Dini hari di Kecamatan Kraton, Pasuruan, aku sudah bangun, sepeti yang biasa kulakukan. Dinginnya udara terasa menusuk tulang.
Tadi, aku berusaha sekuat tenaga menahan dingin, ketika bersuci di kamar mandi. Biasanya, aku mandi sebelum menunaikan ibadah dini hari. Tapi, kali ini aku hanya bersuci dan berwudhu saja. Lantas, menunaikan salat malam. Membaca beberapa amalan dan ijazah dari salah seorang Ustadz senior.
Aku masih berusaha fokus dan khusyu', membaca tiap wirid. Duduk menghadap kiblat di sajadah, pada salah satu sudut kamar Ustadzat Senior. Kamar berukuran 25 meter persegi, dengan fasilitas yang sedikit lebih lengkap daripada kamar para santriwati. Ada kasur lantai, karpet hangat, dan beberapa lemari pribadi berukuran tanggung. Dan yang paling penting, kamar mandi dan dapur kecil di belakang kamar.
Sementara kamar para santri, biasanya hanyalah kamar dengan lemari kecil, mirip loker mini. Lemari kitab dan cermin dinding yang bisa dipakai bersama. Sementara urusan tidur, biasanya para santri memakai alas tidur dan bantal yang mereka bawa dari rumah masing-masing.
Dua rekan pengajar yang kebetulan sekamar denganku, kulihat masih pulas dalam tidurnya. Mereka tampak kelelahan.
Tasbih kayu cokelat pemberian Abi, masih berputar perlahan di tangan kananku. Ustadz yang memberiku ijazah amalan ini berkata bahwa salah satu faedah wirid ini adalah enteng jodoh.
Tak kupungkiri, senyaman apa pun hidup di pesantren sebagai Ustadzah senior, tetap saja tak menghilangkan keinginanku untuk menikah. Banyak alasan, bukan hanya karena ummah, aku pun tak ingin sendiri. Apalagi, ketika ada acara silaturahmi nasional dan temu alumni akbar, aku melihat beberapa teman telah memiliki buah hati. Bahkan, di antara mereka, sudah menjadi wali santri di pesantren ini. Sungguh hati terasa ngilu.
Melalui cahaya temaram yang masuk dari jendela kamar, aku masih bisa melihat jarum jam yang menunjukkan jam setengah dua dini hari. Suasana begitu hening. Mungkin, para penghuni pesantren putri ini masih kelelahan. Maklum saja, mereka banyak yang baru tiba saat petang hari tadi.
Sudah lumrah terjadi, para santri akan berbondong-bondong pulang dari pesantren di pagi buta, ketika gerbang baru dibuka. Tapi, ketika kembali ke pesantren, mereka akan berlomba untuk menjadi yang paling terakhir datang. Ketika gerbang pesantren hampir ditutup.
Kami tiba di pesantren ini bakda Dzuhur, setelah beberapa jam menemani Zahra berbelanja. Cak Ji mengantarku dan Zahra ke gerbang pesantren putri. Lalu, segera melanjutkan mengantar Zain ke pesantren putra.
Pesantren kami ini adalah salah satu pesantren terbesar di Jawa Timur, dengan santri berjumlah lebih dari sepuluh ribu. Yang kutahu, santri putra berjumlah sekitar enam ribu lebih. Berasal dari berbagai penjuru negeri. Dan santri putri berjumlah lebih dari lima ribu santri. Tapi, terbagi dalam beberapa asrama dengan masing-masing pengasuh berbeda. Sementara pesantren putra hanya ada satu pesantren saja dengan pengasuh inti. Dan tempatku berkhidmah ini, adalah yang besar dengan jumlah santri sekitar dua ribu lima ratus santri.
Seperti biasa, jika tiba di tempat kami belajar ini, aku akan disibukkan oleh kegiatan mengawasi santri putri yang kembali dari liburan. Tapi, tiga tahun terakhir, aku selalu saja disibukkan oleh Zahra. Beginilah jadinya kalau memiliki adik di pesantren yang sama.
Dulu, ada Husnah dan Mazidah yang ikut mengurusnya. Tapi, sekarang mereka telah menikah. Tinggal aku dan Zahra saja, putri Abi yang belum menikah.
Di akhir ritual dini hari ini, aku melangitkan doa. Berharap semoga Allah memberikan kebahagiaan bagiku. Mendatangkan jodoh yang menjadi perantara terbangunnya jiwa, menjadi manusia bermanfaat.
Rabbiy La Tadzarniy Fardan Wa Anta Khairul Waaritsiin.
***
"Ustadzah Zia, ditimbali Bu Nyai Nadzifah." Suara seorang santriwati, seketika membuatku tersentak kaget.
Aku yang sedang membenahi hijab di depan cermin, segera melongok dari balik partisi alumunium yang berada di tengah kamar. Seorang santriwati, duduk bersimpuh di belakang pintu.
"Enggeh, Mbak? Saya?"
Santri putri itu mengngguk sopan seraya menyunggingkan senyum.
"Baiklah. Saya segera ke ndalem."
Setelah mendengar jawabanku, remaja perempuan itu beringsut mundur. Lantas berbalik dan berlalu.
Sementara aku, segera menyelesaikan kepentinganku tadi. Lantas, bergegas untuk menemui Bu Nyai Nadzifah. Setelah sebelumnya berpesan kepada salah satu rekanku untuk mengabari santri petugas koperasi agar menunggu beberapa saat. Karena sebenarnya, pagi ini aku berencana untuk mengantar santri petugas koperasi ke pasar untuk berbelanja beberapa barang kebutuhan santri untuk stok koperasi.
***
"Ada saudara jauh yang berkehendak mencari jodoh. Apakah, Ustadzah berkenan? Kalau iya, saya akan menghubungi Kyai Ahmad dan Bu Nyai Halimah untuk Nadzor beberapa hari lagi."
Suara Kyai Fadhil, suami Bu Nyai Nadzifah, benar-benar berhasil menghentikan detakan jantungku untuk beberapa saat. Meski sudah beberapa kali mendapat tawaran untuk nadzor dan ta'aruf, tapi tetap saja kejadian kali ini membuatku kaget dan gugup.
"Kulo nderek Kyai saja. Bagaimana enaknya." Aku hanya bisa menjawab dengan nada lirih dan sopan. Duduk semakin menunduk di kursi yang berhadapan dengan Bu Nyai dan Kyaiku.
Dua guru, Morabbi Ruhiy yang menjadi panutanku. Keduanya, dengan kedudukan dan kehormatan seperti ini masih sangat sopan. Meskipun aku adalah santri bagi keduanya, tapi tetap saja beliau berdua memanggilku dengan sebutan ustadzah. Bahkan, tetap menghormati ayah dan ibuku. Adab dan ahlak yang sangat luar biasa.
Dan mendengar jawabanku, Kyai dan Bu Nyai, mulai menceritakan sedikit tentang saudara jauhnya yang hendak melamarku itu.
Menurut penuturan Kyai, saudaranya itu adalah pengasuh pesantren di salah satu desa di Kabupaten Lumajang. Pesantren yang dirintis di atas tanah wakaf, amanah salah seorang jamaah thariqah sang Ayah, salah satu paman Kiai.
Duda empat puluh tahun dengan seorang putra yang baru berumur empat tahun. Istrinya meninggal empat tahun lalu, beberapa minggu setelah melahirkan. Baru sekarang, Kyai muda bernama Ali Zainal Abidin itu, berkenan mencari pendamping. Bahkan sengaja mencari perempuan yang sudah dewasa. Dan menurut Kyai, lagi, aku dirasa akan cocok dengan yang diharapkan.
Saat ini, Gus Ali hidup sendiri di Lumajang. Dia adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara. Kedua orangtuanya sudah meninggal sejak dia remaja. Rumah asalnya juga dari Lumajang, tetapi lain kecamatan saja.
Jujur saja, aku bahagia mendengarnya. Lelaki matang yang sepertinya bisa menjadi pembimbingku. Apalagi, istrinya meninggal, bukan duda cerai. Jadi, tidak akan ada drama dengan mantan istri, kan?
Terlebih lagi, bayangan indah jika aku bisa mendampinginya berdakwah. Kyai muda yang masih ada hubungan keluarga dengan Kyaiku sendiri.
Jika memang perjodohan ini berhasil, aku sangat yakin, ini akan menjadi kebahagiaan yang setara dengan penantianku yang sangat lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Complete) Jurnal Pesantren
SpiritualFauziah, perempuan yang baru menikah di usia yang sangat matang, 33 tahun. Dengan pengalaman sebagai ustadzah di pesantren tempatnya menimba ilmu, dia berpikir bahwa kehidupan akan berjalan mudah. Terlebih lagi, ketika tiba-tiba seorang Kiai muda be...