Mewakafkan Kehidupan

349 51 3
                                    

Karena sudah terbiasa bangun dini hari, meskipun hari ini mendapat menstruasi, aku tetap bangun pada jam setengah dua pagi.

Menurut salah satu Ustadzahku di pesantren dulu, untuk menjaga keistikamahan, kita harus bisa mempertahankan kebiasaan. Karena sejatinya, keistikamahan itu, terlepas dari maunah Allah, berasal dari kebiasaan tubuh. Ikhtiar yang bisa kulakukan adalah tetap bangun untuk sekadar ke kamar kecil, lantas membaca selawat dan dzikir.

Udara pegunungan yang dingin tak menghalangi langkahku pagi ini. Aku melangkah keluar kamar, hendak menuju kamar mandi. Tapi sejenak, ketika melewati kamar Haidar, aku sedikit mengintip melalui pintu yang memang tak ditutup. Melalui cahaya temaram, aku masih bisa melihat Gus Ali lelap dalam tidurnya menemani sang putra semata wayang.

Memang, sejak pindah ke rumah ini, sekitar hampir tiga minggu lalu, aku tak pernah tidur seranjang dengan suamiku. Dia selalu tidur di kamar Haidar, menemani putranya. Katanya, sang putra akan kesulitan jika tidur sendiri. Aku tak masalah dengan semua ini, toh kebiasaan tiap pasangan berbeda, kan? Lagipula, urusan nafkah batin, Gus Ali masih melaksanakannya dengan baik. Menurutku. Dan satu alasan lagi dari Gus Ali adalah, lebih baik Haidar tidur ditemani abuyanya, daripada tidur bersama santri putri yang biasa mengasuh.

Aku masih berdiri di depan ambang pintu. Memiringkan kepala, mencoba mengamati suami dan anak tiriku. Kuhela napas dalam, sangat dalam, ketika mata ini tak sengaja menangkap pigura yang membingkai foto keluarga ini. Foto rekayasa sebenarnya, karena yang kutahu foto itu ditempel dengan foto Haidar ketika berumur dua tahun.

Sebenarnya, kali ini, aku tak bisa melihat foto itu dengan jelas, karena cahaya yang remang-remang. Tapi, aku tahu jelas foto itu saat menata baju-baju anak tiriku itu, dan ketika membereskan kamar ini.

Jujur saja, hatiku sedikit ngilu. Ada cemburu yang sejenak lalu muncul. Terlebih lagi, paras almarhumah memang sangat cantik. Kulitnya secerah pualam dengan mata indah dan senyum menawan. Dan, hidung mancung Haidar, menurun dari sang ibu.

Tapi, segera saja kutepis rasa ini. Betapa piciknya pikiranku jika harus bersaing dengan perempuan yang sudah meninggal. Atau ... jika mencurigai Gus Ali yang tak sepenuhnya mencintaiku. Ah, itu, kan hanya pemikiran kekanakan.

Aku memutar tubuh, hendak meneruskan langkah. Tapi ... seketika terhenti saat sayup-sayup kudengar suamiku bergumam.

Kupikir, dia terbangun dan melihatku. Karenanya, aku segera saja melangkah masuk kamar Haidar dan memilih tak menjawab gumamannya.

Tapi, betapa terkejutnya aku, ketika di dekatnya, gumaman itu terdengar jelas. Terlebih lagi, Gus Ali masih terpejam. Dia seolah-olah terisak. "Zainab ... jangan pergi! Zainab!Kembali, Zainab!"

Oh, tidak! Hatiku sangat ngilu. Aku menggigit bibir bawah dan menutupnya dengan kedua telapak tangan. Seketika bening menetes dari sudut mata. Inikah rasanya cemburu dan patah hati?

Tidak, tidak, Zia. Suamimu hanya mengigau. Pun Ning Zainab sudah tiada. Kau bukan anak kecil. Tak sepatutnya bertingkah begini.

Segera saja aku berbalik. Menyeka tetesan bening yang sempat menetes. Aku hanya ingin segera mencuci muka dan membaca selawat hingga nanti bisa kembali terlelap.

***

Aku terbangun kembali ketika adzan Subuh berkumandang. Mataku terbuka, dan baru kusadari kalau aku tertidur miring sedikit meringkuk. Tasbih yang tadi kugunakan untuk berdzikir, ternyata sudah terlepas dari tangan dan terjatuh di lantai. Dan bantal yang kupakai, terasa sedikit basah.

Iya, aku menangis. Aku tak bisa menahan diri untuk tak menangis. Hatiku sangat sakit. Lelaki pertama yang kucintai, ternyata masih mencintai wanita lain. Meskipun itu mendiang istrinya.

Tapi, apa yang bisa kulakukan kecuali berjuang, memenangkan hati Gus Ali? Cepat atau lambat, aku yakin dia akan menerimaku. Entah bagaimana caranya. Yang pasti adalah, aku akan tetap mendampinginya.

Aku beringsut dari ranjang, berencana untuk mandi pagi ini. Meskipun tak melaksanakan salat, tapi aku tetap harus mengawasi para santri untuk salat berjemaah. Tak lupa, kuambil tasbih kesayangan, pemberian Abi. Meletakkannya di nakas, untuk kupakai lagi nanti ketika waktu Dhuha telah tiba. Sebagaimana aku menjaga salat malam, seperti itu pula aku berusaha menjaga salat-salat yang lain.

Aku menuju musalla ketika telah selesai mandi dan berganti pakaian. Memeriksa satu per satu kamar, agar tak ada satu pun santri yang tak berjemaah. Bahkan, yang mengaku menstruasi pun, tetap kubangunkan agar segera mandi. Aku akan menyemak mereka untuk membaca barzanji.

Dan perihal hati yang tersenggol tadi, sejatinya masih terasa perih. Tapi ... tugas sebagai pendamping pengasuh pesantren, memanggil dan tak memperbolehkanku untuk terus larut dalam masalah pribadi. Melayani ummat adalah tugas suamiku. Dan membersamainya adalah tugasku. Kami, putra-putri ulama memang dilahirkan untuk ini. Mewakafkan hidup di jalan-Nya.

Aku berusaha menekankan kembali tekad dan pedoman ini dalam hati. Meskipun ... sejujurnya sangat berat. Sungguh berat.

(Complete) Jurnal PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang