Hijrah

394 59 3
                                    

Tak pernah terpikir sebelumnya, jika Zahra yang manja dan ceroboh, akan selengket itu denganku. Jumat pagi, di saat akad nikah akan segera dilaksanakan, adik terkecil kami itu selalu menemaniku di kamar. Tak hanya pagi ini, bahkan semalam pun, dia tidur di kamarku, memelukku sambil menangis haru.

Aku masih ingat isakan dan ucapan-ucapannya semalam. "Neng, sering-sering ngirim ke pondok, ya? Aku sekarang sendirian."

Kubelai lembut pipi kemerahan adik tiriku itu. Tenggorokanku rasanya tersekat. Kami memang saudara tiri dari orangtua yang berpoligami. Tapi, karena teladan dan orangtua kami yang melakukannya dengan cara tepat, membuat kami tak merasakan aroma persaingan atau permusuhan. Bahkan, dibanding dengan Mazidah, kakak kandung Zahra, adik bungsu kami itu lebih dekat denganku sejak nyantri. Mungkin juga faktor umur yang membuatku lebih telaten menghadapi Zahra yang manja dan ceroboh.

Pagi ini pun, Zahra masih saja sesenggukan. Dia tak beranjak sedikit pun dari sampingku. Sampai-sampai, beberapa kali Umi Miftah memperingatkannya untuk segera keluar jika pengantin pria sudah dipersilakan masuk.

Terdengar bacaan doa dan khutbah nikah dari pengeras suara, pertanda akad nikah akan segera dilaksanakan. Suasana yang sempat sedikit riuh dengan suara tamu dan hadirin, seketika menjadi lebih tenang.

Memang, yang hadir dalam acara pagi ini lumayan banyak. Selain undangan walimah, yaitu para lelaki yang mengikuti prosesi akad nikah di mushalla depan rumah, pun para tamu dari Lumajang, yang merupakan para kerabat suamiku. Tadi, kalau tak salah dengar, iring-iringan keluarga mempelai wanita, bahkan hampir tiga puluh mobil. Mereka datang sekitar jam setengah sembilan pagi.

Ketika terdengar suara lantunan selawat pertanda prosesi akad dan walimah usai, lagi-lagi Zahra memelukku seraya terisak. Seolah-olah aku akan pergi sangat jauh dan tak bisa bertemu lagi. Padahal, tentu saja aku akan sangat sering berkunjung ke pesantren, karena Kiai memberikan jadwal khusus pengajian bulanan di pesantren putra untuk Gus Ali.

"Neng ...."

"Zahra ...." Ummah dan Umi Miftah berusaha melepas pelukan Zahra dariku.

Dan, dengan usaha yang cukup sulit, akhirnya Zahra mau melepas pelukannya. Tapi, dia tetap saja terisak, menyeka air mata dengan punggung tangannnya. Padahal, bukannya Zahra disuruh pergi, dia hanya disarankan menepi untuk prosesi Temu Manten setelah akad.

Karena ulah Zahra ini, membuatku sedikit kehilangan fokus. Karenanya, baru ketika adikku telah menepi dan aku hanya didampingi ketiga ibuku, membuatku kembali merasakan ketegangan yang luar biasa.

Suara para lelaki dan langkah kaki, terdengar semakin dekat. Sepertinya, iring-iringan pengantin pria akan segera memasuki kamar. Jantungku berdegup sangat kencang. Darah berdesir hebat. Dan kurasakan, keringat dingin mulai menetes di pelipis.

Menit kemudian, tampak Gus Ali diapit Abi dan Kiai Fadhil. Lelaki berwajah simpatik yang kini telah menjadi suamiku itu tersenyum hangat. Dia melangkah perlahan mendekatiku. Aku segera meraih punggung tangan suamiku itu dan menciumnya.

Dan ... sebuah momen yang tak terduga terjadi. Bukan hanya lantunan doa yang kurasakan di pucuk kepalaku, tapi terdengar isak tangis di sela-sela doa yang terucap.

Masyaallah ... lelaki ini menangis ketika bersalaman denganku.

***

Kami menginap di rumah Nguling hanya tiga hari. Dan di hari keempat setelah akad nikah, Gus Ali memboyongku ke Lumajang.

Pagi ini, Abi, ketiga ibuku, dan saudara-saudariku ikut mengantar. Rombongan tampak seperti iring-iringan karnaval saja. Bahkan, aku sempat kegelian dibuatnya.

Tak hanya itu, pesta pernikahan dibuat sangat mewah. Mengundang banyak tamu. Mungkin, karena Abi dan Ummah begitu bahagia.

Dan tentu saja, di antara semua, Zain adalah yang paling berbahagia. Keinginannya melamar Hanum, insyaallah akan berjalan lancar.

Gus Ali mengemudi mobil sendiri. Sebuah Double Cabin hitam. Hanya kami berdua dalam mobil ini, karena kerabat yang turut mengantar, ada di mobil yang lain. Dan, ketika sampai di tempat tinggalku yang baru, baru kupahami, mengapa Gus Ali memilih mobil berjenis D-Cab untuk kendaraannya.

Pesantren yang diasuh suamiku itu berada di Kecamatan Klakah, tepatnya di Desa Tempursari. Tak pernah terpikir sebelumnya, aku yang dulunya tinggal di pesisir pantai, kini berhijrah ke daerah pegunungan.

Butuh sekitar dua jam hingga kami sampai di Lumajang. Meskipun jalan menuju tempat tinggalku yang baru ini cukup jauh, tapi syukurlah tak terlalu sulit. Masih cukup baik, meskipun beberapa kali kami harus melewati jalanan berbatu. Terlebih lagi, jalan menuju pesantren kami.

Pesantren yang berada di daerah cukup jauh dari jalan desa yang beraspal. Kami harus melewati jalanan tak beraspal dengan pemandangan kebun tebu di kanan-kiri, sepanjang sekitar seratus meter.

Jujur saja, aku cukup kaget dengan keadaan daerahnya. Tapi, ketika saampai di pesantren, aku masih bisa bernafas lega. Bangunan pesantren yang lumayan luas. Ada asrama, sekolah, dan mushalla yang cukup besar.

Santri-santri dan beberapa masyarakat sekitar menyambut kedatangan kami. Sekilas kuperhatikan, sepertinya jarak pesantren dan tetangga terdekat cukup jauh.

Dan yang menjadi perhatianku adalah, bocah lelaki yang seketika sangat antusias menyambut kedatangan suamiku. Bocah berkulit cerah dan berhidung mancung yang digendong wanita paruh baya. Sepertinya, dia Haidar, putra tiriku.

***

Rombongan yang mengantarku, pulang bakda Ashar. Tentu saja ada sedikit drama tangisan oleh ketiga ibu dan saudari-saudariku.

Dan sepeninggal mereka, aku segera membereskan sisa suguhan dan mencucinya di dapur, ruangan paling belakang rumah ini. Aku melongok, mengintip keadaan belakang rumah lewat pintu yang sedikit terbuka. Bisa kulihat kamar-kamar berjejer, sepertinya itu asrama santri perempuan.

Ada bangunan permanen  cukup luas. Kalau kuperhatikan bentuknya, seperti dapur yang sedikit lebih besar daripada dapur yang berada di dalam rumah. Sebagaimana rumah pengasuh pesantren pada umumnya, rumah ini memiliki dua dapur. Dapur kecil yang tersambung di bagian paling belakang, dan yang lain terpisah dari bangunan utama. Yang diperuntukan bagi kegiatan memasak makanan berat. Karena biasanya, dapur kecil bagian dalam, hanya untuk keperluan ringan seperti memasak air atau sekadar membuat mie instant.

"Sudah Mbak Ayu, biar delem saja yang cuci." Seorang wanita paruh baya menegur ketika melihatku berusaha mencuci piring di dapur. Dia memakai bahasa Madura halus.

Mbak Ayu? Aku kegelian mendengar panggilannya. Aku menoleh, tersenyum padanya. Menjawab tegurannya dengan Bahasa Indonesia. "Enggak apa-apa, Mbak. Biar cepat selesai."

"Sudah, sampean istirahat saja! Pasti capek. Itu ditunggu sama Non Ali."

"Ning ..." Suara Gus Ali membuatku tersentak kaget dan segera menoleh. Ternyata suamiku itu telah berdiri di ambang pintu dapur.

Aku segera mencuci tangan, lantas berbalik mendekati suamiku itu. "Dalem, Gus?"

"Biarkan Mbak Rifah yang mengerjakannya! Ning Zia istirahat saja!"

"Inggih." Aku menuruti saran suamiku itu, berjalan hampir beriringan dengannya ke kamar untuk sekadar istirahat.

(Complete) Jurnal PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang