Bab 24

30.3K 1.8K 27
                                    

Terhitung sudah dua hari sejak Juwita mempermalukan Darren di depan umum, tepatnya di depan ruangan lelaki itu Juwita memarahi Darren sama seperti ketika dia memarahi anak berumur lima tahun. Alika bukannya tidak ingin membantu, namun Juwita sudah memberinya pelototan agar tidak ikut campur urusan ibu dan anak tersebut.

Selama dua hari itu juga Darren menerima bully-an ringan dari teman-temannya. Beruntung, Darren diejek karena dipermalukan oleh Juwita. Bukan karena dia tercyduk berbuat mesum di ruangan. Juwita tahu, tapi berusaha untuk menahan mulutnya agar tidak ceplas-ceplos.

Saat itu Juwita marah karena Darren tidak bisa dihubungi semalaman. Darren memang memberi kabar, tapi tak mau mengangkat teleponnya. Juwita tentunya berpikiran buruk, takut kalau putranya kabur dari rumah. Untunglah Farren meyakinkan kalau adiknya aman dan sudah mengorok di dalam kamar tamu rumahnya.

Urusan dirinya yang tercyduk dengan Alika, Juwita sengaja menahan mulut sampai Darren selesai bekerja. Perempuan paruh baya itu lantas mendatangi kantor suaminya untuk bicara serius. Singkatnya, kini Darren beserta keluarga besarnya datang ke kediaman keluarga Wijayana.

"Resepsinya mau diadakan di mana? Kalau mau nanti saya bicarakan dengan adik ipar saya, kebetulan dia punya hotel di kawasan Jakarta Pusat. Atau mau di Bali?"

"Sepertinya di Jakarta saja, Mbak. Supaya segala sesuatunya bisa diurus dari rumah."

"Tenang, kita serahkan semuanya sama pihak Wedding Organizer. Tapi, saya nggak memaksa kok, kalau memang mau di Jakarta juga nggak masalah."

"Saya lebih setuju di Jakarta. Tapi, mungkin kalau untuk bulan madu bisa pakai hotel yang di Bali."

"Ma, nanti dulu, kita belum sepakat untuk pilih tanggalnya," ucap Aryo, lelaki yang berstatus sebagai papanya Alika.

"Mama juga, mulutnya tolong dikunci dulu." Arga melirik istrinya. "Kita belum dapat kesepakatannya seperti apa."

Juwita meringis malu. "Maaf, Pa. Mama excited banget."

"Nah, gimana kalau kita tanya anak-anak yang akan menjalaninya?" tanya Aryo. Aryo memandang Darren dan Alika secara bergantian. "Gimana, Darren? Atau Alika? Kalian punya usulan?"

"Kalau saya nggak muluk-muluk kok, Om. Saya mau menikah secepatnya. Untuk urusan pesta dan sebagainya saya yakin mama yang paling paham. Tapi, kalau untuk tanggalnya, Alika punya pendapat." Lelaki itu menatap calon istrinya. "Gimana? Sepakat pakai tanggal itu?"

"Gimana, Al? Udah siapin tanggal?" tanya mamanya tak sabaran.

"Udah, Ma. Tapi, Alika juga butuh pendapat Mama dan Papa sekiranya tanggal yang Alika usulkan cocok atau nggak." Alika tersenyum, kemudian melanjutkan, "Alika mau menikah ditanggal sepuluh, dua bulan yang akan datang. Gimana, terlalu cepat nggak?"

"Sama sekali nggak terlalu cepat kok, Sayang." Juwita tertawa senang. "Tante setuju banget."

"Om juga setuju," sahut Arga. "Gimana, Yo? Kamu setuju atau tidak?"

Aryo mengangguk. "Setuju. Sepertinya mereka juga sudah memikirkan tanggal itu matang-matang. Tapi, kenapa kalian pilih tanggal itu?"

"Bukan apa-apa sih, Pa. Sebelumnya aku pernah tanya opa, katanya tanggal itu merupakan hari yang baik. Alika percaya kalau opa nggak salah pilih tanggal. Dan juga, menurut aku waktunya nggak terlalu cepat atau pun terlalu lama."

"Kami setuju saja, Al. Tapi, sebentar deh." Juwita menatap putra sulungnya. "Farren, bukannya deket-deket tanggal itu kamu mau pergi, ya?"

Darren menoleh dengan kening mengerut. "Pergi ke mana, Mas?"

Oh, My Ex! (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang