Harapan yang ia punya tak cukup banyak sebenarnya, hanya rangkaian kata dalam satu paragraf doa setiap harinya, sedikit dibubuhi cerita bahagia nampaknya tak merugikan juga, tapi pertanyaannya,
'apa bisa?'.
Hidupnya dapat diumpamakan, misal, terjadi dari api dan kayu yang menyatu, mencipta kehangatan, bisa sesaat bisa juga selama beberapa waktu menjelang, namun pada akhirnya api akan melalap kayu habis hingga tersisa arang, dan bahkan arang pun akan melebur menjadi abu nantinya.
Satu intinya, api dan kayu yang awalnya menyatu menciptakan kehangatan, pada akhirnya saling menghancurkan, berimbas pada apa yang ada disekitarnya.
Andra dan Hera adalah hal yang dapat divisualisasikan sebagaimana api dan kayu itu, menghadirkan kehangatan melalui Arsen juga Farez, namun berakhir saling menghancurkan, juga bagaimana hancurnya keberadaan orang disekitar mereka, terutama keluarga.
"Kakak? Buka pintunya kak!" Hera berkali kali mengetuk pintu itu, tak ada sahutan maupun tanda tanda pintu itu akan dibuka.
"Kak?" Masih tak ada jawaban, Hera menghela nafas pelan, merasa bersalah, mungkin, "maafin bunda sayang,"
"Kakak boleh marah sama bunda, itu pantes kakak lakuin sekarang, bunda minta maaf banget ya kak? Jangan lupa makan kak, kalo kakak nggak nyaman nanti biar bunda per-"
Cklek
Pintu terbuka menampakan Arsen dengan senyumnya, jaket melekat juga helm ditangannya,
"Kakak ma-"
"Pergi dulu, bun," setelahnya menutup pintu, mencium pipi Hera dan pergi tanpa banyak kata, Hera tentu tau, tau bahwa sulungnya itu terluka, sorot matanya mewakilkan apa yang ia rasa, sakit, Hera merasa seperti dihunus pedang kala menatap senyuman dalam wajah putra sulungnya itu, senyuman yang ia yakini sangat dipaksakan.
Seberapa dalam luka yang tercipta?
Hera kembali menuju kamar Farez, bungsunya itu kini menatap kosong pada lantai, duduk dipinggiran kasur dengan pipi kanan yang memerah menyisakan panas perih.
Hera duduk disebelahnya, sama sekali tak ia hiraukan,
"Adek?" Bunda meraih satu tangan Farez, menggenggamnya erat, menatap wajah sang anak dari samping, rahangnya nampak tegas, mirip suami-ah ralat, mungkin calon mantan suami lebih tepatnya, toh ia belum resmi bercerai, tinggal menunggu surat pengadilan.
"Adek tau bunda sayang sama adek kan? Buda nggak mau adek kenapa kenapa, bunda nggak mau adek disakiti, siapapun itu, bunda nggak suka, sekalipun itu bunda sendiri," Hera mengehela nafas lagi sebelum melanjutkan kalimatnya, "bunda juga nggak suka kakak berani nampar adek, bun-"
"Farez emang salah dan pantes buat ditampar," jawabnya memotong perkataan bunda.
"Tapi bunda nggak suka, apapun alasannya,"
"Sekalipun itu belain bunda yang lagi dimaki maki, iya?" Hera diam, kehilangan kata kata bahkan hanya untuk menjawab 'ya' atau 'tidak'.
"Nggak bisa jawab kan, bun? Ini, nggak sakit bun, nggak usah berlebihan ya, yang sakit itu kakak, bukan adek," Farez menunjuk pipinya, tersenyum pedih setelahnya,
"Ayo makan dulu," bunda mengalihkan perhatian dan menyeret lengan Farez pelan yang untungnya hanya menurut.
.
.
Arsen mendudukan diri disana, tempat favorite nya, ditemani gitar kesayangan juga awan biru yang muncul samar samar diantara mega kelabu yang tersapu angin.
Memangku gitarnya, mulai memetik satu per satu senar yang ada, menyambungkannya menjadi sebait nada, diiringi bibir terbuka memperdengarkan suara indahnya, mengalun pelan seiring dengan petikan gitar, menikmati waktu yang terisi disela keheningan hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Arsen✓
FanfictionArsen dengan segala cerita dan lukanya, ⚠️warn⚠️ book ini mengandung kekerasan, kata kasar, dan beberapa konten yang mungkin sensitif bagi sebagian orang. dimohon bijak dalam membaca.