Hadiah

292 56 2
                                    

Sungguh aku terkejut ketika lantunan Adzan Subuh membangunkanku. Aku bangun pada waktu Subuh dan tak melaksanakan sholat malam? Yang langsung terpikir dalam benak adalah Gus Ali. Mengapa dia tak membangunkanku? Bukankah biasanya dia juga melaksanakan sholat malam?

Geram? Tentu saja. Menurutku suamiku itu egois sekali. Dia seenaknya minta dibangunkan, tapi ketika dia terbangun lebih dulu, malah aku tak dibangunkan.

Aku beranjak cepat, berdiri di sisi ranjang. Tapi, seketika tubuhku terasa oleng yang membuatku terjatuh dalam posisi telungkup. Rasanya sedikit bergoyang-goyang. Mungkin hanya efek kaget saja.

Aku beringsut sembari berusaha tenang. Lantas, berdiri perlahan. Tapi, seketika semua kembali terasa bergoyang, dan aku terjatuh lagi dalam posisi tertelungkup

Kuputuskan untuk duduk sesaat. Tapi belum juga duduk, lampu yang menyala membuatku mendongak.

"Neng, kamu kenapa?" Gus Ali berlari mendekati. Lantas, membantu untuk kembali naik ke ranjang.

"Kenapa enggak membangunkanku tadi, Gus?" Aku menatap suamiku dengan tatapan tajam.

"Maafkan aku! Dini hari tadi aku keluar sama Pak Kades. Santri yang pernah mabuk di orkes itu, ditemukan mabuk lagi di pos kamling dekat perempatan sana. Aku sudah membangunkanmu dan minta izin. Kamu mengangguk dan bilang iya tadi." Gus Ali memasangkan selimut di tubuhku.

"Oh." Nada suaraku merendah. "Mungkin tadi aku enggak sadar."

"Kamu kenapa? Pusing?" Suamiku memeriksa dahiku dengan punggung tangannya. "Enggak panas, kok. Malah dingin banget."

Aku menggeleng pelan. "Enggak tahu. Rasanya semua bergoyang-goyang. Kayak naik kapal laut."

"Sudah, kamu tunggu di sini dulu. Aku ke mushola buat ngasih tahu anak santri biar sholat berjemaah duluan. Sebentar lagi aku kembali."

Aku hanya mengangguk. Sementara suamiku segera berlalu keluar kamar, setelah sebelumnya membelai pucuk kepalaku.

Aku terlentang dengan selimut membungkus tubuh. Dalam posisi ini, rasanya aku baik-baik saja. Tak merasakan hal aneh. Sama sekali tak terasa pusing. Tapi, ketika kuangkat kepala sedikit saja, rasanya semua bergoyang-goyang. Sebenarnya aku kenapa?

Menit kemudian, seperti yang dijanjikan, Gus Ali kembali lagi ke kamar.

"Kamu mau sholat di mushola? Ayo, kubantu! Tapi, aku siapin tempat dulu, ya?"

Suamiku mengambil beberapa bantal dan membawanya keluar kamar. Tak lama kemudian, dia kembali lagi. Membantuku beranjak dari ranjang.

***

"Menstruasinya lancar, Neng?" Seorang bidan desa memeriksaku. Dia mencopot alat pemeriksa tekanan darah dari tanganku.

Salah satu kenyamanan hidup di desa. Aku masih bisa mendapat pelayanan kesehatan dengan memanggil tenaga medis ke rumah.

"Wah, enggak ngitung, Bu. Lupa. Saya enggak terlalu memerhatikan kapan terakhir menstruasi. Pokoknya, kalau sudah keluar dari masa tiga minggu, saya sudah enggak perduli lagi. Yang penting enggak istihadhoh."

"Lah, masih kebiasaan sebelum menikah rupanya. Sekarang sudah menikah, kan, Neng." Bidan berkacamata itu mengulum senyum menatapku.

Aku menyeringai, menyadari kebodohanku. Bagaimana aku bisa lupa tentang hal ini?

"Jadi, saya sakit apa, Bu?"

"Kita periksa pakai alat tes kehamilan saja, ya? Ayo, saya bantu ke kamar mandi."

Aku berjalan dengan dipapah Bu Bidan. Melingkarkan tangan di pundaknya. Sejenak lalu, tanganku tak sengaja menarik kerudung instannya yang membuatnya seketika membetulkannya.

Dan ketika sampai di ambang pintu, seketika suamiku beranjak dan mendekati kami. " Biar saya yang memapah, Bu."

Bidan itu mengangguk. Dan kini Gus Ali yang membantuku untuk ke kamar mandi.

"Ini, Gus, Nengnya dibantu, ya?" Bu Bidan menyodorkan satu set alat tes kehamilan pada suamiku.

Gus Ali menerimanya degan mimik wajah sedikit terkejut. Memandang alat itu. Lantas, mendongak, memandang Bu Bidan. Masih dengan mimik yang sama. "Jadi, istri saya hamil?"

"Ya dites dulu, Gus. Mana bisa tahu kalau enggak dites." Bidan itu terkekeh. Pun denganku.

Suamiku menyeringai. "Oh, iya, ya."

Kami melangkah masuk kamar mandi. Gus Ali menutup pintu dengan masih memapahku. Rasanya aneh. Bagaimana aku harus buang air kecil dengan dibantu suamiku. Ada rasa malu tiba-tiba muncul di hati.

"Kayaknya aku bisa sendiri, Gus. Njenengan keluar saja. Malu."

"Hah? Malu?" Gus Ali menatapku tak percaya. "Kok aneh, sih, Neng? Mana bisa malu?" Dia terkekeh.

Aku tersipu mendengar kekehannya. Sedikit salah tingkah. "Iya, sih."

"Sudah, sudah! Ayo aku bantu."

Gus Ali mendekatkan posisiku ke bibir bak kamar mandi. Membuatku bisa berpegangan. Lantas membantuku menampung urin di cawan penampungan.

Selama dia membantuku, mata ini tak lepas sedikit pun darinya. Suamiku ini begitu telaten merawatku.

Gus Ali sedikit membungkuk, memerhatikan alat tes yang mulai terendam urin. Sementara aku masih berpegangan pada bibir bak mandi.

Kami menunggu hasil tes dengan sabar. Satu garis telah muncul. Jantungku benar-benar berdegup kencang. Harap-harap cemas. Berdoa semoga garis kedua muncul dengan jelas. Hingga akhirnya, garis kedua benar-benar terpampang, yang membuat suamiku seketika menegakkan badan dan memelukku.

Pagi ini menjadi pagi yang teramat indah. Enam bulan setelah pernikahan, kami mendapat hadiah kejutan luar biasa dari Allah.

(Complete) Jurnal PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang