Sinar remang rembulan malam itu menjadi saksi biksu, bagaimana raganya yang meluruh dalam rengkuhan hangat sang kakak, bagaimana ia merangkai kemungkinan kemungkinan yang entah kenyataannya, ia tak tau, hanya menangis yang ia bisa lakukan saat itu.
Menangis tak membuat lemah, 'kan?
Menangis tidak hanya dikhususkan untuk kaum perempuan, 'kan?
Ia butuh menangis, setidaknya ia bisa mengeluarkan semua masalahnya dalam satu cara, membungkusnya dalam tiap bulir yang mengalir dari pelupuk matanya, terucap melalui tangisan yang mengandung ribuan makna atas luka lukanya.
Bagaimana ia harus memulai, darimana ia harus memulai, kenapa ia harus memulai, dan, sejujurnya ia tak sanggup untuk memulainya, terlalu rumit untuk diungkapkan melalui kata kata.
"Kak?" Yang dipanggil menunduk, menatap wajah terpejam sang adik yang kini berbaring menjadikan pahanya sebagai bantal.
"Kenapa?" Tangannya tak berhenti mengelusi surai Farez yang sedikit lepek karna berkeringat, hell no, bagaimana tidak jika hampir dua puluh menit Farez menyembunyikan wajahnya didekapan Arsen.
"Lo pernah tanya ke gue, 'kan, siapa laki laki dirumah?"
"Yang tadi, 'kan?" Farez mengangguk pelan, masih dengan posisinya memejamkan mata.
"Danu, namanya.. gue juga nggak tau apa hubungan dia sama bunda, tapi mereka deket, banget malah.." terkekeh pelan menyiratkan sendu, "gue iri liatnya, bunda lebih deket sama laki laki itu daripada anaknya,"
Arsen hanya diam, tak memotong pun menjawab apa yang Farez katakan, hanya diam menatap pahatan wajah sang adik yang mirip dengan bunda.
"Waktu itu gue dirumah sakit," ucapnya lagi membuka cerita, "kecelakaan,"
'Ah, waktu bunda telfon sambil nangis,' batinnya tersenyum sendu.
"-waktu gue bangun gue kira bakal liat lo disana kak, duduk disebelah gue, atau paling nggak ada diruangan itu sama gue, tapi nggak, nyatanya lo nggak ada,-" menghela nafas pelan, menetralkan nafasnya yang kian menyesak mengingat hal hal itu.
"-gue kagetnya ada laki laki itu, disana, terus nggak lama bunda ijin buat keluar, gue ditinggal sama itu om Danu, nggak tau darimana asalnya, dia tiba tiba cerita,-" terhenti, bibirnya sedikit bergetar dengan sudut mata yang kembali mengalirkan airmata, dadanya juga kentara naik turun dengan berat.
"Jangan maksain cerita kalo lo masih belum siap, kakak nggak maksa," ucap Arsen akhirnya, namun Farez menggeleng pelan dan melanjutkan cerita panjangnya.
"Om Danu tiba tiba bilang, kalo dia.. hiks.." runtuh sudah, ia menangis, tak jadi melanjutkan ceritanya memilih meringkuk dan meremat ujung jaketnya hingga buku jarinya memutih.
"Kan, dibilang ngeyel," Arsen panik tentu saja, namun ia menutupinya dengan berpura pura menyuruh Farez bangun dari posisinya yang tiduran dan langsung memeluknya,-untuk kesekian kalinya hari ini.
"Udah? Kalo udah ayo pulang, muka lo pucet gitu, dingin juga udah malem, nanti lo sakit, ayo," bangkit sembari menitah Farez agar berdiri, menuruni anakan tangga yang terbuat dari susunan kayu, seperti biasa, alang alang akan menyambutnya hingga dimana motor diparkirkan.
Ya, sedaritadi mereka dirumah pohon, hanya disana mereka bisa merasakan kembali hangatnya 'rumah' yang sesungguhnya setelah semuanya hancur.
.
.
Arsen menghentikan langkahnya didekat bawah tangga, meletakan helm nya dan berjalan menuju ruang makan, ada segelas susu diatas meja, memegangnya sebentar, masih hangat, berarti belum lama setelah mereka selesai makan malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Arsen✓
FanfictionArsen dengan segala cerita dan lukanya, ⚠️warn⚠️ book ini mengandung kekerasan, kata kasar, dan beberapa konten yang mungkin sensitif bagi sebagian orang. dimohon bijak dalam membaca.