Remang sang fajar tak nampak kala itu, hawa dingin pagi itu semakin terasa dingin berkat mega kelabu yang enggan menampakan angkasa biru, sama seperti apa yang Arsen katakan, biru kelabu, keduanya saling memiliki, tak bisa bersatu, meski dalam tempat yang sama, penerimaan saat kehadiranya dibedakan, biru yang disanjung, kelabu yang dirundung.
Derap langkah itu berhenti tepat didepan pintu kamar Arsen, ketukan juga suara lembut yang mengalun setelahnya menyapa rungu Arsen dilembar awal cerita hari ini.
"Kakak, bangun kak," Arsen mengerang tertahan, meski rungunya sayup mendengar suara itu, entah kenapa perkataan bunda tak tertangkap jelas.
Telinganya serasa panas, begitupun tubuhnya yang terbalut selimut, didalam sana terasa hawa panas, ia mencoba mendudukan diri meski percuma, pening hebat ia rasakan, kepalanya seperti diputar putarkan tanpa arah.
Tak lagi ada suara didepan pintu sana, Arsen membuka pelan pintu itu, bunda pasti sudah didapur, dengan berpegangan pada tembok ia menuruni tangga, beberapa kali hampir kehilangan pijakannya.
Tinggal beberapa anak tangga lagi, kakinya serasa lemas tak mampu menahan tubuhnya, ia berjongkok, pegangannya berganti pada pembatas tangga, dicengkramnya kuat kuat mempertahankan kesadarannya.
Tepat sebelum pegangannya terlepas dan terguling kebawah, tangannya ditarik dari atas, Farez, dengan muka bantalnya menahan tangan Arsen yang untungnya masih sempat ia raih.
Farez tercekat merasakan panas yang menjalar pada tangannya, ia menyamakan diri ditangga tempat Arsen berpijak, mengalungkan satu langan Arsen pada bahunya, ia papah menuju kamar.
"Kalo sakit nggak usah maksa buat turun sendiri kak," omelnya, Arsen memaksakan senyuman tipis meski rasanya malas.
"Kak? Loh adek? Kakak kenapa?" Bunda memasuki kamar Arsen dengan wajah paniknya, tangannya terulur pada dahi putra sulungnya itu cepat.
"Kakak demam kok nggak bilang sih?" Setelahnya bunda menghilang, Farez memilih duduk dimeja belajar kakaknya itu menunggu bunda kembali.
"Demam kan lo kak, ngeyel sih," Arsen hanya diam, "coba kemarin jaketnya nggak lo kasih ke gue,"
"Trus lo maunya, lo yang demam gitu?"
"Ya-"
"Trus berakhir gue diomelin bunda dan lo nggak boleh keluar rumah seminggu?"
"Tap-"
"Betah emang jadi manusia purba lo dek?"
"Tapi kan lo sendiri yang jadi sakit," Farez tak mau kalah debat kali ini.
"Lo masih inget kata kata gue kan, dek? Simpen, jangan pernah ilang, itu pesen gue buat lo, sampe kapanpun, terapin kata kata itu," setelahnya Arsen memilih memejamkan matanya.
Bunda masuk dengan kompresan ditangannya, "adek siap siap dulu, bunda kompres kakak bentar," Farez melirik Arsen yang betah memejam, mengacuhkan keberadaan bunda yang kini bahkan mengompresnya.
"Kakak lain kali jangan ngebut naik motornya, ya? Istirahat dulu, sendirian gapapa kan?" Arsen tersenyum kecut dalam tidurnya.
Ia merasakan tangan sang bunda yang terasa dingin dipipinya, "bunda sayang kakak, cepet sembuh," setelahnya bunda menghilang dari balik pintu yang kini tertutup rapat, diakhiri tetesan embun luka dari sudut mata Arsen yang memejam tenang.
Bundanya memang bukan wanita karier, bunda memiliki cafè dengan beberapa cabang, namun akhir akhir ini memang bunda menyibukan diri di cafè, katanya bosan saat ditinggal kedua putranya menuntut ilmu, jadilah ia terbiasa dan memilih rajin mengunjungi cafè nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Arsen✓
FanfictionArsen dengan segala cerita dan lukanya, ⚠️warn⚠️ book ini mengandung kekerasan, kata kasar, dan beberapa konten yang mungkin sensitif bagi sebagian orang. dimohon bijak dalam membaca.