twelve

3.8K 547 70
                                    

Sajak luka, sastra duka, serta senandung lara, adalah hal yang sangat ia kagumi, tentang..

..bagaimana alunan bahasa santun yang ia dengar memenuhi rungunya, bagaimana makna berharga dalam kata kata yang ia baca, juga tentang, bagaimana ia berbagi rasa dengan hal yang bahkan hanya fana untuk ada dalam hidupnya.

Kini sosoknya hanya mampu menjalani hari hari nya sesuai takdir yang sudah digariskan, lagipula tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah skenario-Nya, bukan?

Bangunan ini, bangunan yang bisa ia sebut sebagai tempatnya berlindung dari panas juga hujan, hanya tempat berteduh bukan tempat untuknya berpulang.

"Mau pilih kamar lantai atas apa bawah, kak?" Tanya Andra sesaat setelah membuka pintu rumah baru yang hendak mereka tinggali.

"Atas, ada balkonnya nggak?"

Andra mengangguk, "ada, ayunan kayak yang dirumah juga ada," lirihnya sembari tersenyum, apalagi setelah melihat seutas senyum tipis dari bibir Arsen kala mendengar kata 'ayunan'.

"Beneran ada ayunannya?" Tanyanya sedikit terdengar antusias, lagi, Andra mengangguk dan mengusak gemas surai sulung Daviandra itu.

"Iya kak, ayo, ayah bantu tata baju di lemari," Arsen mengikuti langkah sang ayah yang menyeretkan kopernya.

Kala sang ayah membuka pintu seketika netranya disambut warna abu, menenangkan, adalah satu satunya kesimpulan yang langsung terbesit dalam pikirnya.

Fokus keduanya kini teralih pada satu aktivitas yang sama, memberesi pakaian milik Arsen dan menatanya di lemari pakaian.

"Keval sama 'perempuan itu' belum dateng, yah? Mau kesini sendiri apa ayah jemput?"

Andra menghela nafas pelan, menyayangkan namun juga tak berani menyalahkan saat Arsen menyebut sosok yang kini sudah resmi menjadi istrinya dengan panggilan 'perempuan itu'.

"Kak?" Arsen menoleh, "kenapa, yah?" tanyanya,

"Panggil bunda, ya, jangan panggil 'perempuan itu', dia bunda kamu sekarang," Arsen tersenyum dan menggeleng pelan,

"Bunda Arsen cuma Bunda Hera, nggak ada yang lain,"

"Tapi jangan panggil deng-"

"Mama," Andra terdiam setelahnya, "Arsen panggil mama, Arsen nggak mau panggil bunda, bunda tetap Bunda Hera, nggak ada yang lain," Andra tersenyum setelahnya.

"Kak? Makasih, maaf juga, gara gara ay-"

"Nggak ada yang bisa balikin waktu, yah, ayah boleh nyesel, tapi nggak buat ngulang semua dari awal," Arsen beranjak, mengambil kertas entah kertas apa yang ada diatas meja, menyobeknya, lalu mengambil solasi dan merekatkannya kembali.

"Lihat, yah? Kertas ini Arsen rusak, Arsen nyesel, terus Arsen solasi biar sobek lagi, tapi tetep aja, yah, ini," menunjuk sobekan yang tersolasi, "ini ninggalin bekas, yah, nggak bisa ilang, bahkan jauh lebih rapuh dari sebelumnya, Arsen nggak bisa buat kertas ini jadi kayak sebelumnya, bersih tanpa noda dan robekan. Nggak bisa, yah,"

Andra diam seribu bahasa, see? Ia kalah dewasa dengan pikiran putra sulungnya, anak kecil yang dulu sering menangis, merajuk, dan mengadu padanya karna hal sepele, kini mampu berpikiran lebih jauh jauh dewasa daripada dia.

Sulungnya tumbuh jadi sosok dewasa, dalam raga remaja.

"Ayo jemput, Arsen ikut," berhubung keduanya sudah selesai menata pakaian Arsen, jadilah Andra mengangguk menyetujui dan sesuai permintaan Arsen untuk menjemput istri barunya itu.

.

.

Lain lagi dengannya, Arfarez Davian Putra yang kini menyamankan dirinya ditepi danau sembari melempari danau itu dengan kerikil disekitarannya.

From Arsen✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang