"Neng, bangun! Enggak pindah?" Panggilan bernada lembut dan pijatan di kaki, membuatku membuka mata perlahan.
"Oh, aku ketiduran di sini, Gus." Aku menoleh ke samping, tampak Haidar sudah begitu lelap dan memeluk guling.
Sembari beringsut perlahan, aku membenahi rambut yang sedikit berantakan. Memasang kembali jedai yang terlepas, dan menyanggulnya. Lantas, membenahi bagian leher daster batik berlengan pendek yang kupakai.
Aku beranjak, seraya bertanya, "Dik Arif sudah pulang?"
"Sudah. Baru saja."
Aku melirik jam dinding. Melalui cahaya lampu tidur, masih bisa kulihat kalau jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.
Kami berjalan beriringan keluar kamar Haidar. Membiarkannya tidur sendiri.
"Malam banget, Gus. Dia motoran, kah?"
"Iya. Enggak apa-apa, Neng. Wong dia sudah sering juga lewat jalanan sini. Aman, kok."
Gus Ali langsung menuju gantungan baju di belakang pintu. Mengganti pakaian dengan kaos putih dan menggantung songkok. Sementara aku duduk berlunjur sembari bersandar di ranjang.
"Tadi ngomongin masalah Ayna, Gus?" Aku berpura-pura tak tahu apa yang mereka bicarakan. Aku ingin tahu, apakah suamiku akan menceritakan masalah keuangan pesantren denganku.
"Oh, iya." Gus Ali berbalik melangkah ke arahku dan naik ke ranjang. Setelah sebelumnya mematikan lampu dan menyisakan lampu tidur temaram.
"Gimana? Ketemu?"
"Sudah. Ayna ada di rumah bapaknya. Ternyata ibu dan bapaknya itu bercerai. Rumah bapaknya itu di Yosowilangun. Lumayan jauh, kan? Itu juga Dik Arif dapat informasi dari bibinya Ayna. Makanya sehari kemarin ibunya enggak nelpon-nelpon lagi. Ternyata, bapaknya sudah ngabarin pas malam harinya. Tapi, mungkin karena malu atau apa, jadi enggak memberi kabar ke sini."
"Ealah, padahal kemarin kita, ya, tetap mencari. Sampe-sampe Dik Arif libur mengajar."
Hening setelahnya. Sebenarnya, aku menunggu suamiku menceritakan masalah yang tadi sempat kudengar. Tapi, dia tak jua mengatakannya.
"Gus, besok mau dimasakin apa?" Aku berusaha memancing informasi.
"'Kan, sudah kubilang, masak apa saja akan kumakan. Aku bukan orang yang rewel perihal makanan." Gus Ali menoleh padaku. Mengulas senyum tipis.
"Masak, sih? Kalau aku enggak masak lagi dan kuserahkan sama khadimah, gimana?"
"Enggak masalah. Kita makan makanan yang sama dengan para santri juga enggak masalah."
"Kenapa?"
"Kok kenapa? Memang salah makan makanan kayak mereka? Setahuku makanan mereka layak makan. Pun bukan asal masak juga. Lauknya juga lauk rumahan yang biasa kumakan."
"Apa iya? Dulu sebelum nikah sama aku, Gus Ali siapa yang masakin?"
"Para khadimah. Ya lauknya sama saja dengan para santri. Memangnya kenapa? Enggak ada yang istimewa."
Aku mengernyit, menatap suamiku penuh tanya. "Katanya Gus Ali suka makanan enak."
"Kata siapa?"
"Para khadimah. Mereka bilang kalau dulu itu, almarhumah suka masak. Masakannya enak-enak. Selain itu, suka bikin kue juga."
Suamiku tersenyum, sedikit mendengkus. "Iya. Dia suka memasak. Tapi, kegemarannya memasak tak serta-merta menandakan kalau aku suka makanan enak, kan?"
"Iya, sih. Tapi ... apa iya, Gus?"
"Hmm?" Suamiku mengernyit. Memiringkan kepala menatapku. "Kok, kesannya kamu enggak percaya. Kenapa?"
"Ah, enggak apa-apa. Kita tidur aja, yuk!"
Gus Ali kembali tersenyum. Lantas, tiba-tiba tangannya mendarat di pipi. Menepuknya pelan. "Aku tadi melihat catatan-catatanmu. Terima kasih, ya, Neng. Sudah banyak membantu."
Dan perbuatan suamiku ini, kembali membuatku salah tingkah. Rasa panas seketika menjalari pipi. Tapi, berusaha kusembunyikan dengan segera berbaring miring memunggunginya, berpura-pura mengantuk.
Kesan yang kudapat selama beberapa bulan menjadi istri Gus Ali, membuatku berpikir bahwa dia memang bukan sosok romantis. Tapi, kelembutan tutur kata dan sikapnya yang kadang spontan seperti tadi, terkadang membuatku merasa sangat dicintai. Meskipun, beberapa kali terpatahkan jika mengingat dia masih saja sesekali mengigau, memanggil almarhumah istrinya.
Sisa-sisa detakan jantung yang belum juga kembali normal, masih kurasakan, ketika tiba-tiba suamiku memeluk dari belakang. Pelukannya begitu erat. Kupikir, ini ajakannya untuk melakukan hubungan suami-istri. Tapi, ternyata tak kurasakan tanda-tandanya. Dia hanya memelukku. Dan yang kurasa malah gelagatnya seperti aku ketika bersedih dan memeluk ummah.
Aku kembali teringat percakapannya dengan Dik Arif tadi. Dan perbuatanku yang menguping percakapan mereka, menimbulkan rasa bersalah yang tiba-tiba mengganggu hati.
"Gus ...." Suaraku sangat lirih.
"Hmm?" Gus Ali makin mendekatkan kepalanya padaku. Seolah-olah hendak menjadikan pundakku sebagai penyangga.
"Aku minta maaf, ya? Tadi enggak sengaja sudah lancang menguping." kurasakan kepala suamiku bergerak menjauh. Sepertinya dia agak terkejut. Tapi, tetap saja kulanjutkan kalimatku, "Kupikir, kedatangan Dik Arif buat ngobrolin masalah Ayna. Aku penasaran banget. Tapi ...."
"Kamu mendengar sampai di mana, Neng?" Suara suamiku lirih dan nadanya merendah. Hatiku semakin tak nyaman saja.
Aku seketika berbalik. Kini wajahnya dan wajahku begitu dekat. Kutatap matanya lekat-lekat. "Njenengan menganggapku istri, kan, Gus?"
Gus Ali terdiam. Tapi, dari sorot matanya, aku bisa memahami bahwa dia mengiyakan pertanyaanku.
"Kenapa enggak cerita kalau ada masalah keuangan? Njenengan tetap ngasih uang belanja. Selalu kuhabisin tiap hari. Dan, kembali bertanya keesokan harinya. Itu membuatku berpikir kalau njenengan enggak ada masalah keuangan. Andai tahu, mungkin enggak akan seboros itu cuma urusan makan."
"Sebenarnya, sebelum ini enggak ada masalah keuangan, Neng. Ada donatur tetap dan pendapatan dari kebun tebu. Tapi, dua tahun terakhir memang dana dari donatur agak tersendat. Mungkin, keadaan ekonomi memang sedang lesu. Kebun tebu pun, hanya menghasilkan jika panen saja. Dan urusan iuran i'anah santri, memang biasanya tak terlalu lancar. Mau tak mau, aku harus pakai uang pribadi."
"Maafkan aku, Gus. Harusnya aku bisa memasak hal sederhana agar terasa mewah."
"Neng, aku tak pernah menyuruhmu melayaniku sampai detil ke urusan masakan. Bukankah berulang kali kukatakan bahwa biarkan urusan makan ditangani para khadimah? Aku malah lebih senang jika kau fokus mengurus santri. Beberapa langkah yang kau lakukan, membuatku senang dan merasa sangat terbantu."
"Aku hanya ..." Kuhentikan ucapanku. Kalimat-kalimat yang ingin kukatakan, terasa tertahan di tenggorokan. Aku masih takut untuk menanyakan perihal igauannya tentang Neng Zainab pada suamiku.
"Aku tahu kamu ingin menyenangkanku. Sudah, jangan banyak mikir lagi! Lebih baik kita tidur. Dan urusan makanan, lakukan yang kau senangi! Aku yakin, kamu pasti tahu mana yang harus kau lakukan mana yang tidak. Aku sangat memercayaimu."
Kalimat terakhir suamiku membuatku seketika merasa bahagia sekaligus bersalah. Bahagia karena dia memercayaiku, dan bersalah karena terlalu cemburu padanya. Tapi, bukankah manusiawi kalau sebagai istri, aku ingin mendapatkan hatinya secara utuh. Meskipun ... terkesan sedikit egois.
Dan karena rasa tak nyaman di hati, membuatku seketika beringsut. Membenamkan wajah di dada suamiku. Memeluknya erat. Dan hati ini terus saja menggumamkan permintaan maaf tentang kecemburuanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Complete) Jurnal Pesantren
SpiritualFauziah, perempuan yang baru menikah di usia yang sangat matang, 33 tahun. Dengan pengalaman sebagai ustadzah di pesantren tempatnya menimba ilmu, dia berpikir bahwa kehidupan akan berjalan mudah. Terlebih lagi, ketika tiba-tiba seorang Kiai muda be...