♡Keluarga Jeno♡

5.3K 632 11
                                    

·
·
·
·•Happy Reading•·
·
·
O(〃^▽^〃)o
·
·

Lucas, Haechan, Mark dan Jaemin kini tengah berada di Bandara guna mengantar keberangkatan Jeno dan Renjun yang akan pergi ke London untuk beberapa hari. Seperti biasa, Haechan yang paling heboh dan paling tidak ingin mereka berangkat, lihat bagaimana ia memeluk Renjun dengan sangat erat saat sang gadis berpamitan, Lucas harus menariknya menjauh dari tubuh Renjun agar tidak mempermalukan semua orang.

“Sudah aku bilang, jangan berlebihan.. mereka hanya akan pergi ke rumah orang tua Jeno, bukannya ke medan perang.. aish..” Lucas berdesis sambil memutar bola matanya. Entahlah, ia benar-benar tidak paham dengan jalan pikiran Haechan, entah apa isi yang ada di dalam kepala kecilnya itu.

“Hati-hati di jalan, eoh...” Mark memeluk Jeno sambil membisikkan sesuatu pada telinga si pria. “Gunakan kesempatan ini untuk berbulan madu juga.” Mark melepaskan pelukannya dan mengedipkan sebelah mata pada Jeno. Jeno tersenyum dan mengangguk setuju.

“Setelah sampai sana, segera hubungi kami.” Pesan Jaemin setelah memeluk Renjun, Renjun mengangguk.

Jeno menyeret koper kecilnya dengan tangan kiri dan tangan kanannya ia gunakan untuk menggandeng Renjun, sesekali Renjun menoleh kebelakang sambil melambaikan tangan. Ah, dia pasti akan sangat merindukan orang-orang itu, juga pertengkaran Lucas dan Haechan yang terkadang menjadi hiburan tersendiri untuknya.

Setelah Renjun dan Jeno benar-benar hilang dari pandangan, barulah ke-empat orang ini mulai beranjak keluar dari dalam Bandara.

Tiba-tiba Haechan berseru, “Ah! Lucas-ah kau harus mengantarku ke salon, ada barang yang harus ku ambil,” Semua orang menatap dirinya kini.

Lucas mengerutkan kening, “Barang apa? Besok saja, aku malas.” Tolak Lucas.

“Eih, ini barang yang sangat penting, sudah kau ikut aku saja biar Mark dan Jaemin pulang duluan.” Haechan menarik-narik tangan Lucas agar mau ikut pergi bersama, ia mengedipkan sebelah matanya pada Mark dan barulah Mark paham dengan maksud Haechan yang meminta ia untuk pulang berdua saja dengan Jaemin.

“Yak! Lee Haechan, aku bisa jalan sendiri jangan menarik-narik baju ku! Ini harganya lima juta woy!” Cerocos Lucas tapi tak Haechan pedulikan, ia tetap menarik Lucas menjauh dari Mark dan Jaemin.

Akhirnya hanya tinggal Mark dan Jaemin saja. “Ayo...” Ajak Mark, Jaemin pun berjalan lebih dulu menuju parkiran tanpa mengatakan apapun.

“Ada tempat yang ingin kau tuju atau kita langsung pulang?” Tanya Mark ketika di tengah perjalanan. Mark sedang berusaha mencarikan suasana canggung dan aneh yang sejak tadi menyelimuti keduanya.

Jaemin mengalihkan atensinya sejenak untuk menoleh pada Mark, “Tidak ada, langsung pulang saja..” Ucapnya dan kembali memalingkan muka.

Keheningan kembali menyelimuti, Mark sungguh tidak tahan ia lebih suka di marahi oleh Jaemin, di tendang atau di pukul apapun, kecuali diam seperti ini. Mark menepikan mobilnya.

“Kenapa berhenti?” Jaemin menoleh pada Mark, bingung karena tiba-tiba mobilnya berhenti.

“Lupakan saja jika kau memang tidak suka! Aku mohon jangan menyiksaku dengan terus diam seperti ini!” Mark menyatukan kedua tangan di hadapan Jaemin. “Aku tidak suka ketika kau diam dan berubah menjadi asing seperti ini, lebih baik kau memukul ku atau apapun itu,” Mark menundukkan kepalanya, merasa sangat frustasi. Jika ia tahu akan begini akhirnya maka Mark akan tetap diam dan mencintai Jaemin tanpa sepengetahuan sang gadis.

Jaemin tidak bermaksud menghindari Mark, ia hanya sedang bingung, bingung dengan perasaannya sendiri yang terkadang sulit untuk di mengerti. Jujur, ia bahkan sudah lupa bagaimana rasanya mencintai seseorang setelah kepergian Hyunjin.

“Mark, jangan.... jangan menyukai aku.. banyak gadis yang lebih baik dan juga cantik selain diriku, kenapa kau tidak mencoba untuk melihatnya.” Jaemin tak ingin melukai siapapun, termasuk Mark yang sudah ia anggap seperti saudara sendiri sejak mereka masih kecil.

Mark mengangkat kepalanya, kedua iris matanya bertemu dengan iris mata coklat milik Jaemin. “Aku tidak bisa.. meski ada banyak wanita cantik di luar sana, bagiku kau yang paling cantik.. Jaemin, cinta tidak bisa di paksakan.”

Jaemin memejamkan mata sejenak, “Kenapa dari sekian banyak wanita harus aku? Kenapa? Mark, aku sudah menganggap mu seperti saudaraku sendiri.”

“Maka dari itu coba lihat aku sebagai seorang pria! Bukan sebagai saudara!! Beri aku kesempatan Jaemin, batu pun bisa berlubang bila terus tertimpa air hujan, aku yakin bahwa kau pasti akan mencintaiku juga, meski tidak sekarang..” Mark tidak tahu apakah ucapannya ini berhasil membujuk Jaemin, ia hanya berharap bahwa wanita yang kini duduk di hadapannya kelak akan menjadi pendamping hidupnya. Hanya itu.

Jaemin memejamkan mata lagi, menarik napas dan membuangnya pelan. Rasa di dalam hatinya sedang campur aduk dan dia tidak bisa berpikir dengan jernih.

“Baiklah... Aku akan memberikan mu kesempatan, coba buat aku untuk mencintaimu.. tapi jika pada akhirnya aku tetap tidak bisa, kau tidak boleh memaksa ku lagi...”

Mark tersenyum, akhirnya ia mendapatkan kesempatan juga, “Siap kapten!” Ucapnya bersemangat sambil memberikan hormat layaknya murid pada guru.
.
.
.
.
Setelah duduk begitu lama di dalam pesawat, kira-kira selama 11 jam lebih pesawat yang di tumpangi Jeno dan Renjun mendarat juga di Bandara London. Mereka berdua keluar dari pintu kedatangan setelah mengambil barang bawaan. Begitu banyak orang yang berlalu lalang.

“Jeno, kau masih ingat alamat rumah mu kan?” Tanya Renjun memastikan, ini adalah pertama kali ia bepergian jauh setelah kedua orang tuanya meninggal.

“Tentu saja..” Jeno mengeluarkan ponselnya, tampak sedikit gelisah. Sejujurnya ia lupa atau tepatnya tidak tahu karena memang sudah lama sekali ia tidak pulang dan berkomunikasi dengan keluarganya disini. Tapi ia harus tetap terlihat cool dan berwibawa di depan Renjun.

“Paman!!” Samar-samar Renjun dan Jeno mendengar suara seseorang, “Paman Jeno!! Paman!!” Jeno yang merasa namanya di panggil menoleh dan iris mata menangkap sosok pria muda tinggi dengan wajah di atas rata-rata, berhoodie abu-abu berlari kecil ke arahnya.

“Oh! Sungchan-ah!!” Jeno tersenyum sambil melambaikan tangan pada pria yang ia panggil Sungchan itu, Jeno merasa lega karena Sungchan datang untuk menjemput.

“Paman!” Sungchan berseru sambil melebarkan kedua tangan, ia menarik Jeno kedalam pelukan seolah telah lama tak bertemu, tapi memang benar begitu sih. “Paman, aku sangat rindu padamu,”Cicit Sungchan.

Renjun hanya diam memperhatikan, sebab ia tidak mengenal pria yang kini tengah memeluk Jeno itu.

Jeno melepaskan pelukan Sungchan, tiba-tiba saja ia memukul kepala Sungchan pelan, “Dasar bocah kurang ajar, siapa yang kau panggil paman, huh? Tidak lihat aku masih muda dan tampan begini? Masa kau panggil paman, ishhh...” Jeno berupa-rupa hendak memukul Sungchan lagi, Sungchan mengusap-usap kepalanya yang di pukul Jeno sedang Renjun terkekeh pelan melihat tingkah Jeno yang mungkin tidak akan sering ia temui.

“Kau kan memang paman ku, dimana salahnya jika aku panggil paman? Dan berhenti bersikap narsis Paman,” Sungchan menggeleng-geleng kan kepala sambil menatap Jeno mengejek.

“aish... Bocah ini..” Jeno hendak memukul Sungchan lagi tapi tidak jadi, Jeno hanya mengusap rambut Sungchan, ia tidak menyangka bahwa bocah ini telah tumbuh dewasa dan setampan ini sekarang, padahal dulu ia sangat pendek dan gemuk.

“Wah....” Sungchan berucap kagum ketika matanya menangkap sosok Renjun yang berdiri di samping Jeno sejak tadi, bagaimana bisa ia tidak menyadari keberadaan wanita secantik Renjun ini.

“Yak! Tutup mulutmu, liur mu kemana-mana tuh,” Cibir Jeno.

Sungchan mendekat pada Jeno, “Paman, siapa bidadari cantik itu? Ku pikir kau datang sendiri, ternyata datang dengan bidadari cantik, apa dia kekasih mu?” Bisik Sungchan sambil menyenggol-nyenggol bahu Jeno.

Jeno tersenyum bangga, ia memeluk pinggang Renjun posesif. “Dia adalah istriku, Lee Renjun.” Ucap Jeno tanpa ragu, Renjun mengangguk kan kepalanya.

Sungchan tertawa, membuat kedua orang itu keheranan, tidak ada yang lucu disini lantas kenapa Sungchan tertawa?

“Lelucon mu benar-benar tidak lucu sama sekali, paman... Dia istrimu? Yang benar saja, wanita secantik itu mana mungkin mau menjadi istri mu, kau pasti mengada-ada,” Sungchan mengibas-ngibas kan tangan kanannya di udara sambil berusaha menahan tawanya.

“Aish, bocah ini..” Lagi, Jeno memukul kepala Sungchan karena kesal di remehkan, ia pikir Jeno sedang bercanda. “Dia benar-benar istriku, bodoh! Kalau tidak percaya tanya saja,”

“Jeno benar, aku adalah istrinya.. Lee Renjun,” Renjun membenarkan.

Sungchan membuka mulutnya lebar-lebar, “Benarkah?! Wah! Daebak!!” Ucap Sungchan tak percaya. Sepertinya ia harus sesekali mengunjungi pamannya ini di korea, siapa tahu ia bisa bertemu dengan wanita cantik seperti Renjun.

“Sudah percaya kan? Sekarang antar kami ke rumah...”

“Kapan kau menikah, paman? Kenapa aku tidak tahu?”

“Sudahlah, nanti aku ceritakan di rumah, ayo cepat ke rumah..”

Sungchan mengangguk, ia berjalan lebih dulu menuju pintu keluar. Semua orang di rumah pasti akan terkejut bila tahu bahwa Jeno tidak datang sendirian melainkan dengan istrinya, bahkan Sungchan masih tidak percaya.

“Dia siapa? Lucu sekali..” Ucap Renjun pada Jeno ketika Sungchan pergi untuk mengambil mobil di parkiran.

“Dia keponakan ku, Jung Sungchan... lucu apanya, dia itu sangat menyebalkan dan juga usil,” Ucap Jeno tidak terima Renjun menyebut Sungchan lucu.

“Tapi dia tampan..”

“Yak!”

“Kenapa? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya..”

“Jangan coba-coba menyebut pria lain tampan saat bersama denganku!”

“Kenapa? Kau cemburu?”

“Siapa yang cemburu, bocah itu tidak apa-apa dibanding dengan ku, aku jauh lebih tampan!”

Renjun tertawa, sungguh melihat Jeno yang tengah merajuk sekarang benar-benar lucu.

Jeno berdecak, “Jangan tertawa, tidak ada yang lucu..” Ucap Jeno dengan nada kesal.

Renjun mengapit lengan Jeno, “Aigo, apakah suamiku sedang merajuk sekarang? Aish... benar-benar tidak keren, begitu saja marah..” Goda Renjun sambil mengayun-ayunkan tangan Jeno.

“Aish... Sungchan kenapa lama sekali sih? Dia ambil mobil di bulan apa bagaima—” Ucapan Jeno terhenti karena kecupan singkat yang Renjun berikan di pipinya.

“Yak!”

“Jangan marah lagi, eoh... suamiku adalah pria yang paling tampan, tidak ada yang lebih tampan selain suamiku...” Bujuk Renjun agar Jeno tidak marah lagi, ia bahkan memasang wajah seimut mungkin. Jika bukan karena ini tempat umum pasti Jeno sudah meraup bibir mungil Renjun saat ini juga.

“Dasar kau ini, sudah pintar menggoda, eoh?” Jeno tersenyum dengan tangan yang mengacak rambut Renjun, gemas. Renjun hanya tersenyum lebar.

Jeno dan Renjun akhirnya sampai juga di kediaman orang tua Jeno. Jeno masih belum turun dari mobil, ada begitu banyak hal yang ia pikirkan dan jujur ia sangat takut dan khawatir bila apa yang ia pikirkan terjadi, ia belum siap bertemu dengan ayahnya.

Renjun menyadari kegugupan Jeno, ia kembali memberikan semangat pada sang suami meyakinkan lewat sorot mata bahwa semua akan baik-baik saja, tidak ada yang perlu di khawatirkan.

“Paman, ayo turun! Sedang apa sih?” Suara Sungchan yang sudah keluar sejak beberapa menit yang lalu menyadarkan lamunan Jeno.

Jeno menarik napas dan menghembuskan nya pelan, ia sudah mendapatkan kembali kepercayaan dirinya berkat Renjun, sekarang apapun yang akan terjadi Jeno tidak akan takut sebab ada Renjun di sampingnya.

Jeno turun dari mobil dengan tangan kiri yang menggandeng tangan kanan Renjun dengan erat, ia melangkah dengan pasti masuk kedalam rumah yang telah lama ia tinggalkan, bahkan mungkin Jeno tidak ingat tepatnya kapan ia pergi dari rumah ini karena sudah begitu lama.

Mereka sampai di ruang tamu rumah yang bisa di katakan sangat besar ini, lebih besar di bandingkan dengan rumah Jeno di Seoul.

“Paman tunggu disini, akan aku panggilkan kakek dan Nenek,” Yang di maksud kakek dan nenek oleh Sungchan adalah ayah dan ibu Jeno. Pria itu berlari kecil masuk lebih dalam ke sisi lain di dalam rumah ini.

Jeno memindai seluruh ruangan, terasa sangat asing dan benar-benar canggung sekali.

“Semua akan baik-baik saja,” Bisik Renjun seolah tahu apa yang Jeno pikirkan, ia juga tidak melepaskan genggaman tangan Jeno.

