Tak lagi ada celotehan Dean maupun makian Vino, keduanya pulang beberapa waktu lalu menyisakan Arsen beserta Rion dalam ruangan, Arsen memandangi Rion yang tengah duduk disofa dengan handphone digenggamannya, nampak matanya sudah memerah.
"Yah?" Lirihannya mampu membuat Rion menoleh, lantas merubah posisi duduknya cepat, "kenapa? Mau apa?"
"Tidur aja udah malem,"
Rion menggeleng, "kamu tidur dulu, ayah nanti dulu, takut kamu butuh apa apa,"
Arsen mengangguk, tak mau merepotkan Rion lebih jauh lagi dan memilih memejamkan matanya meski tak berniat untuk menghilangkan kesadarannya.
Dirasanya Rion membenarkan selimutnya hingga bawah dagu, mengusak surainya pelan dan membawa langkahnya kearah sofa, beruntung itu sofa yang dapat dilipat hingga menjadi sebuah kasur kecil, tak takut pegal badannya esok pagi.
Mungkin sudah hampir 15 menit Arsen dalam posisinya, ia melirik jam didekat tv dalam ruangan, hampir menujukan pukul 00.25 dan sekarang kepalanya pusing bukan main, satu pilihan yang akan ia pilih diantara dua pilihan, tetap terjaga menunggu memuntahkan isi perutnya atau tertidur dan kembali menghadapi mimpi buruk itu lagi.
Opsi pertama ia ambil, berusaha mendudukan diri meski menahan perih ditangannya, meringis pelan kala jarum infus nya tergeser hingga darahnya sedikit naik, mencoba menuruni bangsal? Sama saja cari mati, jadi ia tetap pada posisi akhirnya menyandar headboard yang sebelumnya ia beri alas bantal.
Ia terlalu fokus pada rasa mual diperutnya hingga tak sadar pintu ruangannya dibuka,
Ketukan langkah cepat itu terdengar dalam ruangan namun tidak dalam pendengaran Arsen yang berdenging, badannya tersentak kala sebuah tangan mendarat dilengan juga tengkuknya, mengurutnya pelan meski tak ada apapun yang keluar dari mulutnya.
"Kekamar mandi aja ya, kak?"
Setelah beberapa saat Arsen tersadar dan mengembalikan pendengarannya ia melirik pada sosok disampingnya, tak menunggu lama, reaksinya adalah beringsut menjauh, mengepalkan tangannya hingga buku jari nya memutih juga berusaha menormalkan detak jantungnya yang berpacu cepat.
Seolah hendak ditelan hidup hidup setiap melihat wajah sang ayah, Andra mengusak kasar wajahnya, disertai ekspresi penyesalannya mendapat penolakan sang anak.
"Kak?"
"Pergi," lirihnya, "ayah, pergi.."
Beruntunglah Rion dengan segala kepekaannya, ia terbangun bahkan hanya mendengar lirihan Arsen, menyeseuaikan cahaya diretina matanya sebelum memfokuskan tatapannya pada Arsen yang menyandar diranjang juga sosok yang membelakanginya.
Puk..
Rion menepuk pundak itu, benar dugaannya, Andra sudah pasti, "kan udah saya bilang, besok aja, Ndra jangan sekarang," ujarnya tenang meski was was pada Arsen.
Andra menjauh, "Arsen sakit, saya cuma mau nungguin kok nggak lebih, tapi dia selalu nolak,"
Rion menepuk pelan pundak Andra, "perlu waktu, pelan pelan nanti bakal nerima kamu lagi,"
"Yah?" Keduanya menoleh, namun yang ditatap Arsen bukanlah Andra melainkan Rion tanda ialah yang dibutuhkan, tanpa banyak kata Rion mendekat, belum juga berucap namun tangan bergetar milik Arsen lebih dulu melingkar ditubuhnya, "pergi, takut.."
Meski teredam namun Andra masih bisa mendengar jelas penuturan sulungnya, mengangguk cepat, "iya, kak, ayah pergi.. tapi liat dulu sini," titahnya, Arsen menggeleng pelan dalam pelukan Rion,
"Kak.."
"Nak Arsen, liat ayah, nak.. gausah takut ada saya, nanti kalo nakal biar ayah saya pukul," Rion mengusap kepala belakang Arsen sayang, tak benar benar mengalihkan pandangannya, hanya mengintip pelan yang mana sudah mampu membuat Andra tersenyum lega,
"Maafin ayah, yaa? Ayah janji besok nggak nakal lagi," ujar Andra mengangkat kelingking kanannya diudara, menyunggingkan senyum tipis meski matanya memerah menahan sesak, bagaimana tidak, coba ingat ulang, berapa kali ia membuat Arsen menangis dan berakhir ketakutan melihatnya? Tak terhitung lagi sakitnya.
"Ayah pergi dulu, besok dateng lagi, ya? Sleep tight, son,"
Pintu tertutup setelahnya, Arsen masih dalam posisinya memeluk Rion, entahlah kenapa ia lebih nyaman dalam pelukan Rion, menenangkan seperti pelukan Keval.
"Udah ya? Tidur makanya jangan ngelamun terus," Arsen mempoutkan bibirnya pelan, setelah meneguk setengah gelas air minedal ia menuruti kata Rion untuk tidur, buktinya ia kembali membaringkan badannya meski dibantu.
"Nak Arsen pusing lagi?" Anggukan didapat Rion, "sedikit," jawabnya lirih,
"Dibawa tidur, biar besok enakan," tak seperti pikiran Arsen, Rion akan kembali menidurkan badannya pria paruh baya itu justru mendudukan diri,-lagi-dikursi tunggu sebelah ranjang.
Membawa tangannya kepelipis Arsen, memijatnya pelan yang diterima Arsen dengan senang hati, kapan lagi ia mendapat kasih sayang seorang ayah seperti ini lagi? Semenjak kejadian dimana ayah marah padanya ia bahkan memilih selalu mengambil jarak aman.
~~~
Untuk alasan Rion meneror Keval, ah benar, itu bahkan bukan mau nya sendiri, sudah dibilang dari awal, itu karna pesaingnya dibidanf bisnis yang memaksanya melakukan hal menjijikan itu pada putranya sendiri, ancaman apa kalau ia tak melakukannya? Tak hanya Keval melainkan Vika juga turut terseret, sepenting itu kedudukannya hingga pesaing nekat melakukan apapun untuk melengserkan posisinya.
Masalah hutang dan Keval yang dijadikan jaminan, itu bodoh! Rion sama sekali tak pernah menyangkut pautkan keluarganya dalam kondisi keuangan bisnisnya, itu hanya akal akal an musuh agar Rion lah yang dipandang buruk dimasyarakat.
Menyesal pasti, apalagi secara tak langsung, iya ataupun tidak, tetaplah Rion tersangka utama yang pantas disalahkan untuk semua yang membawa unsur Keval, semua sudah seleai, kesalah pahaman itu telah diselesaikan beberapa waktu lalu, tepatnya setelah masalah yang mengancam kewarasan mental Keval siang itu.
Malamnya dengan segala sesal yang ada ia mengemis maaf pada Keval maupun Vika, tak ada yang memberatkan masalah itu untuk menjadi lebih rumit, kedua pihak setuju untuk melupakan masalah hari itu agar tak lagi mengungkitnya.
Arsen? Satu ini, Rion tak paham mengapa ia merasa harus sekali menjaga Arsen dalam pengawasannya, seperti sore kemarin, entah firasat apa dalam benaknya hingga ia memilih menyambangi rumah Keval.
Mendengar jelas setiap barang yang terlempar dari luar rumah membuatnya berhenti didepan pintu, menunggu keadaan hening baru ia memilih masuk kedalam.
Benar dugaannya, banyak barang bercecer diruang makan, belum lagi becak merah dilantai yang semakin ia teliti semakin menggenang, dibawah meja, juga.. Arsen dengan kondisi kacaunya.
.
Entahlah, membuyarkan lamunannya tentang itu Rion melirik jam, 00.50 hampir jam 1 pagi dan ia masih terjaga, biasanya mana mau ia membuka matanya hingga selarut itu, percayalah bahwa Arsen adalah orang kedua yang membuatnya sekhawatir ini setelah Keval.
Arsen, banyak luka dalam jiwa bocah itu, dulu Rion sempat dekat dengan perempuan saat waktu kuliah, hanya berbeda jurusan, ia dalam manajemen dan di perempuan tadi jurusan psikologi, tak banyak namun tak jarang juga dulu keduanya menghabiskan waktu bersama, saling berbagi pengetahuan secuil di masing masing bidang hanya sekedar membangun topik dalam percakapan.
Percayalah, Rion pernah berada di posisi Arsen.
.
.
.Ps: makin sepi, sedih sih yaa, udah ga se excited dulu, kenapa? balasannya tidak sesuai harapan.
mungkin kalau dukungannya tambah, aku nya bisa sedikit semangat lagi biar g buat kalian kecewa, hehe.
maaf chap ini ga sesuai dan ga jelas bangett, tp aku harap masih ada yg ikhlas nungguin dan ngasi voment, trimakasiii.. c u all.
![](https://img.wattpad.com/cover/239203325-288-k242068.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
From Arsen✓
FanfictionArsen dengan segala cerita dan lukanya, ⚠️warn⚠️ book ini mengandung kekerasan, kata kasar, dan beberapa konten yang mungkin sensitif bagi sebagian orang. dimohon bijak dalam membaca.