"Sampean ngapain saja kemarin, Neng?" Bidan yang telah selesai memeriksaku, beranjak dari bibir ranjang. Dia mulai merapikan alat-alat medisnya. Memasukkannya satu per satu ke dalam tas hitam besar yang dibawa.
"Ehm ... ikut suami ke Pasuruan. Cukup capek juga karena sekalian jalan-jalan. Tapi, ya cuma itu saja, kok, Bu." Aku yang duduk berlunjur dan bersandar ke sandaran ranjang, memerhatikan wanita berhijab instant hitam itu dengan dahi berkerut.
"Normal-normal saja, sih. Saya kasih penguat kandungan dan vitamin saja, ya? Oh, satu lagi. Kalau bisa manajemen stressnya, dijaga dengan baik." Bu Bidan kembali duduk di bibir ranjang setelah usai beberes. Menepuk lututku yang berbalut selimut.
"Manajemen stress, ya, Bu?" Aku menjatuhkan pandangan ke ujung ranjang. Teringat kemarahanku yang semalam. Memang sebelum pindah untuk tidur ke kamar Haidar, aku merasakan perut bagian bawahku sedikit sakit.
"Iya. Ibu hamil itu sebisa mungkin santai dan bahagia. Banyak efek samping stress, Neng. Di antaranya menghambat asupan oksigen ke janin. Ibunya tegang, janinnya ikutan."
"Oh." Aku hanya menjawab singkat. Karena sejenak lalu sedikit merasa bersalah dengan yang telah kulakukan.
"Ini obatnya, Neng. Saya mau pulang dulu, ya? Mau langsung ke Puskesmas." Bu Bidan menyerahkan beberapa lembar obat padaku. Aku menerimanya.
Aku mencoba beringsut dari ranjang untuk mengantar bidan ini. "Eh, sampean istirahat saja, Neng. Enggak usah diantar. Bedrest dulu tiga sampai lima harian, ya?"
Aku mengangguk. Dan Bu Bidan itu melangkah keluar kamar.
Menit kemudian, kulihat suamiku masuk. Dia berjalan cepat ke arahku. Seketika naik ke ranjang dan duduk di sampingku. "Kamu ada yang dipikirkan, Neng?"
Mendengar pertanyaannya, seketika aku menoleh. "Maksudnya gimana, Gus?"
"Tadi aku sempat mengobrol dengan Bu Bidan. Katanya kemungkinan kamu ini stress. Karena sempat diam pas bahas masalah itu." Gus Ali mengubah posisi, duduk bersila menghadap padaku. Dia meraih telapak tanganku dan menepuk-nepuknya pelan.
"Ehm ... enggak ada yang serius, sih. Masalah remeh." Aku menjatuhkan pandangan ke lantai. Berusaha menghindari tatapan suamiku.
"Neng, ceritakan semua padaku!Jangan kau tanggung sendiri! Semua demi kesehatanmu dan calon bayi kita, kan?"
Aku sontak menoleh, menatap wajah suamiku yang membuatku seketika merasa bersalah. "Gus, maafkan aku, ya? Mungkin ... ini akan terkesan kekanak-kanakan. Dan, mungkin akan terkesan picik. Sebenarnya aku malu untuk menceritakannya."
"Neng ... Kamu menganggapku suami, kan?" Suara suamiku begitu lembut, membuatku semakin malu saja untuk menceritakan keresahanku.
"Tentu saja, tapi ..."
"Makanya, cerita! Selama dipendam sendiri, mana bisa tahu?"
Aku menghela napas dalam, lantas mengembuskannya perlahan. Mataku terpejam beberapa saat. Kembali menghela napas sangat dalam dan kini kuembuskan melalui mulut.
"Semalam .... aku mendengar njenengan mengigau tentang Neng Zainab." Aku mengehentikan kalimatku. Menggigit bibir bawah dan melempar pandangan kembali ke lantai.
"Masyaallah ... itu, Neng. Maafkan aku, ya?" Nada suara suamiku terdengar penuh penyesalan. Membuatku berani untuk kembali menatapnya.
Dan benar saja, kulihat mimik wajahnya menatapku penuh permintaan maaf. Kupikir, dia akan menertawakanku perihal ini. Tapi, ternyata perkiraanku keliru.
"Enggak cuma sekarang, sih, Gus. Aku acap kali mendengarnya, ketika tak sengaja terbangun di malam hari. Maafkan aku kalau cemburu, Gus?"
"Enggak, enggak, kok, Neng. Malah aku yang minta maaf. Kamu pasti berpikiran macam-macam dan memendam curiga selama ini, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
(Complete) Jurnal Pesantren
SpirituellesFauziah, perempuan yang baru menikah di usia yang sangat matang, 33 tahun. Dengan pengalaman sebagai ustadzah di pesantren tempatnya menimba ilmu, dia berpikir bahwa kehidupan akan berjalan mudah. Terlebih lagi, ketika tiba-tiba seorang Kiai muda be...