Chapter 37

20 3 0
                                    

Aksara menatap langit kota Aachen dengan senyuman. Ia tidak pernah merasa baik-baik saja seperti saat ini—rasanya sangat nyaman dan menenangkan. Ia harus kembali ke Amsterdam secepatnya—ia sudah tidak tahan dengan terror telepon dari William Javiar—sahabatnya, ketika ia berkuliah di Columbia University. Bangku disamping seperti ada yang menduduki, tapi ia enggan membuka matanya—ia tidak ingin merusak suasana yang nyaman ini.

"Kenapa?" tanya Aksara—karena ia tahu perempuan di sampingnya ingin membicarakn sesuatu dengannya ketika ia bisa merasakan kegelisahannya.

"Apa kita akan kembali ke Indonesia?" tanya perempuan itu dengan lirih.

Aksara menghela napas dan membuka matanya menatap perempuan itu yang menautkan tangannya—membuktikan jika ia sedang gelisah. "Aku harus kembali ke Amsterdam dan pergi ke Korea dua bulan setelahnya. Kalau kamu ingin pergi ke Indonesia saat ini juga, aku akan memesankan tiketnya. Kamu bisa tinggal di Apart aku yang ada di Bintaro atau kamu mau pulang ke rumah orang tua kamu? Aku tidak akan melarang, semua keputusan ada di kamu."

Perempuan itu semakin gelisah, "Aku akan kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan urusan aku di Korea. Beberapa kedai akan segera buka di sana dan perusahaan Papa yang ada di Korea pun harus aku tangani. Kalau kamu mau ikut bersama aku, aku bisa membawa kamu kembali ke Indonesia setelah mungkin usia kandungan kamu delapan bulan, kamu nggak apa-apa? Karena aku nggak mungkin bolak-balik Eropa-Asia hanya untuk mengantar kamu. Aku sangat sibuk sekarang ini, Git. Mengertilah, karena perusahaan aku yang ada di Amsterdam sedang mengalami kesulitan dan beberapa kedai Semesta akan segera buka di beberapa negara," kata Aksara yang membuat perempuan itu mengehela napasnya.

"Jika perempuan itu yang ada diposisi aku—apakah kamu akan seperti ini juga, Sa?"

Aksara memejamkan matanya, "Aku tidak pernah membedakan kamu dan dia, Git. Kita kenal sudah lama, sebelum aku mengenal dia. Kalau aku membedakan kamu dan membandingkan kamu dengan dia, aku jahat namanya—kalau aku jahat, aku nggak akan menikahi kamu, Git."

"Kamu menikahi aku, karena pencarian kamu terhadap dia buntu, Sa" lirih perempuan itu.

"Aku tidak akan menyangkal itu semua, Git. Tapi, aku nggak sejahat itu sampai membuat kamu membesarkan anak aku sendirian—karena, aku sudah merasakan besar tanpa kasih sayang utuh dari kedua orang tua aku, Git. Kamu tahu itu. Aku sudah menyerah dengan mencari dia, aku hanya ingin kamu menunggu aku. Nyatanya beberapa bulan aku bersama dia membuat aku jatuh cinta seperti saat ini. aku nggak mengerti kenapa dia meninggalkan aku, dan mungkin ketika nanti kita tak sengaja bertemu, aku hanya ingin mennayakan alasannya."

Perempuan itu menundukan kepalanya, air matanya menetes dan ia segera mengusapnya—jangan sampai pria di sampingnya tahu apa yang ia lakukan. Ia tahu kenapa perempuan itu melarikan diri—ia yang dengan sengaja menemui perempuan itu dan mengancamnya—sampai perempuan itu melihat ia mencium Aksara di pesta ulang tahun pria itu dan perempuan itu menghilang setelahnya. Ia tidak mengira perbuatannya membuat Aksara terpuruk seperti ini, saat itu ia hanya ingin Aksara-nya kembali padanya.

"Aku akan menanyakan kepada Kaka dokter kandungan yang bagus dimana di Aachen ini. kamu harus check up sebelum kita berangkat ke Amsterdam, atau kamu mau kembali ke Indonesia? Kamu bisa memikirkannya terlebih dahulu."

Aksara bangkit dari duduknya dan melangkah masuk ke dalam rumah bergaya Eropa minimalis itu. Ia harus membuat secangkir kopi sebelum kembali mengurus beberapa laporan yang dikirimkan sekretarisnya, Andra dan William. Dan setelahnya ia harus kembali mengurusi perusahaan Papanya yang akan berpindah tangan kepadanya dan beberapa anak perusahannya yang sedang mengalami kesulitan sama seperti perusahaan pusat yang berada di Amsterdam.

Setidaknya banyaknya pekerjaan membantu ia melupakan Ananta—perempuan yang menghilang begitu saja.

*

Kaka memakirkan mobilnya di halaman rumahnya yang luas. Ia memijat lehernya sambil membuka pintu dan melihat Gita yang tengah bermain dengan anak anjing yang sudah ada ketika ia menyewa rumah ini. Kaka tersenyum dan menghampiri Gita yang tengah asik bermain itu, "Lo suka anak anjing?" tanya Kaka.

Gita terkejut dan membalikkan badannya untuk melihat Kaka yang baru saja datang dengan wajah yang sangat lelah. Gita mengangguk dan tersenyum, lalu membalikkan badannya kembali untuk bermain dengan anak anjing yang manis itu.

"Sergio" Gita kembali menatap Kaka, "namanya Sergio, umurnya baru setahun dan kelihatannya dia suka sama lo."

Gita kembali mengangguk, "Terima kasih kamu sudah mau menerimaku."

Kaka tersenyum, "Tenang aja, gue nggak akan ikut campur sama urusan lo berdua. Lagipula, kita kenal sudah lama—gue Cuma saranin, lo banyakin sabar aja. Akasara terlalu kaku dan tidak sesantai dulu."

Gita mengangguk, "Aku sudah memperbanyak stok sabarku," kata Gita sambil memarken giginya.

Kaka tertawa, "Bagus. Lo bisa meneruskan bermian dengan Sergio. Gue butuh mandi untuk menyegarkan tubuhku yan sudah lengket dan pegal karena lamanya operasi."

Kaka meninggalkan Gita di halaman, ia melangkah masuk ke dalam rumahnya dan menaruh paper bag di saamping lemari. Ia akan mengeluarkannya nanti, setelah ia sudah membersihkan dirinya. Sudah dua hari ia tidak pulang ke rumahnya, dan jadwal operasi yang padat membuatnya tidak dapat tidur dengan baik. Ia segera masuk ke dalam kamar mandi dan memberishkan dirinya.

Kaka keluar dari kamar mandi dan segera memilih baju yang akan ia gunakan. Ia kembali memikirkan tawaran dari temannya Killa. Ia harus menelepon Dokter French dan menanyakan mengenai pria itu—Alexander Lee. Entah mengapa, ia seperti bimbang untuk menerima tawaran itu—buktinya, cuti yang ia ajukan selama setahun di salah satu rumah sakit di New York malah membuat ia kembali bekerja di Aachen. Tawaran pekerjaannya saat ini memudahkan untuk beristirahat, karena Harziq memberinya kewewenang hanya mengoperasi operasi yang besat-besar dan praktik seperti yang ia lakukan di New York.

Ia harus memikirkan kembali tawaran itu, karena mungkin ia tidak bisa beristiharat di tengah cutinya. Ia mengeyahkan pikirannya dan segera masuk ke kamarnya untuk tidur sebentar sebelum menelepon Dokter French.

"Astaga, lo mau kerja di sini, Hah?! Lo bisa pindahin semua kertas-kertas itu ke sofa gue? Gua mau istirahat," kata Kaka.

Kaka terkejut ketika membuka kamarnya, pemandangan yang biasanya rapih kini berantakan dengan tumpukan kertas di ranjangnya. Dan semua itu adalah ulah sahabatnya, Aksara Chrysander.

"Lo bisa tidur di sofa. Gue harus nyelesain ini semua."

Kaka naik pitam, ia sudah banyak pikiran ditambah kelakuan menyebalkan sahabatnya ini. ia segera melangkah ke arah ranjang dan mengumpulkan kertas-kertas itu dan membawanya ke meja yang ada di kamarnya. Ia kembali ke ranjangnya dan langsung merebahkan dirinya.

"Lo bisa lanjutin kerjaan lo di sana." Tunjuk Kaka kepada sofa dan menatap Aksara yang tengah mengangkat sebelah alisnya.

"Ini rumah gue dan kamar gue. Seengaknya, lo kalau numpang di rumah orang itu tahu diri, Sa."

Akasara mengehela napas dan bangkit menuju sofa.

"Dokter kandungan yang terbaik di Aachen dimana, Ka?"

Kaka yang hampir menutup matanya menjawab dengan setengah sadar, ia sudah sangat lelah saat ini. "Nanta"

Alis Aksara terangkat mendengar nama perempuan itu. Ia tidak mengerti maksud ucapan Kaka. Apakah perempuan itu bekerja sebagai dokter kandungan dan ia tinggak di Aachen?

Pemikiran itu membuat jantung Aksara berdetak kencang. Sial, Ra! Lo harus ngendaliin diri lo!

Ananta Killaputri [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang