Aku melangkah keluar kelas dan seketika melihat Dik Iin sudah menungguku, duduk di teras kelas. Dia seketika menoleh dan beranjak bersamaan dengan riuh suara langkah kakiku dan para santri.
"Neng, saya mau ngomongin rencana yang kemarin." Perempuan berkacamata dan berkulit kuning langsat itu kini menghadap padaku.
"Oh, itu. Ayo, kita ke dalam saja."
Aku turun dari teras, memakai sandal sebelum berjalan hampir beriringan dengan sepupu jauh suamiku ini.
Kupersilakan Dik Iin duduk di sofa ruang tengah. Menyodorkan minuman gelas dan membukakan toples berisi kue kering.
"Gimana, Dik? Ada rencana? Aku sudah menulis tentang apa saja yang bisa dilakukan. Seperti, bersalaman ketika bertemu para guru, mencari guru bantu yang bisa mukim, dan belajar bahasa Madura halus. Nah, ini aku yang enggak bisa." Aku sedikit terkekeh.
"Oh, itu, sih, bisa kita biasakan perlahan. Lambat laun Neng Zia juga akan bisa. Kan tiap hari juga berinteraksi sama para khadimah di dapur."
"Benar juga, ya. Tapi ... untuk guru mukim, sepertinya harus kita usahakan secepatnya. Biar bisa menjaga anak santri untuk salat berjemaah."
Aku memang sengaja menekankan pada pencarian guru mukim, meski sejatinya belum meminta izin kepada Gus Ali tentang hal ini. Semua karena kejadian pagi tadi tentang kemampuan memasak almarhumah Ning Zainab. Membuatku ingin bisa menyiapkan sarapan untuk Gus Ali. Siapa tahu cara ini mampu membuatnya perlahan mencintaiku.
"Saya juga sudah ngobrol kemarin sama Mas Arif, Neng. Dia juga sedikit cerita tentang beberapa masalah santri putra. Suami saya itu, kan, biasanya memang sering ngobrol sama Mas Ali."
"Santri putra? Ada masalah memangnya? Kok aku enggak tahu, ya, Dik?"
"Ya tentu saja ada, Ning. Mungkin Mas Ali enggak mau terlalu membebani. Kan, sampean juga belum sebulan di sini. Masak sudah harus mikir ini dan itu."
Aku mengangguk-angguk saja mendengar penjelasan Dik Iin. Hingga, tiba-tiba suara riang bocah lelaki, membuatku tersentak kaget.
"Umma ..." Rasanya begitu menyenangkan mendengar nada riang Haidar memanggilku dengan sebutan Umma. Bocah lelaki itu berlari kecil menghampiriku. Seorang santri putri mengekorinya.
Aku menoleh dengan mata yang membulat senang. Seketika senyum tersungging di bibirku. "Dalem, Nak?"
"Kapan ke pasarnya?" Haidar duduk sedikit menghadap padaku dengan kedua tangan yang mendarat di lengan.
"Habis ngajar, ya? Umma belum izin sama Abuya."
"Non mau sekarang, Ma. Ayok!" Haidar menggoyang-goyang lenganku. Bibirnya dimajukan dengan dahi yang berkerut.
Aku sedikit merasa geli dengan panggilan Haidar terhadap dirinya sendiri. Mungkin dia berpikir panggilan Non Haidar dari para santri, adalah nama lengkapnya sendiri.
Aku melirik jam dinding. Masih ada setengah jam hingga jam pelajaran berikutnya. Kalau harus ke pasar, rasanya tak cukup. Tapi kalau hanya ke toko di pertigaan, mungkin masih bisa.
"Kalau mau sekarang, kita cuma bisa beli di toko pertigaan sana, bukan di pasar. Bagaimana?"
Putra tiriku itu makin memajukan bibirnya. "Ya wes, di toko itu saja."
"Kalau gitu, kita ke Abuya dulu, ya?" Aku membelai lembut punggung kepala berambut ikal itu.
Haidar mengangguk senang. Tentu saja, hatiku tak kalah senang. Bisa dekat dengan Haidar dan belajar memasak, adalah caraku untuk bisa memenangkan hati suamiku. Dan perkara pesantren, sementara waktu bisa diserahkan kepada guru bantu.
***
Bakda Isya, dua hari setelah pembicaraanku dengan Dik Iin. Seperti biasa, aku menemani suamiku muthalaah. Membuatkannya kopi panas. Menemaninya menikmati kopi itu. Ditambah lagi, aku membuatkan pisang goreng kali ini. Pisang yang kudapat dari salah satu khadimah.
Aku sengaja menitip sesisir pisang dan sekilo ketela ketika khadimah yang biasa berbelanja ke pasar hendak pulang kemarin. Dan pagi tadi, pisang dan ketela sudah ada di tanganku.
Aku bertekad memenangkan hati Gus Ali, sebagaimana yang telah dilakukan Ning Zainab. Aku yakin sekali dia akan luluh, cepat atau lambat. Apalagi, barusan dia tampak sangat senang ketika aku menyuguhkan pisang goreng ini.
Dan kali ini, aku menyampaikan ideku untuk mencari guru bantu yang bisa bermukim di pesantren. Semakin cepat dapat, semakin baik. Aku bisa lebih total untuk mengurus Gus Ali dan Haidar.
Aku beru bisa membicarakan ini dengan suamiku, karena semalam dia ada pengajian rutin di Kecamatan Ranuyoso. Sedangkan kemarin malam, dia mengisi acara jamiyah sarwah, yaitu acara jamiyah selawat dan pengajian di kampung ini.
"Guru mukim, Neng?" Suamiku mengernyit dan menatapku dengan tatapan tak percaya.
"Iya, Gus. Biar bisa membantu kita menangani santri. Dan ini juga biar saya bisa lebih banyak melayani njenengan." Aku memiringkan kepala menatap suamiku penuh harap.
"Hmmm .... Gini loh. Neng. Banyak pertimbangan kenapa aku tidak mengambil guru bantu yang mukim di sini. Pertama tentunya karena jumlah santri yang masih bisa kita tangani sendiri. Yang kedua, dengan adanya guru bantu, akan menambah biaya dan kesibukan khadimah di dapur. Kita harus menyediakan makan juga, kan? Pun bisyarohnya?" Kalimat suamiku terjeda oleh helaan napas.
"Selama ini, bisyaroh para pengajar ini kan dari uang pribadi, Neng. Uang I'anah para santri, anggaplah belum ada. Hanya ada dana dari donatur tetap, jema'ah thariqah. Jadi, selama kita masih bisa menangani sendiri, untuk apa menambah? Karena para santri pun mondok di sini hampir gratis, kan, Neng?" Suamiku mendaratkan telapak tangan di pundakku. Dan sikapnya itu, sukses membuatku sedikit salah tingkah.
"Oh, begitu. Kalau seumpama dananya mencukupi, apa bisa, Gus?"
"Insyaallah. Kita pikir nanti saja, Ning. Untuk sekarang, kan, kita masih bisa mengurus sendiri."
Aku mengangguk pelan beberapa kali. Lantas, seketika teringat tentang wacana pendidikan adab yang tadi pagi kubicarakan dengan Dik Iin.
"Gus, saya ada rencana sama Dik Iin untuk diterapkan sama Mbak-Mbak Santri. Sudah kami tulis di buku. Njenengan lihat, ya?"
Dan mendengar hal itu, seketika kulihat wajah suamiku berbinar cerah. Aku yakin, sepiring pisang goreng memang jurus yang ampuh memenangkan hati suamiku ini.
Aku beranjak ke kamar untuk mengambil catatan. Lantas segera menyerahkannya pada suamiku ketika telah duduk kembali di sampingnya.
Senyum semringah masih bertahan di wajah suamiku ketika dia membaca catatan itu. Dia mendongak, menatapku sembari menyunggingkan senyum. Sementara itu, buku catatanku masih berada di tangannya.
"Aku senang sekali dengan rencana-rencana ini, Neng. Insyaallah ini akan jadi gerbang menuju kesuksesan pesantren, setelah beberapa tahun aku hanya mengurusnya sendiri." Gus Ali menutup buku catatanku. Lantas tangannya tiba-tiba menggenggam tanganku. Sementara matanya menatapku hangat.
Ada desir hangat menjalari seluruh tubuh. Kekecewaan yang sempat hadir pagi tadi, perlahan memudar dan berganti dengan harapan luar biasa. Dan ini membuatku bertekad untuk meneruskan rencana untuk menyiapkan sendiri makanan untuk keluargaku.
Sebenarnya, aku ingin menanyakan perihal yang dibicarakan suamiku dengan Dik Arif, suami Dik Iin yang juga membantu mengajar di sini. Tapi, kuurungkan dulu. Karena, kuipkir lagi, mungkin saja suamiku ini memang tak mau terlalu membebaniku.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Complete) Jurnal Pesantren
SpiritualFauziah, perempuan yang baru menikah di usia yang sangat matang, 33 tahun. Dengan pengalaman sebagai ustadzah di pesantren tempatnya menimba ilmu, dia berpikir bahwa kehidupan akan berjalan mudah. Terlebih lagi, ketika tiba-tiba seorang Kiai muda be...