Chapter 2

131 11 0
                                    

Ananta sedang menunggu bus di halte depan Sekolahnya, awalnya ia akan pulang bersama dengan Devan. Namun, tiba-tiba gebetannya Devan datang dan meminta antar Devan untuk pulang. Ananta mendengus kesal ketika mengingat kejadian tadi, baru juga jadi gebetan si kunyuk udah ngatur-ngatur.

Lima menit yang lalu...

Devan sudah menunggu Ananta di depan pintu kelas Ananta. Terkadang, Devan menengok ke dalam untuk melihat Ananta yang sedang membersihkan kelasnya. Devan tersenyum, Ananta-nya memang sangat sederhana.

"Nanta? Udah belum? Lama banget deh lo! Capek nih gue!!" ujar Devan dengan nada kesal yang dibuat-buatnya.

Nanta diam saja, namun Kiara- teman sekelasnya Ananta – mendengar ucapan Devan. Kiara langsung mengambil sapu yang di pegang Ananta yang membuat Ananta menatapnya heran. "Ta, lo di panggil Kak Devan noh."

Ananta hanya memutar matanya malas dan kembali ingin melanjutkan kegiatannya. Namun, Kiara langsung menjauhkan sapunya dan menatap Ananta seperti menyuruh untuk menghampiri Devan yang sedang berdiri di depan pintu. Ananta malas berdebat, Ananta hanya menurut saja.

"Ada apa?" tanya Ananta malas.

"Lama."

Ananta mendengus sebal, "Kalau lo enggak ikhlas nganterin gue pulang, yaudah duluan aja! Gue mau piket dulu."

Devan terkekeh dan mengusap kepala Ananta lembut, "Ntar Ms. Ananta marah sama gue."

"Sana duluan aja!!"

Tiba-tiba ada tangan yang langsung bergelayut manja di lengan Devan dan menatap Ananta tajam. Siapa lagi kalau bukan si ular busuk Quila. "Devan enggak akan pulang sama lo kok. Dia ada janji sama gue. Ya kan, Dev?" tanya Quila dengan nada manja kepada Devan.

Devan hanya membalas dengan tatapan datar, "Lep-" belum selesai bicara, ucapan Devan sudah di potong oleh Ananta. "Oh gitu, yaudah sana, bawa Devan jauh-jauh dari gue. Hari ini gue lagi alergi sama orang ingkar janji."

Setelah mengatakan itu, Quila langsung membawa Devan pergi dari kelasnya. Tapi, Ananta tahu bahwa Devan benci berduaan dengan Quila. Ananta selalu menyebut Quila adalah gebetannya Devan, tapi sebenarnya adalah Quila tidak lebih dari seorang penggemar Devan. Ananta tersenyum geli ketika kembali membayangkan wajah Devan sebelum pergi. Tadinya, Ananta ingin meneruskan tugas piketnya, namun ternyata sudah diselesaikan oleh Kiara.

Akhirnya mereka pulang. Kiara yang di jemput supirnya dan Ananta yang menunggu bus untuk menjemputnya. Betapa malangnya nasibnya kali ini? Sudah diberi harapan palsu dua kali dengan satu cowok.

Memang Devan brengsek!

Ananta menaiki bus yang menuju rumahnya. Memang ia lebih senang menaiki transportasi umum daripada pribadi, tapi Devan sering mengajaknya naik mobil pribadinya, agar cepat sampai, katanya. Ananta memilih bangku ketiga dari depan dan duduk dekat dengan jendela. Setitik, dua titik air membahasi kaca di samping Ananta. Ananta yang memang menyukai hujan, segera menengok dan mengadahkan kepalanya untuk melihat langit yang semakin hitam.

Tiba-tiba, Ananta merasakan ada seseorang yang menduduki bangku di sebelahnya. Ananta menengok dan melihat seorang laki-laki dengan kacamata bundar tipis dengan mata terpejam dan earphone yang berada di kupingnya. Sekilas, Ananta akui laki-laki itu tampan, dengan hidung mancung, perawakan yang pas untuk ukuran seorang pria dan alis yang tebal.

"Ada yang salah dengan wajah gue, Miss?" tanya laki-laki itu dengan mata yang masih terpejam, Ananta terkejut dan ia langsung memalingkan mukanya ke arah kaca yang menampilkan hujan yang semakin deras.

"Lo suka hujan?"

Ananta memalingkan wajahnya menghadap laki-laki itu yang sekarang sudah duduk dengan tegap dan mata yang memandang Ananta, sangat tajam. "Iya, lo?" Ananta memnganggukan kepalanya.

Ananta melihat laki-laki itu tidak menjawab pertanyaannya dan kembali memejamkan mata. Dasar laki-laki menyebalkan!

"Enggak." Singkat, jelas, dan padat.

Dasar laki-laki aneh.

Ananta berdiri dari duduknya untuk turun di halte depan perumahannya. "Permisi, gue mau turun."

Laki-laki itu membuka matanya dan menengok ke kaca sebelum memindahkan kaki panjangnya ke jalan tengah di bus tersebut. "Hati-hati," ucap laki-laki itu yang masih bisa di dengar oleh Ananta. "Oh, Perumahan Cluster Raya," lirih laki-laki itu yang tak bisa di dengar Ananta.

Sebelum Ananta turun dari busnya, Ananta kembali melirik tempat duduknya yang kini di duduki laki-laki itu seorang diri. Kini, laki-laki itu kembali memejamkan matanya. Anata menggelengkan kepalanya dan berlalu turun dari bus tersebut dengan tangan di atas kepala menghindari hujan. Setelah sudah di halte, Ananta berniat mengambil ponselnya yang ada di tas. Namun, sepertinya kemalangan menimpanya berturut-turt hari ini, ponselnya untuk menelepon meminta jemput Mang Ujang kini mati. Ia lupa membawa power bank, jadinya beginilah. Dan kini, ia bingung bagaimana caranya untuk sampai rumah tanpa dengan keadaan basah kuyup. Andai saja, di depan perumahannya ini ada tukang ojek pangkalan, maka Ananta akan naik itu saja, tidak apa mahal yang penting Ananta bisa sampai rumah. Akhirnya, Ananta terpaksa menerobos hujan yang lumayan deras, karena Jakarta menjelang malam, dan Ananta harus sampai rumah sebelum adzan maghrib berkumandang. 

Ananta Killaputri [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang