twenty one

3.9K 576 82
                                    

Hawa dingin pagi itu serasa menusuk hingga tulangnya, tak ada sinar cerah mentari yang biasa mengintip dari balik tirai jendela kamarnya, hanya ada kicauan burung gereja yang berlalu.

Mengerjap pelan merasakan sensasi dingin juga sengatan sengatan kecil pada perutnya, tapi tak apa, setidaknya sudah lebih baik dari semalam.

Menyibak selimut yang membalut tubuhnya lantas ia lipat, benar, satunya milik Keval, beranjak mengeluari pintu kamarnya guna menuju kamar Keval.

Cklek..

Netranya disambut oleh sosok yang tidur dengan posisi tengkurap itu, merasa tak ada pergerakan akibat suara yang baru saja ia timbulkan membuatnya memilih menyelimutkan selimut ditangannya pada Keval.

Tepat setelah ia menyelimuti Keval, Arsen berniat kembali kekamar sebelum erangan pelan ia keluarkan, ia seketika berjongkok, satu tangan mencengkram tepi kasur Keval, satu lagi mencengkram perutnya, lagi.

"Eunghh, sshh," ringisan yang sebisa mungkin ia tahan sedari tadi, kini akhirnya keluar tanpa tau malu.

Ya Tuhan, ia bahkan masih dikamar Keval! Kenapa tidak tau tempat! Pikirnya, sakitnya semakin menjadi merambat hingga serasa ulu hatinya, jangan lupakan dadanya yang terasa terbakar itu.

"K-kak Kev?"

"Sshh, kak?" Panggilnya lagi,

"Kak?" Masih tak ada jawaban, kini ia mulai merapatkan badannya pada kasur Keval dengan sedikit kesusahan guna menyandarkan tubuhnya.

"Shh, bunda, s-sakit, eeunghh," keringat dingin mulai menghiasi pelipis hingga lehernya, selalu saja seperti itu dalam situasi seperti saat ini.

Keval mengerang pelan merasa tidurnya terusik, mengerjapkan mata beberapa kali dan menajamkan penangkapan rungunya, dirasa sudah sadar ia terdiam sebentar, sedikit terkejut mendapati sebuah selimut menutupi tubuhnya, seingatnya selimutnya ia gunakan menyelimuti Arsen semalam.

"B-bun, sakith," cicitan itu membuat Keval cepat cepat duduk, lantas segera berjongkok didepan Arsen, mengesampingkan pusing yang mendera akibat bangun dari posisinya tiba tiba.

"Dek kenapa?" Keval memegang tangan Arsen yang mencengkram perutnya, "jangan gitu, sini," Keval menitah tangan Arsen ke lengan atasnya, berniat membantu Arsen berpindah ke kasur daripada dilantai dingin.

"Gapapa, sakit banget ya?" Keval sebisa mungkin mengurangi kepanikannya, memberi izin Arsen untuk meremat lengannya, meringis tertahan saat Arsen benar benar merematnya kuat, tapi tak apa, ia yakin itu tak sebanding dengan sakit yang Arsen rasakan, mungkin.

Sembari membantu Arsen bangkit dari duduknya hingga berbaring dikasurnya, Arsen langsung meringkuk kini tak hanya erangan namun juga isakan pelan.

Keval dengan cepat mengotak atik layar ponselnya, mendial nomor seseorang, anak teman mama yang ia tau seorang dokter.

Keval bersimpuh didepan Arsen, mengelap keringat yang ada disekitar pelipis Arsen, juga menjadikan tangannya sebagai media pelampiasan, ia tak mau dengan Arsen meremat perutnya sendiri justru akan semakin sakit.

Hampir setengah jam menunggu, suara bel membuat Keval menatap Arsen yang kini hanya memandangi lantai dengan pandangan kosongnya meski air mata masih mengalir tanpa henti,

"Lepasin bentar ya?" Arsen segera menoleh pada Keval, bibirnya kembali bergetar bersamaan dengan air mata yang kesekian kalinya lolos, menggeleng pelan, "jangan," lirihnya.

Keval mengelap air mata itu, membalas rematan pada tangannya, "iya enggak," setelahnya ia membuka ponselnya, menelfon sosok yang mungkin kini sudah berada dibawah, menitahnya agar mencari kamar ia berada kini.

From Arsen✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang