Chapter 4

90 7 0
                                    

Pagi ini, Aksara sudah berada di halte depan Apartemennya. Aksara menunggu Bus Kota yang akan mengantarnya ke Sekolah. Aksara menaiki Bus dan duduk di bangku kosong dekat jendela. Aksara dengan penampilan yang jauh dari kata rapih itu memancing perhatian perempuan muda yang akan berangkat Sekolah pagi itu. Wajahnya yang tampan membuat perempuan yang berada di dalam Bus itu meliriknya diam-diam. Aksara tidak memeperdulikan apa yang dilakukan perempuan itu, matanya terpejam dengan earphone yang melekat di telingannya.

Aksara berdiri dari duduknya ketika mendengar suara kenek Bus yang memberitahu halte selanjutnya ialah halte sekolahnya. Garuda Perwira. Aksara turun dengan meloncat dari Bus dan berjalan dengan tas yang terpakai hanya disebelah bahunya saja. Aksara merogoh sakunya dan mengambil permen karet yang selalu ia bawa kemana-mana. Aksara memakan dan memainkan permen karet di mulutnya dengan asal. Aksara berjalan dari Lorong kelas 10 hingga Lorong yang memisahkan kelas 11 dan kelas 10 dengan tangga yang menuju Lorong kelas 12.

Aksara menaiki satu-persatu tangga yang menuju kelasnya. 12 IPS 5, kelas terbandel, ter-rusuh, dan kelas buangan. Sebenarnya, kelas yang Aksara tempati tidak buruk seperti yang dikatakan anak-anak Garuda pada umumnya. Buktinya, ia seorang kapten basket SMA Garuda Perwira masuk ke kelas tersebut. Hal itu juga yang membuat seluruh warga sekolah terheran-heran. Mengapa murid se-pintar Aksara bisa masuk ke kelas yang terkenal dengan catatan buruknya.

Aksara berjalan memasuki kelasnya dan melempar asal tasnya ketika ia sudah berada dekat dengan mejanya. "Bangsat! Bisa enggak sih lo, kalau dateng itu baik-baik?" ujar teman Aksara yang sedang bermain game online di ponselnya.

Aksara terkekeh, dan langsung duduk di bangkunya. "Ko? Kemaren ada pr nggak?"

Rico, teman sebangku Aksara sekaligus sahabatnya Aksara mendengus kesal sebelum mematikan ponselnya dan menatap Aksara tajam. "Lo kemaren kemana, Anjing? Ngilang nggak jelas! Si Burhan nyariin lo noh kemarin." Rico membuka tasnya dan melempar bukunya dengan asal ke arah Aksara.

Aksara menerimanya, "Biasa."

"Salin, Bego!! Si Burhan masuk sebentar lagi," ujar Rico dengan kembali memainkan game di ponselnya. "Seenggaknya, lo harus berterima kasih ke gue. Udah ngasih lo nyontek."

"Sama lo apa sama si Udin?"

Rico tertawa mendengar pertanyaan dari Aksara dan melanjutkan main ponselnya. "Dua-duanya."

*

Seperti biasa kantin di Garuda sangat amat ramai. Apalagi jika sudah tiba dimana Aksara dan teman-temannya masuk ke dalam kantin untuk makan siang. Akan sangat penuh dan sesak. Aksara dan kedua sahabatnya duduk di meja pojok Kantin yang telah menjadi tempatnya selama tiga tahun ini. Entah mengapa tidak ada orang yang ingin menempati meja ini, dengan alasan meja itu adalah miliknya. Tapi, di samping itu, Aksara berterima kasih dan bersyukur kepada seseorang yang membuat pernyataan seperti itu. Karena, dengan begitu, Aksara tidak perlu repot-repot mencari tempat duduk lagi, dan lagipula, Aksara pun sudah nyaman dengan tempat duduknya saat ini.

"Lo pada mau taruhan nggak sama gua?" ajak cowok yang berada di depan Aksara.

"Taruhan apaan?" tanya Rico yang baru saja datang dari memesan makanan untuk mereka berempat.

"Dikit lagi bakal ada drama yang menajubkan."

"Alah! Basi, bego! Gue udah tahu otak bulus kek lo ini. Bego-begoin orang, padahal lo yang paling bego di antara kita, Rie." Cowok yang mengajak taruhan itu tertawa, padahal tidak ada yang lucu dari kata-kata Rico kepadanya.

"Gilaknya kumat." Dengus cowok yang berada di sebelah Aksara dan Arie.

"Lo kemaren kemana, Wa?"

"Biasa, doi di suruh Papanya tercinta ke Kantor tersayang." Aksara hanya diam. "Diem aja, anjing! Kek aksara jawa beneran, bego!"

"Udah, terserah Abang Aksara aja mau jawab apa enggak! Dia kan pita suaranya mahal." Timpukan kulit kacang mengenai wajah cowok itu.

"Diem, Ka!"

Teman-temannya hanya tertawa dan memakan makanan yang di pesan Rico. Minggu ini adalah giliran Rico yang akan memesan seluruh makanan mereka dan membayarnya. Mereka akan berganti-gantian setelah satu minggu. Aksara tersenyum sebelum memakan mie ayam yang ada di depannya, ketika pikirannya menuju ke satu orang gadis, Ananta.

"Gilak!"

*

Kini, mereka berempat sudah berada di atap gedung Sekolah. Bel masuk setelah istirahat sudah berbunyi sedari lima menit yang lalu. Arie dan Rico sedang bercanda dan taruhan dengan memainkan game yang ada di ponsel mereka. Sedangkan Kaka, ia sedang menulis beberapa rumus di buku catatannya. Berbeda dengan Aksara yang kini sedang tiduran di atas lantai kotor tak beralas dengan muka yang ditutupi buku milik Kaka.

Bugh

"Rajin banget sih, Ka! Heran gue!" ujar Rico setelah menimpuk Kaka dengan kerikil kecil yang ada di atap.

Kaka hanya mendengus dan tidak meladeni Rico yang mencari gara-gara dengannya. "Percuma bego! Lo mau bilang apa juga enggak bakal mempan sama tuh anak," ujar Arie dengan kekehan sembari menoyor kepala Rico.

"Anjing."

"Kenapa lu enggak ke kelas aja sih, Ka? Heran gue, lo suka bolos tapi tetep aja dapet rangking. Lah gue? Boro-boro, tiap hari nyalin punyanya si Udin." Rico terkekeh dengan kata-katanya.

"Yak gimana nggak mau dapet rangking, bloon. Dia aja kalau bolos kerjaannya belajar mulu!"

"Lo kenapa sering bolos?" tanya Rico penasaran.

Kaka menatap Rico yang menunjukan wajahnya yang sangat penasaran, "Sekarang gue tanya ke lo, kenapa lo sering bolos?"

"Bosen! Lagian pelajaran enggak ada satupun masuk ke otak gua!" ujar Rico dengan tampang sok polosmya. "Gimana gue masuk IPA yak? Di IPS aja gue bobroknya bukan main." Rico kembali terkekeh dengan ucapannya sendri.

"Gilak, lo!" Kaka melempar kerikil ke arah Rico yang sudah menghindar duluan. "Gue juga bosen! Apalagi ketemunya sama Si lele lagi lele lagi. Mumet otak gue! Bukannya jalan malah kesumbat!" ujar Kaka dengan kekehan kecil.

"Lo di ajar sama ikan lele? Hebatttttt, gue bangga!"

"Rie, gue heran sama lo," ujar Rico yang membuat Arie menengok ke arah Rico.

"Kenapa?"

"Lo anak IPA, kan?" Arie mengangguk. "Kok lo nggak belajar kayak si kunyuk satu ini?"

"Sialan lo!" umpat Kaka dengan melempari kerikil kecil, lalu fokus lagi dengan buku di tanggannya.

"HEH! Coconut anaknya Tante Fitri! Gue itu pinter kali. Liat soal si lele aja bisa gua kerjain lima menit. Enggak kayak si Kaka yang Emaknya nggak kreatif, namain anak karena pertama Namanya Kaka, anak kedua Namanya Ade. Benar-benar enggak kreatif. Awshh," aduh Arie ketika bagian belakang tubuhnya di pukul kencamg oleh Kaka.

"Bangsat! Kenapa jadi bawa Bunda?" ucap Kaka yang kini sudah menutup bukunya dan merebahkan badannya di atap sekolah.

"Ya Allah, bercanda gue, Ka. Baperan amat lo kayak si Jawa!"

Aksara berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah pintu keluar. Rico yang melihat itu langsung berteriak memanggil Aksara, "Eh,Nyet. Lo mau kemana?"

Tanpa menghentikan langkahhnya dan berbalik ke arah sahabat-sahabatnya, "Bambang," ucap Aksara sedikit berteriak.

Rico mendengus, "Si bodat satu ini kebiasaan! Manggil guru enggak pernah sopan!" gerutu Rico ketika punggung Aksara sudah tidak terlihat lagi.

"Emang lo enggak?" Rico menatap Arie dengan serius.

"Samalah bego, hahahaha," ujar Rico dengan tawa yang meledak setelah memukul kepala Arie.

"Bego kalian semua. Gue ke kelas dulu." Kaka meninggalkan kedua sahabatnya yang kelihatan masa bodo dan melanjutkan untuk tidur di bawah sinar matahari.

Ananta Killaputri [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang