Hadiah yang Setimpal

288 53 4
                                    

Kaca mobil sudah tertutup. Mesin mobil pun sudah dinyalakan. Pendingin diatur ke posisi medium. Sembari mengembuskan napas seketika lewat mulut, aku duduk, melempar semua beban punggung ke sandaran kursi mobil. 

Kegiatan yang cukup menyenangkan, andai aku tak dalam keadaan sangat lelah. Sambutan ramah dari Bu Kades dan beberapa kader PKK. Masih teringat jelas kalimat Bu Kades yang sempat kudengar tadi.

"Alhamdulillah, akhirnya jami'yah muslimat kita bisa dipimpin istri Non Ali. Jadi, sama kayak jami'yah muslimin. Soalnya sebelum ini almarhumah istri Non Ali endak pernah ikutan."

Kalimat Bu Kades terasa janggal bagiku. Kupikir, aku menggantikan tugas almarhumah. Tapi, bagaimana mungkin dia tak pernah mengikuti kegiatan jami'yah?

"Kamu kenapa? Kok sepertinya kecapekan banget?" Gus Ali masih fokus mengemudi. Memang jarak majelis ke rumah tak terlalu jauh. Tapi, jalanan berbatu membuat laju mobil sedikit lambat.

"Oh, enggak apa-apa, Gus. Hari ini memang lumayan melelahkan. Ditambah tadi ada santri baru. Dan ... ada sedikit hal yang mengganjal di benak."

"Mengganjal?"

"Iya, alasan aneh sang ibu untuk memasukkan putrinya ke pesantren."

"Aneh bagaimana?"

"Entahlah, bagiku sedikit aneh--" pembicaraan kami terputus karena telah sampai di rumah.

Aku turun dari mobil dan berjalan ke arah teras dengan langkah yang kupercepat.  Bayangan kasur dan bantal empuk menari-nari di kepala. Sementara suamiku memasukkan mobil ke garasi.

Sengaja, tanpa menghidupkan lampu, aku melangkah masuk kamar. Kulempar tas tangan ke ranjang, lantas seketika menjatuhkan diri dalam posisi telungkup. Ah, nyamannya ...

Untuk beberapa menit, aku terlelap. Tapi, tiba-tiba terasa pijatan lembut di betis. Aku membuka mata. Kulihat suamiku sudah duduk di bibir ranjang, sementara lampu telah menyala.

Aku beringsut sembari mengucek mata dan membenahi hijab. Duduk di samping suamiku. "Gus."

"Capek banget, Neng? Ganti baju dulu, baru tidur." Gus Ali menepuk pelan pundakku.

Aku hanya menyeringai. "Inggih, Gus. Lumayan."

"Sana, gih, ganti dulu!"

Aku beranjak, lantas mengambil tas dan menaruhnya di tempat semestinya. Berjalan ke arah pintu untuk mengganti baju dengan pakaian tidur yang tergantung di sana. Sementara suamiku masih tak beranjak dari tempatnya.

"Oh, ya, Neng. Memang, apa alasan si ibu santri baru itu? Kok kamu anggap aneh?"

Aku mulai mengganti pakaian dengan daster Arab lengan pendek. Berdiri menghadap dinding, memunggungi suamiku. "Oh, dia memondokkan anaknya karena kurang berprestasi di sekolah dan bandel. Padahal di pesantren itu pembelajarannya sedikit lebih berat dan padat daripada di luaran. Hampir dua puluh empat jam, loh."

"Owalah ... itu. Memang beginilah kenyataan lapangan. Kamu hidup di lingkungan agamis, Neng. Pesantren Abi cukup besar, pun tempat kamu nyantri, ya, pesantren besar. Jarang ditemui hal-hal macam di sini. Kalau pesantren kampung, ya, begini ini. Seolah-olah pesantren itu tempat pembuangan atau bengkel ajaib yang bisa mengubah anak bandel jadi sholih secara cepat dan mudah." Gus Ali terkekeh.

Aku berbalik, melangkah ke arah suamiku dengan dahi berkerut, setelah usai mengganti pakaian.. Kini kantukku sedikit menghilang. Sembari mendaratkan pantat di sampingnya, aku berkata, "Mengubah anak bandel cepat dan mudah? Itu cuma mimpi, Gus. Mana ada itu? Bukankah salah satu dari tiga pilar penting dalam tholabul ilmi itu adalah peran dan tirakat orang tua?"

Gus Ali menaikkan kedua bahunya sembari tersenyum sedikit mencebik. "Begitulah pemikiran orang awam, Neng. Instan dan enggak mau pusing."

"Jadi, bagaimana?"

"Sebagai pendidik, tugas kita hanya mendidik semampu kita. Selebihnya, serahkan pada Allah."

"Berat." Aku menjeda kalimatku beberapa saat. Melempar pandangan ke lantai. Lantas, kembali memandang pada suamiku "Oh ya, Gus, kemarin Dik Iin sempat ngomong kalau njenengan sering ngomongin beberapa masalah santri putra dengan Dik Arif. Apakah masalahnya serupa ini?"

"Mirip. Makanya, Neng. Aku sangat terbantu dengan adanya kamu menemaniku berjuang. Urusan santri putri, ada yang menangani. Alhamdulillah, enggak salah memilih pendamping hidup." Gus Ali mencubit pelan pipiku. Ada gelenyar aneh di dada. Darahku berdesir cepat. Dan, pipiku menghangat.

Apakah ini artinya Gus Ali mulai mencintaiku? Sebelumnya, dia memang lembut, tapi tak pernah bersikap semanis ini. Memasak, mungkin itu salah satu penyebabnya.

Baiklah, selelah apa pun, aku akan bertekad untuk total melayani keluargaku ini.

"Oh, ya, Gus. Njenengan besok mau saya masakin apa?"

"Apa saja. Makanan apa pun yang tersaji, pasti kumakan. Oh, ya, hari ini kamu ikut masak, kah?"

"Iya, masakan hari ini semua saya yang buat."

"Owh ... Enggak kerepotan kalau harus masak sehari tiga kali? Kayaknya makanan tadi baru terus. Biasanya kan cuma pagi dan sore."

Aku menggeleng cepat. Berusaha meyakinkan bahwa aku tak masalah dengan menyiapkan makanan.

"Jangan terlalu capek, Neng. Jaga kesehatan dan atur waktu dengan baik. Aku mau ke kamar Haidar dulu." Gus Ali beranjak dari ranjang.

Tapi, sebelum melangkah lebih jauh, aku segera memanggilnya kembali, "Gus, kalau Haidar saya saja yang menemani tidur bagaimana? Maunya, sih, saya ajari buat tidur sendiri. Apa boleh?"

Gus Ali menghentikan langkah, seketika berbalik menghadap padaku. "Kamu mau ngajarin Haidar? Oh, iya, dia sudah mulai bisa mandi sendiri juga, ya? Boleh-boleh. Kamu coba ngomong sama dia. Mungkin kalau ibunya sendiri, dia lebih nurut. Selama ini dia selalu beralasan ini dan itu kalau kutinggal."

"Baik, Gus." Aku beranjak dan melangkah keluar kamar, menuju kamar putraku.

Dan salah satu kalimat suamiku, kembali terngiang di telinga.

'Mungkin kalau ibunya sendiri, dia lebih nurut.'

Hadiah yang setimpal untuk hari yang sangat melelahkan.

(Complete) Jurnal PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang