thirty five

3.1K 349 21
                                    

Satu per satu pergi meninggalkan pelataran rumah yang tersusun rapi kursi-kursi putih biru, dipinggiran jalan menuju gerbang bahkan sampai pelataran tak hentinya karangan bunga tersusun dengan satu nama yang sama ketika dibaca, "Arsen Davian Putra".

Bunda yang tak hentinya menangisi raga tanpa nyawa dalam peti diatas meja, serta Mama Vika yang tak hentinya menenangkan kehisterisan bunda Hera, dibantu mama juga bunda Vino dan Dean.

Sebuah foto dengan pigura sedikit besar berisi wajah sang putra terpajang diatas peti, ingin rasanya Farez mengusir semua orang dan membakar semua karangan bunga kurang ajar itu, tapi apa? Takdir menamparnya telak, sebuah bogeman mentah ia dapatkan sepagi buta dari kepalan tangan Keval.

"Ga ada yang perlu lo salahin, Rez, bahkan ga ada yang pantes disalahin, dokter bukan Tuhan yang bisa lo suruh nyembuhin Arsen!"

"Kalo lo masih mau nyangkal, sini marah ke gue!"

Farez terdiam dikursi depan pintu melamunkan perkataan Keval tadi ketika masih dirumah sakit, pandangannya mengabur akibat air mata yang menumpuk, muak menyaksikan berbondong-bondong manusia yang berlalu sembari mengucapkan rasa turut berdukacita untuk keluarganya.

Tanpa ia sadari setitik air mata berhasil lolos ke pipinya,

"Bunda terlampau kacau, ia hanya menyuruh kakak untuk istirahat tanpa memintanya untuk kembali dari rehat,"

Kak Arsen pernah bilang, "Ukur jalan itu ya terserah kita nya mau sampe mana aja, ga terbatas sekalipun itu jalan buntu,"

"Tau maksudnya?"

"Jalan orang hidup itu ga akan pernah nemu ujung, kalaupun nemu jalan buntu, nanti juga bakal nemu jalan keluarnya, sejauh apapun kamu ukur jalan, dek, kamu bakal kembali ke tempat asal mu mengambil langkah."

"Kita dilahirkan, selayaknya kita dititah menyusuri jalanan luar, pergi kemanapun kita mau selagi mampu, dan arah jalan itu ga akan pernah salah sekalipun dia nyasarin kita,"

"Kita bakal nemuin ujung dari jalan yang kita susurin, yaitu titik dimana kamu tadi mulai melangkah,"

"Semua udah dirancang, diporsikan masing-masing, gausah takut ngerasa dibedakan, toh dimata Tuhan kita setara, telusuri sejauh apapun itu jalanan, jangan takut hilang pandangan karna tujuan akhir tetap sama, kematian."

Farez menghapus jejak air matanya cepat, mengingat perkataan Arsen hanya membuat hatinya menyesak, ia beranjak, memilih untuk berlalu lewat pintu samping yang terhubung ke garasi lalu ruang tengah.

Mendekat pada Keval yang duduk ditemani Vino juga Dean, teman nya tak ada yang lain kah? Banyak, didepan sana baru saja datang, Farez malas menanggapi ditambah guru-guru yang turut berdatangan, tak ingin menambah mood nya semakin turun ia memilih masuk, disini, bergabung pada tiga lelaki yang lebih tua darinya.

Duduk dibawah sofa bersandar pada paha Keval, memejamkan matanya dengan salah satu lengan menutup mata, rungunya tak henti mendengar jeritan bunda, siapa yang tak berduka, mungkin orang yang tak punya rasa empati.

Dilihatnya Rion memasuki ruang tengah dari arah ruang tamu, Keval memegang pundaknya pelan, lantas tangannya dituntun pelan untuk berdiri, pening, ia rasakan pada kepalanya, Dean dan Keval berjalan dikedua sisi belakangnya sedang Vino mendahului nya didepan.

.

.

Peti milik sang kakak mulai diturunkan, membuat jeritan bunda semakin menjadi-jadi, kali ini mama turut histeris, berkali-kali menyerukan pada benda mati itu untuk tidak membawa sang putra pergi.

From Arsen✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang