Bab 22

29.4K 1.9K 15
                                    

Perasaan gelisah tentunya tidak bisa Alika hilangkan dengan mudah. Kejadian tadi siang masih membekas diingatannya. Ekspresi kecewa yang ditunjukkan oleh Darren seolah menghantam dadanya, juga dengan sikap Darren yang memilih mengalah membuat Alika merasa bersalah.

Siang tadi dia memang keterlaluan. Dokter Diffan memang meminta bantuannya, dan Alika sudah mengiyakan. Namun, Alika sangat semangat sehingga meminta orientasi lebih cepat. Seorang Dokter Diffan menurut beberapa orang dokter dan suster di sana merupakan sosok laki-laki yang pintar. Dia memiliki banyak cara unik dalam menangani pasiennya. Itulah sebabnya Alika sangat penasaran dan bersemangat untuk belajar banyak darinya.

Darren pergi meninggalkan Alika dengan perasaan bersalah yang besar. Namun, Alika tidak bisa menolak. Tadinya Alika mau meminta maaf lewat telepon. Namun, sudah berkali-kali dia menghubungi Darren, lelaki itu justru mengabaikan panggilan teleponnya. Beberapa saat kemudian lelaki itu justru offline. Tentu saja Alika semakin dihantui perasaan tak tenang.

Malam harinya Alika mencoba menghubungi Darren lagi. Sambungan telepon memang berdering, namun berapa kali pun Alika menghubunginya lelaki itu tetap tidak mau menjawab panggilannya. Akhirnya Alika mengirim beberapa pesan, dia berharap Darren mau membacanya.

Tak selang beberapa menit, sebuah unggahan baru Darren membuat Alika penasaran. Unggahan tersebut berisi foto beberapa orang lelaki yang tidak Alika kenali kecuali Darren dan juga Aden. Foto itu diambil ketika masih sore, karena cahaya matahari jelas masih tampak bersinar. Kemungkinan Darren sengaja baru mengunggah foto tersebut malam hari.

Alika tanpa sadar berdiri di depan rumah orang tua Darren. Berhubung jalan pulang menuju rumahnya bisa juga melewati jalanan ini, Alika mencoba peruntungannya. Namun, memang kesialan sedang mendatanginya.

"Mbak cari Mas Darren, ya?"

Alika mengangguk ketika satpam rumah Juwita menghampirinya. "Darren ada di dalam, Pak?"

"Mobilnya Mas Darren memang ada, Mbak. Tapi, tadi sore saya lihat Mas Darren pergi dijemput temannya. Nah, saya kurang tahu Mas Darren sudah pulang atau belum."

"Memangnya kalau lewat gerbang depan ada kemungkinan Darren nggak terlihat, Pak? Pasti Pak Satpam tahu karena gerbangnya kan selalu ditutup."

"Itu, tadi sebelum maghrib saya tukeran dengan adik saya. Anak saya sakit, jadi saya antar dulu ke rumah sakit. Bisa jadi Mas Darren pulang sewaktu adik saya yang jaga atau mungkin juga belum pulang."

"Oh, begitu, ya, Pak."

"Kenapa tidak dihubungi saja, Mbak."

"Sudah, Pak."

"Sebentar, saya telepon adik saya dulu."

"Eh, nggak usah, Pak. Saya pulang saja." Alika merasa tak enak hati. "Nanti saya hubungi Darren lagi. Kalau begitu saya permisi, Pak."

Pak satpam hanya mengangguk pelan. Dia juga tidak memaksa Alika untuk menunggu lebih lama.

Sebenarnya Alika curiga kalau Darren sedang menghindarinya. Mungkin semacam merajuk. Alika akan mencoba menghubungi Darren lagi nanti sesampainya dia di rumah. Untuk sekarang Alika harus pulang dulu.

Sampai di rumah pun Alika bergegas menuju kamarnya. Rasa lelah dan tubuh yang lengket karena keringat membuat Alika ingin segera membasuh tubuh dengan air dan sabun. Tubuhnya benar-benar terasa segar kembali setelah mandi.

Dari luar kamar Alika mendengar suara Susan yang berteriak menanyakan apakah dia sudah makan atau belum. Meskipun terasa lapar, Alika terlanjur malas untuk mengisi perutnya. Akhirnya, dia memutuskan untuk berbaring di ranjang sambil mencoba untuk menghubungi Darren lagi. Namun, bukannya menerima balasan dari Darren, Alika justru mendapatkan notifikasi dari postingan terbaru laki-laki itu.

Oh, My Ex! (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang