Masih sama, tak ada yang berbeda, langit gelap, hitam pekat, bukan mendung, tapi memang sudah malam, tak ada bulan maupun bintang, hanya ada cahaya remang kunang kunang yang melintas dengan tenang.
Angin dingin, berapa kali Arsen merasakannya sudah?
Musim penghujan adalah musim tak begitu Arsen sukai, bukan berarti benci, hanya saja ia lebih susah beradaptasi dengan dampak yang ditimbulkannya.
Arsen bangkit dari posisinya yang berbaring di ayunan, meregangkan tubuhnya yang sialnya otot ototnya menjadi pegal pegal, ia melirik arloji dipergelangan tangannya, pukul 10 malam, wah, hebat sekali Arsen, menghilang dalam rumah untuk pertama kalinya.
Sepi, malam itu pertama kalinya ia merasa sunyi, hanya diiringi suara jangkrik dari balik semak semak diluaran sana, sesekali tetesan bekas hujan terdengar beradu dengan tanah.
Langkah membawanya menuju lantai satu, tak ada siapapun disana, lampu sudah dimatikan, oh, atau memang dilempari sesuatu hingga pecah, entah, ia tak mau ambil pusing.
Berjongkok, Arsen memunguti bekas pecahan entah apa itu yang sangat mengganggu untuk dipandang, tak masalah jika hanya menggores telapak kaki yang menginjak, bahkan jika ia mau ia bisa saja melompat lompat disana sekarang, diatas bekas pecahan pecahan itu.
Dan lagi, jangan sampai adiknya itu yang terluka.
Setelah selesai Arsen menuju dapur, tujuan utamanya turun, minum, ah benar, bahkan ia tak sadar melewatkan kebiasaan malam itu.
Mencium pipi bunda dan meminum susu dimeja,
Arsen hanya tersenyum kecut setelah membayangkannya, "Pertama kalinya, bunda menyuguhi pecahan kaca untuk ditelan."
Setelahnya ia beranjak, kembali menuju kamarnya dilantai 2, baru hendak membuka pintu kamarnya, suatu pertanyaan tentang Farez muncul dibenaknya.
Arsen membuka pelan pintu kamar Farez yang bersebrangan dengan kamarnya, dilihatnya didalam sana, gelap.
Katakan, pisau mana yang serasa menusuk relung jiwanya detik itu?! Kenapa, kenapa mendengar isakan dari balik gumpalan selimut itu menyakitkan? Sejak kapan?
Langkahnya pasti, menghidupkan lampu tidur dan ia langsung merebahkan diri disamping adiknya yang kebetulan masih tersisa tempat, tak banyak, tapi cukup untuk dirinya.
Farez sendiri pahan betul siapa itu, jadi ia hanya diam, menahan isakannya, yang tentu disadari oleh Arsen.
"Nggak usah ditahan dek, nangis aja kalo mau nangis,"
Farez kembali terisak perlahan, hanya saja kali ini ia turut membalik tubuhnya menghadap kearah Arsen meski ia tak melihat karna selimut yang dipakainya.
Ini yang bunda maksud? Agar ia menjadi kuat? Ia harus terlihat seperti pijakan kokoh, padahal ia sendiri sudah rapuh dan serasa mau runtuh.
"Gue gamau kak," Farez mendusal pada Arsen, kebiasaan yang dulunya terasa menyenangkan, kini terasa menyakitkan, jika dulu Farez mendusalinya karna kemajaannya, kini Farez menunjukan kehancurannya.
"Gue nggak mau kak, gue nggak mau," lirih Farez tanpa henti, tangannya meremat kuat selimutnya, yang bisa Arsen lakukan? Tidak ada.
Hanya diam disana untuk pegangan sang adik yang terpeleset saat berdiri ditepi jurang, karna ia sendiri juga sama sama tengah berada disana, hanya saja, ia harus lebih kuat menahan adiknya agar tak lepas dan jatuh kedasar sana.
"Tidur udah malem, besok gue anter pagi pagi, kita jalan jalan dulu, beli makanan kesukaan lo yang deket sekolah itu, deal?"
Farez mengangguk, tak mau sang kakak kecewa, ia tau ini sakit, tapi Farez yakin bahwa Arsen juga pasti merasakannya, luka yang sama namun dengan dasar lubang yang beda jauhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Arsen✓
FanfictionArsen dengan segala cerita dan lukanya, ⚠️warn⚠️ book ini mengandung kekerasan, kata kasar, dan beberapa konten yang mungkin sensitif bagi sebagian orang. dimohon bijak dalam membaca.