"Neng, tolong buatkan kopi untuk Dik Arif!" Suara suamiku yang sangat tiba-tiba, mengagetkan dan membuatku seketika mendongak. Kudapati Gus Ali sudah berdiri di hadapan.
Aku yang malam ini duduk di ruang tengah dan sedang sibuk memeriksa berbagai catatan kegiatan danndata santri yang kubuat, menghentikan kegiatan sesaat. "Inggih, Gus."
Kutaruh pena, lantas beranjak untuk segera pergi ke dapur. Dan, sejenak lalu kulihat suamiku sedikit melongok memeriksa buku-bukuku. Sepertinya dia penasaran dengan yang kulakukan.
Aku tak terlalu menghiraukannya, dan terus saja berlalu ke arah dapur untuk meminta tolong kepada salah satu santri piket agar membuatkan kopi.
Jadwal santri piket memang sudah ada sejak sebelum aku pindah ke sini. Biasanya tugas mereka adalah tugas harian. Ada yang piket di dapur besar, itu artinya mereka bertugas membantu pekerjaan para khadimah menyiapkan konsumsi pada pagi dan sore hari. Ada yang piket kebersihan, yang berarti bertanggung jawab kepada kebersihan semua kompleks asrama santri. Dan ada yang namanya piket ndalem, yaitu mereka yang membantuku untuk melakukan berbagai tugas rumah tangga, seperti membersihkan rumah, termasuk membuat kopi kali ini.
Hal baru bagiku, karena dulu di pesantren Kyai Fadhil, yang membantu keluarga ndalem bukanlah berdasar piket. Tapi, berdasar suka rela dan keinginan sendiri. Karena, kami menyadari bahwa berkhidmah dan melayani guru adalah sebentuk pengabdian yang seyogyanya dilakukan. Sebagai bentuk terima kasih. Bahkan, untuk menjadi Mbak nDalem--istilah bagi santri yang ingin berkhidmah--harus antri dan mengikuti seleksi, karena saking banyaknya yang berminat.
Tapi di sini, aku harus mengajari mereka tentang makna khidmah dan adab-adab ini. Termasuk, filosofinya dengan perlahan. Pesantren kecil yang baru berkembang. Wajar saja.
Sekembalinya dari dapur, kusempatkan melongok sebentar ke kamar putraku, melihatnya sedang bermain bersama pengasuhnya. Dan ketika sampai di ruang tengah, Gus Ali sudah tak kutemukan. Rupanya dia sudah kembali ke ruang tamu.
Karena kupikir, kedatangan Dik Arif untuk membahas masalah Ayna, maka iseng aku mendekatkan telinga ke daun pintu yang sudah kubuka sedikit. Bermaksud sedikit menguping pembicaraan mereka. Aku benar-benar penasaran, karena sampai dua hari, tak ada kabar tentang keberadaan bocah itu. Sebenarnya, yang kulakukan ini bukanlah hal yang baik. Bahkan sejatinya, aku tak pernah melakukan ini sebelumnya.
Tapi, sungguh terkejutnya aku karena apa yang kudengar bukanlah masalah Ayna, tapi masalah lain lagi
"Jadi bagaimana ini, Mas? Keuangan pesantren sudah nol, bahkan minus. Masak sampean lagi yang nomboki. Yang kemarin, ya, sampean. Sekarang sampean lagi?"
"Ya enggak apa-apa, Dik. Daripada para pengajar enggak dapat bisyaroh. Sudah bisyarohnya kecil, masih diutang. Kebacut itu namanya. Sebagai pengasuh, ya, memang ini tanggung jawabku. Berapa banyak yang belum bayar I'anah sekolah?"
"Banyak, Mas. Ada yang tahun lalu saja belum lunas, kok."
"Wis, wis. Masalah kecil kayak gini enggak usah dibikin gede. Mereka mau balik mondok saja alhamdulillah. Ada wali santri yang memang sempat datang dan minta maaf. Dia sampai nangis-nangis karena belum bisa membayar I'anah. Sebenarnya, waktu itu, dia mau pamitkan anaknya. Tapi, melihat wajah bapaknya kayak gitu, ditambah tahu kalau anaknya semangat dan rajin belajarnya, makanya tak suruh balik. Yang penting usaha beli kitab sendiri saja. Makannya juda tak kasih gratis. Aku enggak tega."
"Iya juga, sih, Mas. Tapi, bagaimana sama yang orangtuanya mampu? Ada beberapa yang kayaknya mampu. Ini juga anaknya yang tahun lalu ketahuan mabuk pas ada orkes dangdut itu, loh."
"Anak itu nunggak juga?"
"Iya yang itu, minggu lalu juga ketahuan bawa HP. Dia juga--"
Tiba-tiba, aku dikejutkan suara santri yang kumintai tolong untuk membuat kopi.
"Mbak Ayu ...."
Aku segera menjauhkan diri dari pintu. Lantas memutar tubuh, meraih nampan berisi dua cangkir kopi.
"Oh, iya, Makasih. Kamu boleh pergi."
Gadis itu mengangguk, lantas berbalik dan berlalu.Kuketuk daun pintu perlahan sebari memanggil suamiku dengan nada suara pelan.
Detik kemudian, suamiku muncul dari balik pintu. Kuberikan nampan itu dan dia segera berbalik.
Aku menutup pintu. Terdiam, memantung sesaat. Menyandarkan punggung ke daun pintu. Menghela napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Leherku rasanya sedikit tersekat.
Sejenak tadi, kuperhatikan wajah suamiku yang sempat tersenyum hangat. Dan, kuingat-ingat kembali beberapa kejadian sejak kedatanganku ke tempat ini. Pun pesan suamiku tentang masakan yang berlebihan.
Suamiku memikul beban dua kali lebih berat dari lelaki kebanyakan. Dia bertanggungjawab kepada keluarga, pun kepada pesantren ini.
Aku hanya tahu pesantren-pesantren besar yang telah rapi penataannya, teratur manajemen dan semua struktur organisasinya. Hingga, semua permasalahan, ada yang menangani masing-masing.
Bahkan, untuk urusan biaya operasional, sampai memiliki brankas khusus tempat penyimpanan uang. Dan yang kutahu, jumlahnya memang lebih dari cukup. Bahkan bisyaroh yang kudapat selama mengabdi, bisa membuatku memiliki tabungan dengan jumlah yang lumayan.
Tak hanya di pesantren tempatku belajar. Bahkan di pesantren asuhan Abi dan lembaga pendidikan di rumah pun, kami memiliki kas yang bisa dibilang sangat cukup. Para wali santri sangat mengerti bahwa untuk mendukung proses belajar putra-putri mereka, dibutuhkan dukungan yang total.
Tapi santri-santri di sini?
KAMU SEDANG MEMBACA
(Complete) Jurnal Pesantren
SpiritualFauziah, perempuan yang baru menikah di usia yang sangat matang, 33 tahun. Dengan pengalaman sebagai ustadzah di pesantren tempatnya menimba ilmu, dia berpikir bahwa kehidupan akan berjalan mudah. Terlebih lagi, ketika tiba-tiba seorang Kiai muda be...