Melalui celah daun pintu antara ruang tengah dan ruang tamu, aku sedikit mengintip. Mencoba memastikan apakah memang ada tamu.Dan setelah yakin bahwa Gus Ali sedang menemui tamu, aku kembali menutup pintu rapat, lantas melangkah hendak menuju ruang kantor sekolah santri putri. Mungkin bercakap-cakap pada jam istirahat sembari menunggu jam pelajaran berikutnya, bisa menghilangkan kebosanan.
Tapi, baru saja beberapa langkah, suamiku sudah membuka pintu dan memanggil. Seketika aku menoleh dan berbalik. "Dalem, Gus?"
"Ada tamu, Neng. Bisa tolong bikinkan kopi? Tiga, ya?"
"Oh, inggih. Tamunya siapa, Gus? Aku barusan ngintip. Bajunya resmi-resmi. Enggak kayak biasanya."
"Oh, kenalannya Pak Kepala Desa."
"Oh." Aku segera berbalik dan melanjutkan langkah ke dapur untuk membuat kopi. Sementara Gus Ali kembali menutup pintu.
***
"Haidar mau oseng tempe?" Aku memperlihatkan sepiring oseng tempe yang tersaji di meja ketika kami makan bersama siang ini.
"Hu'um." Haidar mengangguk cepat. Menyodorkan piringnya kepadaku.
"Makan yang banyak, biar cepet gede. Nanti kalau gede, Haidar yang jagain Ummah." Aku tersenyum lebar memandang anak sambungku itu.
Kalimat ini memang biasa kuucapkan untuk menyemangati Haidar perihal apa pun. Biasanya dia akan seketika bersemangat jika aku mengucapkan kalimat-kalimat itu. Aku sangat nenyayangi bocah ini sekarang.
"Oh, ya, Gus, tadi tamunya itu ada kepentingan apa? Soalnya enggak kayak biasanya." Aku mengambilkan lauk untuk suamiku.
"Kita makan dulu saja! Habis ini aku ceritakan."
"Oh, baiklah. Penasaran saja, Gus. Tamu yang enggak aku kenal dan penampipannya kayak pejabat."
"Hmm?" Gus Ali mendongak, memandangku seraya tersenyum dan sedikit mendengkus. "Masak pejabat dilihat dari baju."
"Ya, kan, kayak, Gus." Aku terkekeh. Lantas, duduk untuk mulai menikmati makan siang kami setelah berdoa bersama.
Hal yang sangat kami hindari adalah, mengobrol ketika makan. Karenanya, kami makan bersama siang ini tanpa diselingi obrolan. Baru setelah selesai makan, aku mulai beranjak dan membereskan piring kotor di meja. Hal ini juga pembelajaran dalam bentuk teladan kepada Haidar.
Seperti biasa, Haidar berlari keluar rumah seusai makan. Sepertinya dia ada janji untuk bermain layang-layang dengan beberapa santri siang ini. Dia bercerita padaku tadi malam ketika hendak tidur. Sementara suamiku beranjak dan melangkah ke ruang tengah.
Seusai membereskan meja, aku segera menyusul suamiku. Duduk di sebelahnya. "Ayo, cerita! Tamu tadi siapa?"
"Ih, pingin tahu banget, ya?" Suamiku menyipitkan mata dengan senyuman mengejek.
"Ye ... malah ngerjain. Aku cuma penasaran. Soalnya tadi juga sempat ngintip. Kayaknya mereka bawa mobil. Dan seperti bukan orang sini."
"Iya, mereka kenalan Pak Kades. Orang Kota Lumajang, Neng. Ke sini juga atas petunjuknya. Mereka menawarkan bantuan."
"Bantuan? Buat pesantren?"
Gus Ali mengangguk. "Iya. Bantuan dari pemerintah, sih, ini. Bukan dari kantong pribadi."
