Kelabu diatas sana nampaknya tak berpengaruh pada aktivitas masyarakat kota siang itu, dibawah mega sendu mereka membaur menjadi satu dijalanan, hanya dengan perbedaan tempat yang akan dituju.
Arsen sedikit mempercepat gas nya, bersamaan dengan mulai turunnya rintik halus dari cakrawala. Kepala nya mulai berdenyut ngilu membuat Arsen mau tak mau menahannya.
"Sebentar lagi, Sen, sebentar lagi sampai rumah," monolognya lirih.
Arsen tampak mengerutkan kening mendapati mobil dihalaman rumahnya, ah benar, itu mobil ayah, padahal baru beberapa hari lalu, namun ia sudah lupa sepertinya.
Arsen memasuki rumahnya pelan,
"Kakak pulang," ucapnya sembari menaruh helm juga melepas jaketnya.
"Kakak darimana? Kata bunda sakit?" Andra-ayahnya, muncul dari arah samping membuat Arsen sedikit terkejut.
"Ayah, bikin kaget," ucapnya mengelus dadanya, ayah terkekeh pelan dan menepuk nepuk punggung putra sulungnya pelan.
"Istirahat kalau sakit, jangan main main dulu," Arsen menampilkan senyum canggungnya,
"Hehe, iya, yah, nggak lagi lagi deh, kalo gitu kakak ke kamar ya, yah," setelah memastikan ayah mengangguk, Arsen beranjak, tepat dipijakan tangga ke 3 decit dari atas sana membuatnya mendongak.
Farez keluar dari kamarnya.
"Pulang sama siapa?"
"Ayah tadi, nggak sengaja ketemu, lo sendiri darimana kak?"
"Ada urusan,"
"Lo lupa lo lagi sakit? Masih sempet mikirin urusan? Lo nggak kasihan gitu sama diri lo sendiri? Penting banget emang urusannya?" Tanya Farez bertubi tubi.
Diam adalah pilihan tepat kali ini, Arsen hanya tersenyum dan melanjutkan langkahnya yang tertunda, menepuk bahu Farez.
"Prioritas," Farez menoleh hendak menatap manik sang kakak, sayang Arsen terlebih dulu meninggalkannya tanpa kata.
.
"Udah dirumah dia, makasih banget loh udah bantu nyariin, lain kali nggak usah juga gapapa," Arsen terkekeh dimeja belajarnya, tangan dan mata pada buku, rungu dan bibir pada ponsel.
"Iya, nggak janji, gue takut ingkar, dosa dong, hahaha," tawa, lagi lagi tawa, Farez muak, iya, Farez mendengar pembicaraan Arsen yang ia yakini sedang bertelfon dengan sahabatnya disebrang sana.
"Kak?"
"Eh, bentar, nanti lagi ya," setelahnya Farez masuk, dilihatnya Arsen merapikan bukunya lalu tersenyum kearahnya.
"Kenapa dek?"
"Dipanggil ayah, dibawah,"
"Sekarang?"
"Enggak deh kayaknya, nunggu roda kereta meledak kepanasan," jawabnya datar yang justru mengundang gelak tawa dari Arsen.
Keduanya menuruni tangga, ayah tengah duduk disofa dengan secangkir kopi menemani diatas meja.
"Kenapa, yah?" Arsen mengambil duduk disofa tunggal sebelah ayah.
"Adek? Bisa tolong beliin martabak manis ditempat biasanya? Itu Pak Yad ada digazebo belakang,"
Farez mengangguk dan segera beranjak, Arsen setia duduk disana, menunggu kalimat yang akan ayah sampaikan padanya, menunduk seraya memainkan ujung kaosnya lebih menarik daripada menatap layar televisi dihadapannya.
"Kakak hebat," satu kalimat pembuka yang ayah ucap setelah deru mobil menghilang, Arsen mendongak setelahnya.
"Kakak harus berani memilih, menentukan, mana yang baik, mana yang tidak," ayah menatapnya, suara tenangnya yang mengalun pelan, "kakak tau, ayah ini seperti apa?" Andra menunjuk wajahnya sendiri dengan telunjuknya, sebuah senyuman diakhir pertanyaan membuat Arsen diam.

KAMU SEDANG MEMBACA
From Arsen✓
FanfictionArsen dengan segala cerita dan lukanya, ⚠️warn⚠️ book ini mengandung kekerasan, kata kasar, dan beberapa konten yang mungkin sensitif bagi sebagian orang. dimohon bijak dalam membaca.