Kembali ke Pesantren

695 61 4
                                    

Dengan sangat antusias, aku menjinjing dua tas besar ke ruang tamu. Lalu, meletakkannya di kursi depan. Satu tas ransel hitam yang sudah sangat menggembung dan penuh sesak, dan satu tas perjalanan cokelat ukuran tanggung yang juga tak kalah penuh. Hari ini, tanggal lima belas bulan Syawal, aku akan kembali lagi ke pesantren.

Kusingkap korden pada jendela di samping pintu. Mengintip ke luar rumah. Matahari baru saja terbit. Lagit tak terlalu terang. Dan kurasakan udara dingin yang terbawa angin masuk melalui celah-celah jendela dan pintu. Meskipun rumah kami berada di daerah pinggiran pesisir Pasuruan, kalau pagi macam ini, udara tetap saja terasa dingin.

"Waduh ... rajin banget. Padahal kita baliknya masih bakda Dzuhur, loh, Mbak." Zain, adikku, yang tadi berbaring sambil membaca buku di salah satu kursi panjang, segera beranjak. Duduk menjuntai. Menutup buku dan meletakkannya di meja.

"Bakda Dzuhur apanya? Jangan banyak mimpi, kamu, Zain! Aku ini harus kembali secepat mungkin. Kamu juga sudah menjadi Ustadz dan Kepala Daerah, harusnya juga berangkat pagi. Jadilah contoh buat adik-adik murid kamu!"

"Ya ... Ya ... baiklah, Al Mukarromah Ustadzah Fauziah." Zain berdiri. Bibirnya mencebik. Lantas, berlalu ke dalam rumah.

Aku mendengkus kasar. Tapi, tetap berusaha menahan emosi. Berpura-pura baik-baik saja. Toh, sejak dulu aku sudah terbiasa melakukannya. Sikap Zain yang semacam itu, terkadang melukaiku, meskipun aku tahu, dia pasti tak akan menyadarinya.

Zain dan Ummah mungkin tak paham, betapa inginnya aku segera kembali ke pesantren. Sungguh jika liburan telah tiba, aku merasa sangat tersiksa. Padahal, sepanjang Ramadhan, aku kembali lagi ke pesantren untuk mengisi pengajian kitab. Aku hanya ada di rumah pada dua puluh hari terakhir bulan Sya'ban dan lima belas hari di awal bulan Syawal. Tapi, rasanya sudah seperti berabad-abad.

Entah mengapa, tetangga kanan-kiri, begitu kurang kerjaan rasanya. Mereka sangat perhatian kepadaku. Selalu menanyakan kapan aku akan menikah. Tentu saja, menjadi perempuan kampung yang melajang sampai berumur lebih dari tiga puluh tahun, adalah hal yang cukup berat. Hampir semua orang menggunjingku. Meskipun sudah kuusahakan untuk berpura-pura tuli, tapi nyatanya aku tetap tak mampu. Hatiku masih terasa ngilu.

Dulu, tak cuma tetangga yang melakukannya, bahkan Ummah pun bersikap sama. Memang, sih, dia tak menanyakan perihal jodoh secara langsung kepadaku. Memangnya, anak pesantren sepertiku akan mencari jodoh sendiri?

Tapi, sangat kentara kalau Ummah seolah-olah sangat kelimpungan. Dia meminta tolong kepada banyak orang untuk mencarikanku jodoh. Dan memang, bukannya tak ada yang melamar, hanya saja selalu ada saja hal kuramg cocok yang menyebabkan kegagalan perjodohan. Entah itu dariku, atau dari pihak lelaki.

Lagi pula, sangat tak mungkin, putri seorang Kyai Ahmad, bisa tak ada yang menghendaki. Meskipun aku putri sulung dari istri ketiga Abi, tapi tentu saja, nama besar Abi tetap jadi privilage. Apalagi, sebenarnya wajahku juga tak jelek-jelek amat. Bahkan, masih bisa dibilang cantik. Ini yang kadang membuat orang-orang keheranan. Kenapa hingga berumur 33 tahun, aku masih saja melajang.

Dan kemarin sore, aku kembali dikejutkan oleh pembicaraan antara Zain dan Ummah. Kala itu, aku hendak masuk rumah. Entah mengapa, tiba-tiba pendengaranku menjadi sangat tajam. Aku bisa mendengar dengan sangat jelas pembicaraan mereka.

"Tapi, Mah, bagaimana kulo bisa melamar Hanum, kalau Mbak Zia belum menikah?"

"Sabarlah sedikit, Nak! Sebentar lagi. Jangan sampai kebahagiaanmu itu dibangun di atas penderitaan mbakmu! Ummah bukannya terlalu sayang sama Zia, tapi mengertilah!Kalian berdua itu sama-sama anak Ummah."

Mungkin, Zain berpikir bahwa aku tak mendengar pembicaraan mereka. Aku sudah tahu tentang ketertarikan Zain pada Hanum sejak lama. Dan tentu saja, keadaanku sebagai kakak perempuan yang masih saja melajang, seolah menjadi batu sandungan.

Kuperiksa penunjuk jam ponsel. Sudah jam setengah sembilan pagi. Tasku dan beberapa bawaan lain, sudah tertata rapi di kursi. Sementara itu, kulihat Zain masih malas-malasan di kamar. Sepertinya, dia sedang mengobrol via panggilan telepon.

Aku yang sedari tadi duduk sembari membaca buku di sebelah barang-barang kami, segera beranjak menuju kamar adikku itu. Kuketuk daun pintu cukup keras, membuatnya seketika tersentak kaget dan berbalik melihatku.

"Apaan, sih?"

"Telponin Cak Ji, sana! Tanyain apa sudah berangkat!"

"Bentar, lagi sibuk."

Lagi, aku mengetuk daun pintu sedikit lebih keras. "Sambung nanti telponannya! Aku yang bakal salamin sama Hanum. Kamu tenang saja, bakal kurayu biar enggak menerima lamaran lelaki lain. Masih sisa setahun, kan?"

Zain berdecak, lantas kembali berbicara di ponsel. Sepertinya dia meminta izin pada lawan bicaranya, yang kuyakin adalah Hanum, untuk mengakhiri obrolan mereka.

Dengan mengernyit, Zain menatapku. "Mau ngomong apa?"

"Ya tanyain, udah berangkat apa belum? Lagian, kita masih harus mampir ke ndalem-nya Abi buat pamit sama Umi Miftah. Habis itu masih harus ke ndalem Umi Ruqoyyah. Terus nungguin Dik Zahrah. Kamu pikir bocah itu enggak rewel, apa?"

"Iya, iya! Lagian, balik ke pondok kok ya semangat banget." Zain kembali berdecak. Sementara aku hanya mencebik lantas berbalik untuk kembali duduk di kursi dan meneruskan membaca bukuku.

"Mbak ..." suara pekikan Zain berbarengan dengan terdengarnya bunyi mesin mobil yang berhenti di halaman.

"Zain, ayo! Cak Ji sudah datang!"

(Complete) Jurnal PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang