Jalan-Jalan Pagi

336 53 4
                                    

Seusai menjadi imam salat Subuh, aku langsung turun dari Musalla. Para santri yang sudah lebih senior, kupasrahi untuk menyemak bacaan Al Quran adik-adik mereka. Sementara aku sendiri segera berganti pakaian lantas menuju ruang depan, mengintip Gus Ali, siapa tahu dia akan berangkat berjalan-jalan pagi. Aku akan menemaninya. Nanti agak siang, aku pun akan menyiapkan masakan di dapur. Sementara salat Dhuha bisa kulakukan nanti di jam istirahat. Rencana yang sempurna.

Meskipun aku ingin melakukannya sejak hampir seminggu lalu, tapi baru bisa kulakukan hari ini. Karena, harus mengajari beberapa santri perih pengawasan kegiatan agar tak terlalu kacau. Jadi, meski tak kuawasi, paling tidak kegiatan mereka masih tertata dengan baik.

Sembari mengaji di ruang tamu, sesekali kulempar pandangan ke arah mushola putra. Mewaspadai, kalau-kalau suamiku keluar dari mushola. Dan memang, sekitar jam lima lewat sepuluh menit, kulihat dia keluar.

Segera saja kusudahi bacaan. Lantas, beranjak gegas dan melangkah ke arah pintu. Membukanya dan berjalan ke luar rumah.

"Gus, mau jalan-jalan pagi?" Aku berdiri di teras. Suaraku pun sedikit lantang.

Suamiku yang tadinya berjalan menunduk, memerhatikan kaki yang melangkah menuruni undakan teras, menoleh seketika dan menatapku dengan raut wajah sedikit keheranan.

"I-iya, Neng. Kok?"

Aku tersenyum, lantas melangkah turun dari teras. Memakai sandal dan setengah berlari mendekati suamiku.

"Iya, anak santri yang ngomong kalau Gus biasanya jalan-jalan pagi keliling kebun." Aku berdiri di depan suamiku dengan senyum semringah.

Tapi ... raut wajah keheranannya masih bertahan. Apakah dia tak suka kalau aku menemaninya?

"Neng enggak nyemak anak santri mengaji?"

Aku menggeleng pelan. Tetap berusaha mempertahankan senyuman. "Sudah kupasrahkan sama anak yang senior. Gus enggak suka, ya, kalau kutemani keliling kebun?"

Suamiku menggeleng cepat. "Eng-enggak, kok. Tapi--"

"Ya, sudah, ayo!"

Gus Ali mengangguk cepat, lantas melangkah tanpa memakai alas kaki. Dan melihatnya demikian, aku pun melakukan hal yang sama. Kutinggalkan sandal di depan mushola.

Kegiatan pagi yang cukup menyenangkan. Gus Ali bercerita banyak hal padaku, setelah membaca dzikir rutin sembari berjalan kaki. Ternyata rutinitas jalan-jalan paginya itu bukan hanya sekadar keliling kebun biasa. Dia membaca beberapa ijazah dari Aba mertua dan gurunya.

Suasana pegunungan dengan kabut yang masih rendah, membawa suasana berbeda. Langit nasih sedikit gelap dengan warna perunggu menyembur dari ufuk timur. Sementara itu, udara dingin, tak seberapa terasa efek langkah kaki yang membuat tubuh jadi sedikit lebih hangat.

Banyak yang diceritakan suamiku pagi ini. Tentang masa kecilnya, tentang kebun tebu ini yang juga merupakan tanah pemberian jemaah pengajian Aba mertua.

"... sebenarnya kebun tebu ini sempat akan diwakafkan juga. Tapi, dengan saran almarhum Aba, tanah ini menjadi tanah hibah. Karena jika diwakafkan, tanah ini nantinya hanya bisa dijadikan tanah untuk bangunan pesantren. Sedangkan sebelum itu tak bisa digunakan. Jadi, kalau dijadikan tanah hibah untuk pesantren, maka tanah ini bisa digarap dengan hasil yang bisa digunakan untuk operasional pesantren. Alhamdulillah, hasilnya bisa untuk membangun beberapa kamar dan ruang kelas." Gus Ali melangkah perlahan. Kakinya menjejak tanah lembab dengan mantap.

Sementara aku, sedikit terpincang-pincang mana kala kaki ini mengenai batu. Dan saat mengetahui ini, Gus Ali memegangi lenganku, gegas. Menahan agar aku tak terjatuh.

"Belum terbiasa bertelanjang kaki, ya, Neng?" Dia menatapku sembari mengulas senyum. Dia membantuku untuk kembali berdiri tegak. Lantas, kami kembali berjalan beriringan.

"Iya, Gus. Lumayan agak sakit."

"Aku terbiasa melakukannya, diajari Aba. Selain baik untuk kesehatan, hal ini juga baik untuk pikiran. Matahari pagi, udara segar, membaca dzikir, dan menyatu dengan alam. Perpaduan yang sempurna." Gus Ali menghentikan langkah. Lantas mendongak dengan sembari memejam. Dia menghirup napas dalam dan mengembuskannya perlahan.

"Katanya, njenengan suka jalan-jalan pagi begini sama almarhumah, ya, Gus?" Aku sedikit mendongak memerhatikan wajah suamiku dari samping.

Dan mendengar pertanyaanku, dia menoleh seketika. Untuk sesaat, ekspresi wajahnya tampak kaget. Tapi, segera disembunyikan dengan senyuman dari bibirnya lagi. "Iya, Neng. Tahu dari mana?"

"Oh, para khadimah yang ngomong."

"Oh .... Ayo, kita lanjutkan satu putaran lagi, lalu langsung kembali masuk. Bukannya kamu harus menjadi imam shalat Dhuha? Kan itu program yang udah ditulis." Gus Ali meraih telapak tanganku, seolah ingin membimbingku untuk kembali mengikuti langkahnya.

Dan sejenak terbersit dalam pikiranku, sepertinya suamiku ini kurang suka jika harus membahas almarhumah istrinya. Apakah momen kehilangan itu sangat menyakitkan baginya?

"Ehm ... ada anak santri yang sudah saya pasrahi." Aku sedikit menyeringai. Kaki ini pun ikut melangkah seiring langkah suamiku.

Gus Ali menghentikan langkah, lantas menoleh dan memiringkan kepala. Memandangku dengan mengernyit. "Kenapa menyuruh anak santri?"

"Oh, saya mau belajar memasak hari ini. Jadi, sholat Dhuhanya nanti pas waktu istirahat."

"Oh, begitu." Suara Gus Ali sangat lembut.

Bagiku, sejatinya lelaki ini adalah suami yang baik. Tutur katanya lembut, perangainya juga halus. Dia pun penyayang terhadap Haidar. Tapi ... mengapa dia begitu sulit untuk mencintaiku.

Kami kembali meneruskan langkah. Mengobrol beberapa hal ringan lagi. Dan, Gus Ali kembali menanyakan program-program yang telah kuwacanakan. Kuperhatikan, wajahnya tampak seketika semringah saat membahas hal ini.

(Complete) Jurnal PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang