Tapi, aku akan tetap mengusahakannya. Toh, dia masih balita. Kesempatan masih terbentang luas.

Selain urusan pesantren, ada satu hal yang sedikit mengusik hatiku. Foto keluarga Gus Ali dan mendiang Ning Zainab yang masih saja menempel di dinding kamar.

Aku tetap berusaha maklum. Bagaimana pun juga, almarhumah Ning Zainab adalah ibu Haidar. Pun, dia sudah meninggal. Tak mungkin akan ada masalah, kan? Ini hanya kecemburuan tak beralasan.

Dan hal yang saat ini menjadi fokusku adalah para santri di sini sangat minim pengetahuan perihal adab, terutama terhadap guru. Padahal, salah satu jalan keberkahan ilmu adalah dengan menghormati guru.

Para guru bantu di sini ternyata bukan datang dari tetangga sekitar, tetapi beberapa orang yang merupakan teman dan saudara Gus Ali dari desa lain. Ada yang dari Desa Ranupakis, Wonorejo, Sawaran, dll.

Aku dipasrahi Gus Ali untuk membimbing murid yang sudah sedikit lebih dewasa. Kebetulan, sekolah di sini masih Madrasah Diniyah saja. Karena untuk sekolah setingkat SMP, masih mengikuti program kejar paket B. Jumlah santri belum cukup untuk diadakan pendidikan formal mandiri. Ini pun hanya ada empat tingkat.

Dan karena merasa benar-benar harus banyak fokus perihal adab, kali ini aku menunggu salah satu pengajar yang masih ada hubungan saudara dengan Gus Ali.

Inayah namanya. Dia perempuan berumur pertengahan dua puluhan. Sepertinya seumuran dengan Zain. Dia datang beberapa menit sebelum jam belajar dimulai.

Perempuan berputra satu itu berjalan melewati pintu samping pesantren. Pintu khusus sebagai akses masuk ke pesantren putri.

"Dik, Iin ..." Suaraku cukup lantang, tapi tetap kuusahakan tak berlebihan.

"Dalem, Neng?" Dik Inayah berjalan cepat ke arahku.

Aku memeriksa penunjuk jam ponsel, masih ada sekitar lima belas menit sebelum jam pelajaran dimulai.

Tanganku mendarat di pundak sepupu jauh suamiku itu. Mendekatkan wajah ke arahnya. "Kita ngobrol di rumah sebentar, yuk, Dik! Ada hal yang agak penting."

Dik Iin mengangguk. Lantas berjalan hampir beriringan denganku ke dalam rumah melalui pintu belakang.

Aku mempersilakannya duduk, lantas menyuguhkan segelas minuman gelasan dan membuka toples suguhan.

"Gini, loh, Dik. Kayaknya, anak-anak santri di sini benar-benar perlu sedikit tambahan pendidikan adab. Menurut Dik Iin bagaimana?"

"Hmm ... saya setuju sama pendapat Neng Zia. Masalahnya, memang di sini itu belum ada pendamping perempuan yang mukim. Empat tahun terakhir ini, kan, Mas Ali sendirian, Neng." Dik Iin memelankan suara ketika mengucapkan kalimat terakhirnya.

Aku mengangguk-angguk pelan. "Jadi bagaimana, Dik?"

"Ya, sekarang kan ada sampean, Neng. Kita coba saja pelan. Dan ... semoga saja Neng Zia enggak kaget sama macam-macamnya santri di sini. Santri pondok kecil seperti ini, berbeda jauh sama santri pondok besar."

"Iya, kamu bener banget, Dik. Sangat beda jauh. Tapi, tentunya kita bisa, kan, ikhtiyar?"

"Oh, tentu saja, Neng."

Kami terus saja mengobrol hingga akhirnya beranjak untuk memulai kegiatan belajar pagi.

***

Bakda Isya', aku duduk di ruang tengah sembari menulis beberapa hal yang perlu kulakukan. Untuk kali ini, berbagai rencana untuk mengurus pesantren, sengaja kutulis dalam buku khusus yang tadi siang kubeli. Semua ini agar rencana berjalan sistematis dan terarah.

Sejenak, aku teringat salah seorang santri yang berada di kelasku tadi pagi. Gadis berbadan berisi dan berkulit kecokelatan. Entahlah, aku tak benar-benar tahu, apa yang membuatku memerhatikannya. Aku hanya merasa, remaja itu sedikit pendiam.

Namanya Khoiriyah. Dia tak seperti santri lain yang aktif mengikuti pelajaran. Gadis ini sedikit berbeda. Bahkan ... seperti selalu ketinggalan pelajaran dan kehilangan fokus.

Aku akan mengusahakan untuk tahu apa dan bagaimana tentangnya lebih banyak. Karena sepertinya ada banyak rahasia dari sikap pendiamnya itu.

Aku kembali meneruskan kegiatanku sembari kembali mengingat kejadian lain. Kejadian sekitar seminggu yang lalu. Kala itu, aku mengobrol dengan Gus Ali di ruang tengah. Aku duduk di sampingnya menemaninya muthala'ah pada kursi ruang tengah.

"Aku merintis pesantren ini sekitar delapan tahun lalu, empat tahun setelah menikahi Zainab. Dulu, hanya ada anak mengaji bakda Maghrib. Lalu, dua tahun kemudian, kami merintis TPQ. Hanya ada dua guru bantu. Satu alumni salah pesantren modern di Wonorejo dan satu lagi, orang Sawaran, bukan alumni pesantren, hanya saja pernah mengenyam pendidikan madrasah diniyah." Gus Ali melempar pandangan lurus ke depan, setelah sebelumnya mengistirahatkan punggung, bersandar di sandaran kursi.

Aku berusaha menyimak tiap kalimat yang dikatakannya.

"Tanah dan bangunan ini bagaimana, Gus? Memang sudah ada?"

Suamiku menggeleng pelan. "Sudah ada. Tapi, hanya rumah dan Musalla putra. Dulu, almarhum pamanku yang di sini. Tapi, karena beliau meninggal dan istrinya menikah lagi tanpa memiliki putra, akhirnya aku yang menggantikannya. Ini tanah wakaf, Neng. Bukan milik pribadi. Dan bangunan ini, hasil swadaya jamaah thariqah. Dan sebagian dari uang pribadi juga."

Kami terus saja bercakap-cakap. Gus Ali banyak bercerita tentang asal mula dia merintis pesantren. Tapi ... ada hal yang sedikit mengganjal di hatiku. Sayangnya, aku tak mampu bertanya. Mengapa dia memanggil almarhumah istrinya dengan panggilan Zainab saja? Sementara dia memanggilku Neng Zia.

Dan rasanya, panggilan Zainab, jauh lebih akrab daripada panggilan dengan embel-embel Neng.

(Complete) Jurnal PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang