Chapter 10

90 5 1
                                    


"JAWAAAA!"

Arie dan Kaka tertawa ketika melihat tingkah Rico yang memanggil Aksara sambil melempari cangkang kacang kepada Aksara yang baru saja masuk ke dalam kantin.

Aksara menatap Rico dingin dan mendengus sebal. Kaka yakin kepala Rico akn berlubang jika tatapan Aksara berubah menjadi sebuha laser. Rico yang hanya cengengesan membuat Arie menggelengkan kepalanya saja, dua makhluk itu me-mang tidak pernah berubah.

"Lo darimana aja? Bukannya bantuin gue masuk kelas, malah lo yang nggak ada di kelas," ucap Rico ketika Aksara baru saja menduduki dirinya di bangku. Aksara menatap Rico dengan sebelah alisnya terangkat.

"Lo bolos?!"

Aksara mengeluarkan ponselnya tanpa mengindahkan perkataan yang keluar dari Arie. Ia memesan makan siangnya melalui ponselnya, sekolah mereka memang sudah menerapkan e-catering untuk murid-murid yang ingin makna siang tanpa perlu repot-repot ke kantin untukk memesan.

"Anjir, kok lo nggak ajak gue sih? Tau gitu gue nggak bakal masuk ke kelas si Aris, njir."

Kaka melempar cangkang kacang ke mulut Rico, "Asal bego kalau ngomong! Kalau tiba-tiba cepu pada denger, abis lo di BK. Nggak puas apa seminggu kemarin bolak-balik Bk?"

Rico hanya cengengesan nggak jelas dan kembali makan kacang di depannya. Sedangkan Arie menatap Aksara yang masih fokus menatap ponselnya. Sebenarnya, ada sesuatu yang membuat Arie penasaran, "Ra, gimana kabar Gita?"

Rico mengangguk dan menatap Aksara yang mendoangkan kepalanya ketika mendengar pertanyaan dari Arie. "Baik"

"Dia udah keluar rumah sakit? Gue mau jenguk dia, tapi nggak tau dia dimana. Mangkanya gue nanya lo."

"Sama Andra aja."

"Lo nggak ikut?" Kaka yang sedari tadi hanya mendengarkan pun bersuara.

Aksara menggeleng, "Gue jaga kedai."

"Anjing, si Andra punya cewe baru! Cantik banget gilak, bisa-bisanya dia sekolah negeri dapet cewe bening kayak begini. Biasanya yang modelan kayak gini kan adanya di swasta sekolah macem kita yak!" perkataan Rico menarik perhatian ketiga orang itu termasuk Aksara manusia yang tidak peduli akan sekitar.

Rico menunjukkan ponselnya yang menampilkan foto Andra dan seorang gadis dengan kuncir kuda dan kemeja oversizenya di taman hiburan yang diposting Andra beberapa jam lalu. Aksara tahu gadis itu. Ananta.

Rico berdecak, "Sialan, dia nggak tag ceweknya! Kayaknya dia tahu deh, gua bakalan deketin cewenya," ucap Rico sembari terkekeh.

"Akhirnya tuh bocah dapet juga ya. Kirain gue dia bakal jadi cinta bertepuk sebelah tangan." Perkataan Arie kembali membuat tiga orang itu menoleh ke arah-nya penasaran termasuk Aksara.

"Lo kenal cewek itu?" pertanyaan itu meluncur saja dari mulut Aksara.

Ketiga temannya menatap Aksara terkejut, karen apasalnya Aksara tak pernah menunujukkan ketertarikannya saat mereka membiacarakan gadis incaran mereka. Dari yang bentuknya sexy, imut, lebih tua, bahkan mungkin jika salah satu dari mereka menjalin kasih dengan nenek pun Aksara tidak peduli. Dan kali ini, Aksara menunjukkan ketertarikannya. Mereka saling tatap dan seakan berbicara, "Selamat."

*

"Gue nggak mau, Devan! Ngerti nggak sih orang bilang nggak mau? Nggak usah maksa deh!" ucap Ananta kesal ketika Devan memaksanya untuk menemani-nya ke acara ulang tahun temannya.

"Ayolah, Ta, gue nggak ada temen ke sananya. Ini temannya kapel-kapel gitu, lo tau sendiri kan gue nggak punya pasangan,"Ananta mendengarkan suara Devan yang memohon di seberang sana.

"Nggak mau, temen-temen lo kan bringas-bringas. Entar kalau gue di apa-apainn gimana?" tanya Ananta yang membuat Devan terekekeh di seberang sana.

Ananta menaiki busnya yang baru saja sampai di halte. Ia baru pulang dari toko buku, mencari beberapa buku referensi kedokteran dan membeli beberapa novel yang akan menemani kebosenannya. Ananta mentap kartu di bus, lalu berjalan ke arah tempat duduk paling belakang. Tempat kesukaannya.

"Nggak bakal diapa-apain, Nanta. Lagian apa yang mau digrepe dari lo? Lihat aja, dari atas sampai bawah datar semua gitu."

Ananta merapihkan barang bawaanya dengan memindahkan ponselnya ke telinga yang satunya lalu menjempitnya. "Mulutnya nggak di sekolahin ya? Udah deh, gue lagi ribet banget, dah."

Ananta menutup teleponnya, lalu memasukan ponselnya ke dalam saku tasnya. Ananta kembali merapihkan barang bawaannya. Ananta melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya yang sudah menunujukkan pukul lima sore. Rencananya ia akan mampir untuk meneruskan draft tulisannya di kedai semesta tempat Amdra bekerja. Namun, sepertinya tidak sempat, karena sudah sore dan akan turun hujan juga. Ia harus segera sampai rumah sebelum hujan turun, tidak mungkin ia menembus hujan dengan buku-bukunya.

"Kita ketemu lagi."

Perkataan dari seorang di sampingnya membuat Ananta menoleh dan terkejut karena laki-laki ini adalah barista baru di kedainya Andra. "Ah, iya."

Aksara melihat buku-buku yang dibawa Ananta, "Kedokteran? Lo suka medis?"

Ananta kembali menoleh dan mengangguk, "Iya."

"Wah, lo mau apply di harvard? Atau Oxford?"

Ananta terkekeh, tidak menyangka pertanyaan yang akan diajukan laki-laki itu. Biasanya orang-orang akan menanyakan, 'Mau daftar di UGM atau UI?' namun laki-laki ini menanyakan kampus yang mungkin menurut sebagian orang Indonesia hanya menghalu saja.

Ananta menggeleng, "Nggak, terlalu tinggi."

Alis Aksara naik sebelah, "Kenapa? Coba saja, kita tidak ada yang tahu kan rezeki orang."

"Kamu juga mau apply kedokteran di sana?" tanya Ananta balik.

Aksara menghendikan bahunya, "Nggak."

"Kenapa? Coba saja, kita tidak ada yang tahu kan rezeki orang," ucap Ananta seperti yang tadi yang diucapkan Aksara.

Aksara terkekeh, "Bukannya terlalu tinggi, tapi emang bukan fashion gue. Gue apply kok tahun ini, Cuma beda jurusan aja. Kedokteran bukan ranah gue."

"Sorry"

"Santai, emang kadang suka salah paham sama tampang gue. Anak IPA banget ya kelihatanya?" tanpa sadar Ananta mengangguk.

"Eh? Nggak kok nggak." Ananta memukuli pelan kepalanya dan meringis kebodohannya.

Aksara memegang tangan Ananta yang masih memukuli kepalanya, "Sakit lho, nggak apa-apa kok. Lagipula emang fakta, nggak ada tampang anak IPS sama sekali kalau kata temen gue."

"Btw, lo kelas berapa?"

"Sebelas."

Aksara mengangguk dan berdiri ketika ia sadar sebentar lagi akan tiba di halte dekat kedainya, "Yasudah, belajar yang rajin ya. Susul gue ke Oxford, Amerika terlalu bebas buat cewek kayak lo." Aksara meninggalkan Ananta yang terpaku ketika merasakan sebuah tangan yang mengusap kepalanya pelan lalu berlalu untuk turun di tujuannya.

"Gilak! Kok dada gue berdebar-debar, sih?"

Ananta Killaputri [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang