thirty seven

5.6K 349 19
                                    

Hitungan hari terkikis begitu saja tertelan masa, dimana pagi itu Andra menyambut sang putra yang tengah demam dengan sebuah pelukan hangat.

"Ayah, kapan sampai?" Lirihnya, dirasakannya suhu tubuhnya memanas, faktor demam pun pelukan sang ayah.

Dikecupnya kening Arsen oleh Andra, "tadi pagi, ke dokter ya?" Tawar Andra yang langsung saja dijawab sebuah gelengan pelan.

"Ini pak dokternya udah pulang," ucapnya menepuk dada sang ayah pelan dihadiahi kekehan dan kecupan bertubi-tubi pada seluruh wajahnya.

Lima menit berlalu begitu saja, hingga Arsen memilih menyampingkan badan menghadap sang ayah.

"Ayah, ayah?"

"Hmm?"

"Kakak mau tanya, boleh?"

"Boleh dong, tanya apa emang kak, kok ijin dulu?" Tanya Andra sedikit heran dengan kekehan ringannya diakhir kata,

"Eumm, ayah pernah bilang, kalau... kakak nakal, ayah nanti sedih, kan yah?"

"Loh iya dong, papa kan engga ngajarin kakak jadi anak nakal," jawab Andra dengan tangan yang tak henti mengelus surai putranya itu,

"Emang kalau nakal terus dipukul, gapapa, yah?"

"Hey! Siapa yang bilang kaya gitu?" Tanya Andra tak terima mendengar pertanyaan konyol itu,

"Eumm, engga ada, kemarin kakak liat temen kakak dipukul sama ayahnya karna udah buat mama nya nangis,"

Andra masih diam, mengelus surai lembut putranya tersebut, ada jeda sebelum bibir mungil itu kembali berceloteh,

"Terus kan, yah, temen kakak itu didorong sampe jatoh, abis gitu ditinggalin sama ayah sama mama nya,"

"Kasian kan yah? Terus engga lama ayahnya balik lagi, mama nya engga tau kemana, terus dia ditampar, diteriak-teriakin juga, pasti dia takut banget,"

"Dia, sendirian yah, engga ada yang bantuin,"

Andra masih mencerna cerita Arsen, dan merasa kedua tangan putranya melingkar erat dipinggangnya setelah menyelesaikan cerita singkatnya, ditambah juga wajah pucat itu diusak kan didadanya seolah mencari ketenangan, atau justru perlindungan?

"Besok kalau liat kaya gitu lagi, tolongin temen kakak, ya kak?" Arsen menggeleng,

"Nggak ada yang mau bantuin, dia cuma sendiri, takut,"

Merasakan baju depannya basah, ia berniat melonggarkan pelukan meski Arsen nampak tak terima, Andra terdiam, menatap wajah pucat dihadapannya, terlihat jelas bahwa Arsen takut berkontak mata dengannya.

"Anak ayah ya?"

"Bukan, temen kakak, kan barusan udaj diceritain,"

"Terus ini kenapa nangis?"

"Pusing, sakit," Andra menahan nafasnya sebelum akhirnya ia hembuskan panjang.

"Dimana sakitnya?"

"Dimana anak ayah dipukul, hm? Bilang sama ayah, nak."

"Engga ad-"

"Ayah nggak ngajarin kamu buat nakal atau bohong sekalipun, Arsen," ucap Andra tegas memotong ucapannya, "dimana kakak dipukul? Kasih tahu ayah,"

Bibir pucat itu bergetar dengan mata memerah, tanpa menjawab pertanyaan sang ayah ia memilih menubrukan diri dipelukan Andra, menangis terisak hingga nafasnya tersendat.

"Shhtt, udah nanti tambah sesek, kak.."

"Mas? Loh, kenapa nangis si kakak?"

Andra hanya menoleh pada pintu yang baru saja terbuka, segera ia menggunakan tangan menginstruksikan Hera diambang pintu untuk diam,

From Arsen✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang