Aku berusaha mengatur waktu memasak agar tak mengganggu sholat Dhuha lagi. Kini, aku mulai menyiapkan semua sekitar pukul setengah empat pagi. Dan cara ini, lumayan membuatku bisa melakukan sholat dan segala hal lain tepat waktu seperti sebelumnya. Termasuk bisa menyemak pengajian Subuh.
Sungguh, aku sangat senang dengan semua. Terlebih lagi, sikap suamiku yang makin manis dan Haidar yang juga makin dekat denganku.
Seminggu mengajari Haidar tidur sendiri, kini membuahkan hasil. Mulai tadi malam, aku tidur seranjang dengan suamiku. Senang rasanya, bisa mengobrol ringan sebelum tidur.
Dan karena semua berjalan baik inilah, membuatku kembali berusaha fokus dengan wacana menggembleng para santri dengan pendidikan adab dan ahlak.
"Bagaimana masakannya, Gus? Suka?" Aku berdiri, membereskan piring kotor dan menumpuknya di sudut meja. Baru saja kami selesai sarapan bersama.
"Suka. Enak, kok. Tapi, bukankah dulu kamu bilang tak terlalu bisa memasak? Kenapa sekarang malah selalu memasak? Bahkan, selalu ada saja kudapan setiap harinya." Gus Ali meraih gelas berisi air putih yang berada di depannya. Meminumnya setelah selesai berbicara dan mengucap basmalah.
"Oh, enggak apa-apa. Emang, enggak boleh, ya, menyenangkan keluarga dengan hasil tangan?"
"Boleh. Hanya saja, apa tidak sebaiknya apa yang kita makan itu sama dengan makanan para santri? Maksudku, enggak berlebihan seperti ini." Gus Ali meletakkan kembali gelas yang telah kosong.
Aku menghentikan kegiatanku sesaat, menoleh kepada suamiku. "Njenengan kurang berkenan dengan masakannya, kah, Gus?"
Sejatinya, aku merasa tak nyaman dan sedikit curiga dengan saran suamiku ini. Sebenarnya, apa yang melatarinya hingga berkata demikian. Apakah dia tak suka dengan menu yang kusajikan? Seminggu terakhir ini, aku selalu menyajikan masakan yang katanya sering dimasak almarhumah Neng Zainab. Masakan Arab dan beberapa olahan daging atau ayam.
Gus Ali menghela napas dalam. Lantas mengulas senyum tipis yang kutangkap sebagai keterpaksaan. "Suka, suka sekali. Hanya saja ... ah, sudahlah. Kalau kamu suka memasak, memasaklah! Asal kamu bahagia, aku juga akan senang."
Aku mengernyit. Hatiku makin curiga. Ada apa sebenarnya? Mengapa suamiku ini tiba-tiba saja berkata begitu? Apakah menu-menu yang kumasak ini mengingatkan kepada mendiang istrinya?
Sesulit itukah untuk move on, Gus?
***
Seusai melaksanakan sholat malam dan membaca dzikir rutin, aku segera beranjak. Lantas, keluar dari mushola dalam, bermaksud menuju ke dapur kecil. Menyiapkan beberapa lauk dan memasaknya. Tapi sebelum itu, aku mengintip kamar Haidar, dan setelahnya menuju kamarku, bermaksud membangunkan suamiku. Karena, dia berpesan agar aku membangunkannya seusai sholat.
Sengaja, tak kuhidupkan lampu, hanya berbekal cahaya dari lampu ruang tengah yang masuk melalui pintu kamar yang terbuka. Aku melangkah mendekati ranjang, bermaksud membangunkan suamiku.
Tapi, mendadak kembali dikejutkan dengan igauannya. "Zainab! Maafkan aku. Kumohon, kembali, Zainab!"
Sungguh, hatiku seolah-olah dihimpit beban yang teramat berat. Membuatku merasakan sesak seketika.
Ya Allah ... suamiku masih saja mengingat mendiang istrinya. Padahal, sudah lebih dari tiga minggu ini kami tidur seranjang dan melakukan pillow talk sebelum tidur. Tidakkah hal itu bisa menimbulkan kedekatan dan kasih sayang di antara kami?
Aku mematung beberapa saat. Mengusap bening yang memaksa keluar. Mengehela napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Mencoba menghalau sedih yang tiba-tiba menguasai hati.
Tidak, aku tak boleh menyerah. Semua akan berubah seiring waktu. Masih banyak waktu dan jalan terbentang.
Aku kembali meneruskan langkah. Membangunkan suamiku dengan memijat pelan kakinya. Dan beberapa saat setelahnya, dia terbangun perlahan.
Tentu saja, aku menyapanya hangat dengan nada suara yang kubuat selembut mungkin. Berusaha menyembunyikan rasa yang sejatinya mengganggu.
***
Sungguh, di luar dugaan. Gadis kecil yang begitu dipandang rendah sang ibu, ternyata teramat lincah dan lihai menyampaikan tiap kalimat dan tausiyah di hadapan teman-temannya.
Sebenarnya, gadis itu tak benar-benar ditugasi untuk membawakan tausiyah kedua. Hanya saja, salah satu santri yang bertugas, tiba-tiba sakit dan harus pulang. Jadilah aku iseng menawari gadis yang ternyata cerdas ini untuk mengisi acara. Dan ternyata berhasil dengan teramat baik.
Sudah hampir dua bulan ini, Ayna menjadi santri di sini. Kekhawatiranku ternyata tak benar-benar terbukti. Karena, ternyata gadis kecil ini tak melakukan hal-hal yang menyulitkan. Hanya sempat menangis dan merajuk saja beberapa hari pertama nyantri. Dan selanjutnya, semua baik-baik saja.
Dan pada acara kali ini, acara muhadhoroh pertama yang kami adakan, Ayna berhasil tampil dengan sangat baik. Bahkan, dia melakukan banyak sekali improvisasi terhadap naskah materi yang kuberikan. Sungguh gadis yang cerdas dan berbakat. Sayang, sang ibu gagal melihat ini.
Suara riuh tepuk tangan menyertai langkah Ayna berlalu dari mimbar kayu yang kami buat dari tumpukan bangku dan ditutupi sajadah. Dan untuk mengapresiasinya, aku seketika beranjak dan menghampiri gadis cerdas itu.
"Bagus sekali." Aku mengacungkan dua jempol seraya tersenyum di hadapan Ayna.
Gadis kecil itu hanya menyeringai, sedikit mendongak. "Terima kasih, Mbak Ayu."
"Semangat, ya?"
"Inggih." Ayna mengangguk. Dan aku menepuk pelan pundaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Complete) Jurnal Pesantren
SpiritualFauziah, perempuan yang baru menikah di usia yang sangat matang, 33 tahun. Dengan pengalaman sebagai ustadzah di pesantren tempatnya menimba ilmu, dia berpikir bahwa kehidupan akan berjalan mudah. Terlebih lagi, ketika tiba-tiba seorang Kiai muda be...