Jeno menolehkan kepala kesamping dan tersenyum, sungguh ia merasa beruntung karena ada Renjun disini. Lalu tak sengaja matanya menangkap sebuah foto yang di bingkai besar di sudut ruangan. Foto itu adalah fotonya dengan ayah dan juga ibunya kala masih hidup, tanpa bisa ia tahan mata Jeno berkaca-kaca dan tersenyum samar, ia sendiri bahkan tidak pernah menyimpan satu foto ibunya.

Renjun mengikuti apa yang Jeno lihat dan ia langsung bisa menebak bahwa itu adalah foto keluarganya.

“JENO-YAA!” Teriak seorang wanita yang berlari sambil tergopoh-gopoh, air mata sudah mengenang di pelupuk mata dan siap tumpah kapan saja.

Wanita itu langsung memeluk Jeno dengan perasaan yang campur aduk, tapi perasaan bahagia lebih mendominasi. “Kau sudah pulang, nak... aigo... uri Nono-yaa... akhirnya kau kembali... hiks.. hiks.. hiks.” Wanita itu tidak bisa menahan diri dan menumpahkan segala perasaannya. Jeno pun membalas pelukan sang wanita yang merupakan ibu tirinya.

“Eoh, ini aku... Mama..” Semakin pecah tangisan wanita paruh baya kala dengan telinganya sendiri ia mendengar panggilan ‘mama’ dari mulut Jeno.

“Sudah lama sekali, kenapa kau baru kembali, huh? Tidak taukan kau betapa Mama merindukanmu?! Dasar anak nakal!” Wanita paruh baya itu pura-pura marah sambil memukul-mukul lengan Jeno.

Renjun pun tak kuasa menahan air mata melihat adegan yang mengharukan ini, seolah orang lain tidak akan ada yang percaya bahwa wanita yang kini memeluk Jeno itu adalah ibu tirinya, dan jika semua ibu tiri seperti ibu tiri Jeno, mungkin tidak akan ada anak yang merasa kehilangan ibu mereka dan tidak akan ada anak yang menderita. Seperti Renjun misalnya.

Si wanita paruh baya melepaskan pelukannya pada Jeno, kemudian mengusap air matanya. Masih tidak percaya bahwa kini sosok yang berdiri di hadapannya adalah Jeno, putra keduanya yang sangat ia rindukan.

“Ayah dimana?” Tanya Jeno.

“Aku disini..” Seorang pria paruh baya yang duduk di kursi roda dengan Sungchan yang mendorongnya, perlahan-lahan mendekat.

“A-Ayah..” Jeno menatap ibunya seolah meminta penjelasan.

“Satu tahun yang lalu, ayahmu jatuh dari tangga di tempat kerja dan mengalami struk tapi sekarang sudah baik-baik saja,”

“Kenapa tidak ada yang memberi tahu ku?”

“Untuk apa? Kau bahkan tidak pernah mengangkat telpon dari ku,” Sinis Ayah Jeno yang sudah bergabung bersama mereka.

“Ayah menelpon ku? Kapan?” Jeno benar-benar tidak tahu, ia sudah lama mengganti nomor ponselnya, atau lebih tepatnya ia sering gonta-ganti nomor hp karena banyak nomor iseng yang masuk, mungkinkah salah satunya nomor ayahnya. Betapa bodohnya Jeno.

“Sudahlah, lupakan saja... yang penting kau sudah ada disini sekarang.” Ucap Ayah Jeno terdengar cuek.

Mata ibu Jeno menangkap sosok Renjun yang sejak tadi hanya diam memperhatikan dengan jejak air mata di sekitar wajahnya.

“Oh... Siapa ini?” Ibu Jeno menghampiri Renjun, ia merangkul Renjun membawanya ke tengah-tengah para pria itu.

“Jeno, kau tidak ingin mengatakan sesuatu?” Goda sang ibu. Renjun tersenyum dan menunduk, malu.

“Dia istriku, Mama... Lee Renjun.”

“Apa? Kau bahkan sudah menikah tanpa memberitahu kami? Ishh... anak ini,” Ibu Jeno benar-benar terkejut, ia pikir Renjun ini calon Jeno atau wanita yang sedang dekat dengan Jeno, tahu-tahu malah sudah menjadi istri.

“Ha-Halo...” Ucap Renjun dan membungkukkan badannya.

“Aigo, Yeobbo lihatlah, menantu kita sangat cantik, Jeno benar-benar pandai memilih wanita...” Ucap ibu Jeno senang sambil tangan masih merangkul Renjun. Sedang Ayah Jeno hanya memberikan ekspresi datar.

“Terima kasih, mama juga cantik..” Puji Renjun.

“Kau lebih cantik, nak...”

“Oh ya, Hyung.. bagaimana keadaannya?”

“Dia di rumah sakit sekarang, istrinya yang menjaga... kalian istirahat saja, besok baru menjenguknya.. kakak mu pasti terkejut kau sudah menikah dan istrimu sangat cantik pula...”

“Mama bisa saja..”

“Sungchan bawa aku masuk..” Ucap Ayah Jeno tiba-tiba.

“Tapi kakek... apa kau tidak mau memberikan selamat pada paman?”

“Jangan banyak tanya, bawa aku masuk sekarang, badan ku terasa sakit.”

“Baiklah kakek...”

Dengan wajah cemberut, Sungchan mendorong kursi roda Ayah Jeno masuk kedalam. Jeno ingin berucap sesuatu, tapi sang ayah lebih dulu berlalu.

“Ku rasa, Ayah masih marah padaku..” Gumam Jeno yang masih bisa di dengar oleh dua wanita ini.

“Tidak Jeno... Ayahmu juga sangat rindu padamu, ia pasti juga senang dengan kabar pernikahanmu.. kau kenal Ayahmu bukan? Dia keras di luar tapi lembut di dalam... bicaralah padanya sesekali, Mama yakin dia lebih merindukan mu dibanding siapapun.” Renjun setuju dengan ucapan ibu Jeno ini, karena memang tidak ada ayah yang membenci anaknya sendiri.

“Kalian istirahatlah, Mama akan siapkan makan malam...” Ibu Jeno menuntun keduanya menuju kamar Jeno. Akhirnya setelah sekian lama kosong kamar itu kembali berpenghuni. Tentu sudah di bersihkan dan semua barang masih sama, tidak ada yang berubah.

Renjun merebahkan tubuhnya di atas ranjang Jeno, kamar ini benar-benar luar biasa dimana kau bisa melihat pemandangan di bawah sana juga langit dan gedung-gedung yang menjulang tinggi. Setengah dari dinding kamar Jeno terbuat dari kaca, memang sengaja di desain seperti ini karena Jeno dulu gampang bosan dan hanya melihat gemerlap lampu-lampu ia akan merasa tenang. Jeno ikut merebahkan tubuhnya di samping Renjun.

Renjun menolehkan kepalanya ke sisi Jeno, “Bagaimana perasaanmu? Kau senang?” Tanya Renjun.

Jeno tersenyum. “Eumm... aku senang, meski masih ada sesuatu yang mengganjal di hati..”

“Ayahmu?” Jeno mengangguk.

Renjun mengambil inisiatif untuk memeluk Jeno, membawa sang pria ke tempat ternyaman yang ia punya, “Bicaralah dengan beliau, Jeno.. aku yakin semua kesalahpahaman ini akan bisa diselesaikan dan kau akan tahu betapa ayahmu sangat merindukan mu..” Ucap Renjun sambil mengusap-usap rambut Jeno.

Jeno membalas pelukan Renjun, “Terima kasih sudah menjadi obat penenang terbaik, sayang..” Ucap Jeno dan menenggelamkan wajahnya pada dada Renjun.




Bersambung...

A Precious Wife ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang