nineteen

3.9K 572 78
                                    

Gurat senja kembali menyapa, menyaksikannya dari balik tirai jendela kamarnya, dengan segenap luka hatinya yang turut dibubuhi segelintir rasa kecewa yang masih terasa.

Perih, ia mendesis pelan kala menggerakkan tangannya, matanya mengalihkan atensi yang awalnya pada guratan senja kini kepergelangan tangannya.

Air matanya mengalir seiring ringisannya menjadi sebuah rintihan, sungguh, luka luka sialan yang diciptakan sang ayah tadi siang benar benar menyakitkan.

Ah benar, itu masih tak seberapa dibanding luka dihatinya, ia hanya bisa merasakan tanpa bisa menyembuhkan,-ralat, tak ada yang bisa menyembuhkannya.

Cklek..

Pintu kamarnya terbuka, entah siapa, tapi yang pasti orang itu tau sopan santun karna setelahnya pintu ditutup kembali.

"Ka- KAKAK? ASTAGA!" Arsen merasa bahunya sedikit ditarik mundur hingga sosok itu dapat menatap wajahnya.

Arsen tak berniat menoleh sedikitpun, ia masih memandang rerumputan halaman dibawah kamarnya, ia mendengarnya, bagaimana ocehan Vika dengan suara cemasnya, terdengar putus putus karna Arsen menahan tangis, tak ada isakan, hanya air mata yang lagi dan lagi mengalir.

"Kakak? Coba balik dulu duduknya, biar mama obatin, sini," titah Vika pelan, Arsen hanya menggeleng pelan membuat Vika merasa sedih, apakah Arsen tak bisa menghargai rasa cemasnya?

"Kak? Kalo nggak diobatin nanti infeksi, sini balik dulu duduknya," lagi, Arsen hanya menggeleng.

"Sakit, ma," cicitnya, "sakit kalo digerakkin," Vika tersenyum lega, oke, maafkan pikiran buruknya tadi.

Vika kini dihadapan Arsen, ya, dibatasi oleh jendela, Arsen didalam, Vika dibalkon, "gini aja, tangannya taruh sini, pelan pelan," Vika menepuk ambang jendela.

Arsen menurut, menggigit bibir bawahnya saat perih itu kembali membuatnya tersiksa.

Vika mulai memeras kain yang sebelumnya telah ia rendam air hangat, membersihkan bekas darah yang sudah mengering ditangan Arsen, sepelan mungkin.

"Mama boleh tanya?" Arsen mengangguk pelan, menatap bagaimana tangan Vika dengan telaten membersihkan lukanya, "ini dicambuk?" Arsen mengangguk.

"Sakit," lirih Arsen, "ah maaf," ucap Vika cepat.

"Siapa?" Tanya Vika lagi, "siapa yang cambuk?"

"Ayah," jawabnya cepat, nampak Vika terdiam sesaat, "gegara rokok," sambungnya, lagi, Vika diam.

"Maaf," ia menatap Arsen dengan tatapan bersalahnya, "gara gara mama,"

"Kenapa mama?"

"Mama kasih tau ayah, maaf,"

"Kenapa minta maaf? Mama nggak salah,"

"Kalo mama nggak ngasih tau ayah, kakak nggak bakal diginiin,"

"Ih, mama jangan nangis, Arsen nggak bisa ngehapus bekasnya!"

Vika justru terisak, "Ma? Kenapa malah nangis sih, mama nggak salah, udah ih," Arsen jadi panik sendiri.

"Mama harus gimana biar kamu maafin mama?"

"Mama nggak salah! Mama bisa keluar dulu? Arsen mau kekamar mandi," Vika mengangguk cepat dan segera memberesi alat alat yang ia gunakan untuk mengobati Arsen tadi.

Arsen duduk dibalik pintu setelah menguncinya, Arsen memejamkan mata erat saat perutnya tiba tiba mual, kepalanya serasa berputar juga hawa sekitarnya serasa panas, jangan lupakan telinganya berdenging panjang.

Ia beranjak cepat saat perutnya lagi lagi berontak, tak memperdulikan tangannya juga pandangan yang mulai kabur ia memasuki kamar mandi, memuntahkan isinya ditoilet.

From Arsen✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang