Hening tercipta diseluruh sudut ruangan itu, hanya detak jam dinding yang membuat sunyi sedikit terisi, setidaknya tak menunjukan dengan jelas bahwa disana semua yang ada seolah sudah 'mati'.
Derit pintu terbuka, menampakan sang bunda dengan tas kecil digenggamannya, senyuman tulus ia dapatkan, meski ia tak sedetikpun melempar balasan.
"Adek udah bangun daritadi sayang?" Tanyanya sembari mendudukan diri dikursi tunggal sebelah brankar, "mau minum?" Yang ditanya menggeleng.
"Yang sakit sebelah mana, sayang?"
Ia menoleh pelan, "semua, semuanya sakit, bunda," lirihnya, setelahnya kembali menatap langit langit ruangan.
Bunda dibuat diam, tangannya meraih jemari Farez yang ia tumpuk diatas dada, memainkannya pelan, terakhir digenggam lembut.
"Kakak mana?" Satu pertanyaan terlontar, Hera lagi dan lagi dibuat diam.
Farez menoleh karna tak kunjung mendapat jawaban, "udah ngasih tau kakak belum, bun?" Tanyanya,
Hera mengangguk, "udah tadi, tapi lagi sibuk katanya," tersenyum pelan, "besok juga paling dateng kok," ucapnya dengan nada menaruh harap.
Pintu kembali dibuka, sosok yang Farez benci, entah, padahal mereka baru bersitatap dalam beberapa waktu, namun rasa benci itu seolah sudah tumbuh bertahun tahun dalam diri Farez.
"Udah daritadi bangunnya?" Hera menggeleng pelan,
"Istirahat sana, biar aku tungguin," Hera nenatap Farez yang kini bahkan memilih memejamkan mata juga menulikan telinga.
"Iya, aku keluar dulu sebentar, beli makan," sosok tadi mengangguk dan memilih duduk disofa ketimbang dikursi yang awalnya ditempati Hera.
Menatap Farez yang tetap tenang pada posisinya.
Selang beberapa menit menghela nafas pelan sebelum akhirnya beranjak dan duduk dikursi sebelah brankar.
"Maafin kata kata ayah kemarin," ucapnya membuka suara, Farez yang memang tak tertidur kini membuka kelopak matanya, menatap langit langit ruangan yang entah kenapa lebih menarik untuk dipandang.
"Ayah nggak maksud gitu," lagi, Farez hanya diam, kenapa dia menyebut dirinya 'ayah' didepan Farez? Apa ada sesuatu yang lagi lagi tak ia ketahui?
"Ay-"
"Kenapa nyebut ayah? Ada buktinya? Ayah cuma punya satu, ayah Andra," potong Farez.
Sosok tadi menghela nafas pelan, "ayah jelasin,.."
.
.
Kini matanya terpejam erat, ruangan bernuansa putih dengan semerbak obat obatan khas kembali menjadi pijakannya kini.
Dengan brankar dengan bed putih polos menjadi alasanya berbaring, jangan lupakan nassal canula yang akhir akhir ini hobi menghias hidungnya, selang kecil memanjang yang menyalurkan cairan infus dari wadah ke dalam tubuhnya juga tak luput dari pandangan.
Andra memeras kain yang sebemumnya ia celupkan dalam wadah kecil berisi air hangat, dan ia tempelkan pada kening putranya itu.
"Cepet sembuh sayang, maafin ayah," kini tangannya menyingkirkan helaian rambut yang panjangnya hampir menutupi alis sang putra.
Ponselnya berdering tiba tiba membuat Andra mau tak mau keluar ruangan menerima panggilan itu, menyisakan Arsen direngkuh sunyi.
Andra melangkahkan kakinya menuju taman rumah sakit, berhubung sudah malam, jadi keadaan sekitar sedikit sunyi, hanya beberapa perawat dan penunggu pasien yang berlalu lalang dilorong.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Arsen✓
FanfictionArsen dengan segala cerita dan lukanya, ⚠️warn⚠️ book ini mengandung kekerasan, kata kasar, dan beberapa konten yang mungkin sensitif bagi sebagian orang. dimohon bijak dalam membaca.