"Wah, pas, donk, Gus. Kita, kan, memang sedang butuh dana. Bisa bantu-bantu membayar bisyaroh para asatidz." Aku membenahi posisi, duduk semakin menghadap pada suamiku.
"Kutolak." Nada suara suamiku sangat datar dan ringan. Dia menatapku sembari memiringkan kepala dan mengangkat alis.
"Loh, bantuan, kok, ditolak, Gus?" Aku mengernyit tak percaya.
"Kamu pikir bantuan dari pemerintah itu datang tiba-tiba kayak orang ngasih duit biasanya? Enggak sesederhana itu, Neng." Kini Gus Haidar menepuk pelan tanganku yang tertangkup di atas lutut.
"Lalu?"
"Mudahnya begini. Kalau aku mau menerima bantuan itu, harus ada beberapa prosedur yang dipenuhi. Di antaranya membuat proposal dan menyerahkannya kepada mereka."
"Ah, kan, tinggal bikin saja, Gus."
"Enggak sesimpel itu juga. Setelah proposal diserahkan, aku punya dua pilihan. Menyerahkan sejumlah uang terlebih dahulu sebelum dana turun, atau akan dipotong setelah dana turun."
"Hmm? Kok aneh?" Aku mengernyit dan memiringkan kepala.
"Memang begitu. Aku ragu uang itu untuk apa. Makanya, aku tolak. Apa itu untuk pelicin atau lainnya. Kalau pelicin, bukankah itu masuk suap? Kalau memotong dana bantuan pesantren, bukankah masuk korupsi? Jika kita memakai uang yang didapat dari jalan macam itu, bagaimana pengaruhnya kepada pesantren?"
"Ya ... tambah megah bangunannya dan tambah banyak uang kasnya." Aku terkekeh.
"Tapi ..." Gus Haidar mendekatkan wajah ke wajahku.
"Tapi, pengaruh sama batin santri dan keberkahan ilmu." Aku menyeringai menatap mata tajam suamiku.
"Nah, itu alasanku. Aku enggak mau mempertaruhkan jiwa-jiwa thullabul ilmi hanya demi uang yang tak seberapa. Mungkin kita bisa memiliki gedung yang kokoh, bisyaroh yang memadai, dan kas yang cukup. Tapi, kalau keberkahan ilmu diangkat dari pesantren ini, untuk apa?"
Aku mengangkat kedua bahu dan memiringkn kepala. Mendengkus sekali. "Bener, sih, Gus. Lagipula, rezekinya pasti sudah ada. Ini hanya proses."
"Makanya, lebih baik kita fokus menjaga amanah dan merawat para santri dengan baik. Jangan lupa, riyadhoh batin juga diperkuat. Kita enggak akan bisa apa-apa kalau bukan karena Allah yang memampukan. Bukankah begitu?"
Aku mengangguk dan tersenyum. Kembali terpesona dengan pemikiran-pemikiran suamiku ini.
Lantas, sejenak teringat kembali percakapanku dengan ummah beberapa hari yang lalu. Menikah dengan duda biasanya sangat dewasa. Suamiku juga sangat telaten dalam membimbingku. Hanya saja ... pembanding. Ya, adanya pembandinglah yang kali ini masih mengganjal.
Aku masih belum bisa selegowo ummah dan kedua umi tiriku. Mereka tak memikirkan apa itu cinta picisan. Kehidupan mereka sudah sampai kepada pemahaman tentang tujuan hidup.
Tapi, manusiawi, kan, kalau aku yang baru pertama kali tahu apa itu cinta dan mencintai, ingin mendapat cinta utuh? Layaknya cerita romansa manis?
KAMU SEDANG MEMBACA
(Complete) Jurnal Pesantren
SpiritualFauziah, perempuan yang baru menikah di usia yang sangat matang, 33 tahun. Dengan pengalaman sebagai ustadzah di pesantren tempatnya menimba ilmu, dia berpikir bahwa kehidupan akan berjalan mudah. Terlebih lagi, ketika tiba-tiba seorang Kiai muda be...