thirty four

3K 392 34
                                    

Entah apa yang semesta rencanakan tentang bagaimana lika-liku kehidupan seorang Arsen Davian Putra,

Dimulai dari, bagaimana bahagianya keluarga kecilnya kala dirinya baru saja dilahirkan, atau tentang bagaimana ia diajarkan mengambil langkah demi langkah memijak dunia yang ternyata semakin hari semakin berani menunjukkan sisi kelamnya.

Tumbuh dikeluarga dengan kasih sayang tanpa cela, siapa yang tak senang jikalau diberi sebuah keharmonisan semacam itu?

Dulu, Arsen pernah berangan, hanya angan bocah umur 9 tahun dengan ucapan polosnya, "mau cepet-cepet gede, pasti banyak temennya, terus nanti bisa pergi-pergi sendiri sama temen.."

Kira-kira itu kalimat yang ia ucap, basi sekali, bukan? Dewasa tidak se bebas seperti apa yang ia bayangkan sewaktu kecil.

Dan ketika bayang itu kembali hadir, pekikan nyaringnya disertai matanya berkaca-kaca kala sang ayah dengan jahilnya mengatakan hendak menitipkannya dirumah nenek kalau saja masih menjahili sang adik hingga menangis.

Satu ingatan akhir yang ia ingat, ketika tubuhnya ditarik dengan kasarnya hingga terjatuh dipelukan hangat sang ayah, juga teriakan panik orang-orang sekitar, umurnya masih 11 tahun kala itu, dimana ia masih nakal-nakalnya ditambah dengan lingkungan sekolah m yang bebas.

Ia menerima panggilan sang teman yang tengah di alun-alun tepat sebrang sekolahnya, tak menghiraukan sang ayah yang tengah repot mematikan ponsel setelah menerima panggilan kantor ia berniat menyebrangi zebra cross sendirian, tak menyadari satu truck kecepatan lumayan tinggi mulai mendekat.

Tinnn...

Brakk!!

Pengang, putih, sakit, tak ada kata yang mampu mendeskripsikan apa yang tengah ia rasakan saat ingatan masa lalu nya ditarik paksa menuju waktu sekarang, tak lagi ada yang ia rasakan kecuali gelap dan telinganya yang terus berdenging.

.

.

Farez menyodorkan botol air mineral yang baru saja ia beli kepada bunda, keduanya berhenti diparkiran minimarket setelah tak sengaja melihat kecelakaan diperjalanan, jalanan menjadi tak kondusif akibatnya sedikit macet dikarenakan juga pengevakuasian korban yang sempat terdengar dari orang-orang sekitar yang heboh korban tak selamat.

Bunda merinding, trauma mungkin saja, ia memilih meminggirkan mobilnya dan menenangkan diri terlebih dahulu.

"Adek aja yang nyetir, bun, bentar sampe bunda reda dikit," tawar Farez entah keberapa kalinya.

"Iya, sebentar sayang, masih ada waktu kok," jawab bunda yang diangguki Farez, ia segera keluar dari kursi samping kemudi untuk bertukar posisi dengan sang bunda.

"Jangan ngebut-ngebut, dek, jalannya ga akan lari kok," candaan garing bunda yang turut ditanggapi Farez dengan kekehan ringan.

Tak ada suara sebagai latar keduany didalam mobil, Farez fokus pada kemudi, bunda yang sedikit enggan menatap jalanan lengang.

Keheningan dipecahkan dengan suara panggilan masuk di ponsel milik Farez, bunda mengambilnya segera, tertera nama "kak pino" disana,

"Nak Vino, mau angkat dek?"

"Angkat aja, bun, bilang lagi nyetir,"

Bunda mengangkat panggilan telfon itu,

"Halo, rez? Dimana?"

"Halo Nak Vino, Farez nya lagi nyetir, gimana?"

"Oh anu bunda, itu, penting banget, maaf juga sebelumnya ini, boleh minta Farez nepi dulu terus kasih telfonnya ga ya, bun?" Jelas Vino sopan disebrang sana.

"Sebentar ya nak ya,"

Bunda sedikit menjauhkan ponsel si bungsu lantas menyerahkannya ketika Farez telah benar-benar menepi.

"Gimana, kak?"

"..."

Farez mengernyitkan dahi mendengar penjelasan Vino, pikirannya dipaksa bekerja dua kali guna kembali meresapi setiap kata yang Vino ucapkan.

"Di?"

"Rumah ayah, gausah keburu, jangan bilang bunda dulu.. maksud gue, takutnya dia panik sampe lo bingung sendiri nyetirnya,"

"Ya, makasih,"

Tak perlu waktu lama untuk Farez kembali memutar arah mobilnya yang membuat bunda keheranan,

"Kok puter balik, dek?"

Farez hanya diam, tak menghiraukan omelan bunda yang tak terima ia diamkan bahkan Farez melihat rautnya merah sebab marah kala tak sengaja meliriknya.

"Maaf, bunda.. kakak lebih penting dari apapun sekarang,"

Butuh sekiranya 25 menit bagi Farez untuk sampai ditempat tujuan, bunda diam hingga pintunya diketuk dari sebelah, Vika, ia tersentak dari lamunannya dan mengeluari mobil yang juga tanpa aba-aba disambut pelukan wanita dihadapannya sembari terisak.

Farez acuh, memilih memasuki gedung bertingkat dihadapannya dengan raut datar bertanya pada resepsionis letak ruang ICU, tak lupa mengucapkan terima kasih dan segera berlalu.

Disana Farez lihat, Andra terduduk dikursi tunggu, Vino berdiri menyandar tembok dengan ponsel digenggamnya, Keval nampak terus menunduk dan juga, Rion? Duduk di sebelah sang ayah dengan pakaian kerjanya.

"Dek? Bunda mana?" Tanya Andra menyadari bungsu hadir disana,

Menengok kebelakang, menggeleng pelan, "tadi sama mama,"

Mendudukan diri disebelah Keval, kursinya di sebelah kanan pintu sedangkan sang ayah dan Rion di seberangnya.

Ia ikut menunduk, menumpukan kepala pada tangkupan tangan, sesekali mengusak rambutnya kasar.

Membutuhkan sedikit waktu lama untuk dokter juga perawat didalam sana keluar, Andra yang segera mengikuti dokter ke ruangannya, Hera dan Farez memasuki ruangan setelah dipersilahkan perawat, sisanya menunggu diluar.

Ingin rasanya Hera bersimpuh, sungguh, kakinya lemas bukan main, Farez dibelakang memapah sang bunda mendekat ranjang, meski tak bisa berkontak langsung karena takut mengganggu jalan kerja alat-alat yang terhubung pada raga sang anak.

Hanya isakan tanpa suara, Farez menatap nanar Arsen, terpejam erat seolah malas kembali membuka mata, mata lebam, badannya banyak luka, sisi kepala sedikit dipangkas habis rambutnya memperlihatkan luka basah.

Jauh dari kondisi baik-baik saja, itu kalimat yang bahkan tak cukup menggambarkan konsisi Arsen saat ini, ventilator yang mengganggu pemandangan, terpasang diwajah yang biasa menebar senyum itu.

"Basi, katanya mau jalan-jalan malah tiduran disini," lirih Farez dengan kekehan lirihnya diakhir kalimat.

Bunda mendekat, tak banyak yang bisa ia lakukan, jemarinya bermain kecil dengan telunjuk kiri milik Arsen, digenggamnya pelan dan ditatapi nya wajah penuh luka milik putra sulungnya.

"Kakak? Kemarin cerita sama bunda katanya mau ukur jalan, hmm? Kok malah disini? Kemarin pamer sama bunda, udah ga takut lagi sama ayah? Istirahat ya, kak ya? Iya, bunda engga akan ganggu kok, bobo dulu aja, gapapa," lirih bunda sembari tersenyum miris dengan mata sembab nya.

Bunda menyempatkan diri mengambil kesempatan mencium pelan kening yang untungnya terjamah dan bebas dari luka, diciumnya penuh sayang selama beberapa detik, dan beranjak keluar menyisakan Farez, kini mendekat, ditempat bunda sebelumnya.

"Kak, sleep tight;"

.

.

.

Ps: 165 vote 20 komen, lanjut sekaligus sampe end, ga melampaui? Discontinue :D

From Arsen✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang