Keputusan

406 57 3
                                    

Pagi hari, beberapa waktu setelah jamaah Subuh, seperti biasa, aku mengisi pengajian sorogan di Musholla pesantren. Pengajian pembacaan kitab yang dipimpin oleh seorang guru, di mana para santri mendengarkan sembari mengasahi--memberi arti dan kedudukan i'rob pada kitab. Di sela-sela pembacaan, pengajar juga memberi keterangan dan beberapa kisah salafush shalih atau Nabi-Nabi. Pengajian kitab tak wajib dan bisa diikuti oleh semua santri. Baik itu santri baru maupun yang sudah senior.

"... Wallahu A'lamu Bi as-showaab." Aku menutup Kitab Afdhalush Shalawat karangan Syaikh Yusuf bin Ismail An Nabhani. Dan, segera menyambung ucapanku sebelum para santri membaca doa Kafarat Majlis "Mohon perhatiannya sebentar?"

Beberapa santri putri tampak menghentikan kegiatan mereka, yang tadi sempat sibuk membenahi kitab dan memasukkan alat tulis. Mereka memandang ke arahku dan suasana seketika tenang.

"Karena tak sampai sebulan lagi insya Allah kitab ini akan khatam, dan menyambung informasi yang saya sampaikan akhir tahun pelajaran lalu--yaitu meneruskan pengajian dengan Kitab Mukasyafatu al Qulub karya Imam Ghazaly. Maka, dengan ini saya sampaikan kemungkinan hal itu tidak saya lanjutkan. Tapi, untuk lebih jelasnya, kita menunggu kabar selanjutnya saja."

"Yah ...." Terdengar suara para santri sedikit kecewa. Lalu, diikuti bisik-bisik sedikit ribut.

"Tenang saja, ini belum pasti. Kita tunggu kabar selanjutnya saja, ya?"

"Na'am, Ustadzah ...." para santri menjawab serempak, diikuti pembacaan doa Kafaratul Masjid setelah aku mulai berisyarat dengan mengangkat tangan dan mulai membaca doa.

"Subhanaka Allahumma Wa Bihamdika Asyhadu An La Ilaha Illa Anta. Astaghfiruka. Wa Atuubu Ilaika."

Aku beranjak dan melangkah keluar dari Mushalla, menuju kamarku. Aku memang sengaja menunda keputusan tentang pengajian kitab sesuai saran Bu Nyai seminggu yang lalu, ketika proses nazhor. Karena menurut Bu Nyai, jika perjodohan menemui titik temu, maka pernikahan insya Allah akan dilaksanakan bulan Dzulhijjah. Yang artinya sekitar sebulan ke depan.

Dan sebab hal ini, kemarin ketika rapat Dewan Asatidz, aku sengaja tak mendapat jam mengajar pasti. Hanya sebagai guru piket biasa.

"Ustadzah Zia, ditimbali Bu Nyai," Ustadzah Azizah seketika berucap, saat melihatku masuk kamar. Dia sedang duduk bersebelahan dengan Ustadzah Diana, salah satu rekan sekamarku yang lain.

"Oh, inggih, Ustadzah." Aku yang masih mendekap Kitab, melangkah lebih cepat menuju lemari kitab. Meletakkan kitabku dan berbalik untuk segera memenuhi panggilan Bu Nyai.

Dan hanya beberapa langkah dari lemari, tiba-tiba salah satu rekan sekamarku berdeham. "Saya mendengar kabar-kabar, nih, Ustadzah."

Seketika aku menoleh. Ternyata Ustadzah Diana yang tadi berdeham dan menyeletuk. Aku mengernyit memandang dua rekanku yang sama-sama sedang mengulum senyum. Dahiku berkerut, sedikit kebingungan. "Kabar?"

"Katanya, ada yang mau hijrah ke Lumajang, nih. Enak, dong, satu kabupaten sama saya." Kini, Ustadzah Azizah yang menyeletuk.

Tentu saja, aku tersentak kaget. Bagaimana dua rekanku ini bisa tahu?

"Oh, niku. Anu, belum pasti." Aku sedikit celingukan.

"Kan, dipanggil Bu Nyai lagi. Sepertinya positif, sih." Ustadzah Diana terkekeh seraya menutup bibir dengan telapak tangan kanan.

"Duh, anu ... saya buru-buru dulu. Enggak baik kalau membuat Bu Nyai menunggu." Aku segera berlalu. Mencoba lari dari ledekan dua teman kamarku itu. Dan kurasakan, mereka terkekeh bersama sepeninggalku.

***

"Saya sudah menghubungi Kiai Ahmad kemarin. Soalnya, Gus Ali merasa cocok sama Ustadzah. Dan, Kiai ngendika kalau semua keputusan diserahkan sama Ustadzah Zia. Pripun?"

Suara Kiai Fadhil terasa bagai rentetan tembakan yang tepat mengenai jantungku. Masyaallah, apakah benar Gus Ali memang jodohku? Karena beberapa hari lalu, aku telah melaksanakan istikharah dengan hasil cukup baik. Pun, hatiku merasa cocok dengan Kiai muda itu. Hal yang baru kali ini terjadi. Padahal, aku sempat ragu dan khawatir pihak Gus Ali yang kurang berkenan, karena sebelum ini, selalu begitu kejadiannya.

"I-insy Allah, Kyai. Kulo manut." Suaraku benar-benar lirih dan bergetar. Aku sangat gugup.

Kiai dan Bu Nyai seketika bertahmid hampir serentak. Sementara aku, menunduk semakin dalam. Berhadapan dengan guru-guruku ini. Di ruang tengah ndalem.

"Kalau begitu, Ustadzah bisa memilih, antara pulang atau menunggu di sini. Karena, untuk tahun ini, sudah endak mengajar lagi di pesantren ini." Suara Bu Nyai terdengar sangat merdu di telingaku.

"I-inggih. Kulo matur ke Abi dulu. Tapi, keinginan kulo, mau mengkhatamkan Al Quran dan meneruskan pengajian kitab yang tinggal sedikit."

"Alhamdulillah. Insya Allah ilmunya barokah manfaat. Selama khidmah di sini, Ustadzah Zia benar-benar membantu pesantren. Kontribusi dan jasanya sangat banyak." Suara Kiai terdengar bergetar. Serasa ucapan itu memang berasal dari hati yang terdalam.

"Amin ..." Aku mengusap wajah dengan kedua telapak tangan.

"Kalau begitu, kita akan jadi saudara, Ustadzah. Saya akan panggil Dik Zia saja, boleh?" Bu Nyai terkekeh. Diikuti Kiai setelahnya. Membuatku makin tersipu malu.

(Complete) Jurnal PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang