♡Jeno ex Girlfriend♡

5.2K 618 8
                                    


[Happy Reading]
.
.
.

Jeno membuka kedua mata, hari sudah pagi dengan matahari yang meninggi menyinari setiap sudut ruang kamarnya sebab gorden jendela yang di biarkan terbuka. Jeno menolehkan kepala ke samping dimana kini Renjun masih terlelap dengan posisi miring hingga Jeno bisa dengan mudah melihat wajah cantiknya.

Mau dilihat seperti apapun, Renjun nya selalu cantik dan mampu membuatnya jatuh cinta setiap saat. Jeno mengusap pipi Renjun kemudian ia mengecup bibirnya. Rasanya benar-benar nyaman sekali, ia bisa bermalas-malasan seperti ini tanpa memikirkan tentang pekerjaan yang kadang membuat kepalanya terasa mau pecah.

“Hei Tuan putri, mau tidur sampai kapan, heum?” Jeno mengusap-usap rambut Renjun mencoba membuat sang gadis bangun.

Merasa tidurnya terusik, Renjun membuka kedua mata dengan susah payah sebab rasa kantuk masih mendominasi. Samar-samar ia melihat Jeno yang sudah bangun tengah menatap dirinya dengan seulas senyum.

“Kau sudah bangun? Selamat pagi..” Ucap Renjun sambil mengucek-ucek kedua mata.

“Uwah...” Ucap Renjun kala menyadari betapa indahnya sambutan pagi ini, ia bisa melihat pemandangan di luar sana lewat jendela besar di kamar Jeno. Tangan Jeno perlahan menyelip di sela-sela tangan Renjun, kemudian ia menggenggamnya erat.

“Kau suka?”

Renjun mengangguk dengan antusias, “Eoh, suka sekali.”

“Tapi, apa kau tahu?” Jeno menarik pinggang Renjun.

“Apa?”

“Aku lebih suka melihat wajah cantik mu dibanding pemandangan di luar sana.” Jeno menyatukan dahinya dengan dahi Renjun kemudian bergerak meraih bibir Renjun, ia melumat dan mengigit bibir itu hingga berakhir menenggelamkan wajahnya pada cerukan leher Renjun.

“Yak! Geli.. hentikan isshh...” Renjun mencoba mendorong tubuh Jeno menjauh sebab ia benar-benar merasa geli dengan apa yang Jeno lakukan. Bukannya berhenti Jeno semakin menjadi, bahkan tangannya mulai nakal dengan menjamah bagian dalam tubuh Renjun.

“Yak! Hentikan... ini masih pagi.”

“Bukan masalah.”

Namun sayangnya, Jeno harus menghentikan kegiatannya ketika mendengar ketukan di pintu yang di susul suara lembut sang ibu.

“Mama..” Ucap Jeno yang kini mendongak menatap pintu kamarnya.

“Jeno, apa kau sudah bangun? Kalau sudah ayo turun dan kita sarapan bersama,”Ucap sang ibu lagi sebelum pergi.

“Lihat, Mama sudah memanggil ayo bangun dan bersiap.” Ucap Renjun yang kini sudah memposisikan diri duduk di pinggir ranjang, namun Jeno agaknya tidak membiarkan Renjun pergi begitu saja. Lihatlah betapa manja bayi besar ini yang sekarang tengah memeluk perut Renjun dari belakang dengan posisi ia tengkurap.

“Lepaskan, aku mau mandi.”

“Mandi? Ayo!”

Ucap Jeno semangat.

Renjun menatap Jeno yang dengan gerakan cepat sudah berdiri di sisi ranjang yang lain, “Ayo kemana, kenapa semangat sekali?” Tanya Renjun.

“Tentu saja mandi,”Ucap Jeno sambil mengedipkan sebelah mata.

“Tidak mau! Kau pasti mau aneh-aneh,”

Jeno cemberut, “Ayolah sayang, sekali ini saja... aku tidak akan melakukan apapun, hanya mandi, ya? Nanti aku gosokkan punggungmu juga, heumm?” Jeno memasang wajah memohon, namun entah kenapa terlihat begitu mengemaskan di mata Renjun. Dia tidak yakin jika Jeno hanya ingin mandi saja, pasti ada sesuatu yang lain terlihat jelas di wajah sok polosnya itu.

“Baiklah, tapi jangan macam-macam,” Jeno bersorak senang dalam hati, ia menghampiri Renjun dan menggendongnya menuju kamar mandi.

“Yak! Yak!”

“Aku hanya akan melakukan satu macam saja, sayang..”

“Apa aku bilang, dasar mesum!”

Akhirnya pagi ini mereka mandi bersama dan tentu di selingi oleh ‘olahraga pagi’, sudahlah Renjun memang tidak akan bisa menghentikan Jeno dan lagipula ia juga menikmatinya. Toh mereka juga sudah menikah jadi bebas saja.
.
.
.
.
.
Disinilah Renjun sekarang, tengah menikmati sarapan bersama dengan ayah dan ibu Jeno, meski suasana sarapan pagi ini terasa canggung dan hening, hanya terdengar suara dentingan sendok dan garpu yang beradu. Baik Jeno ataupun ayahnya seolah tak berniat membuka suara. Pepatah memang benar, buah jatuh tak jauh dari pohon dan begitulah sikap ayah dan anak yang sama-sama keras kepala juga sama-sama memiliki gengsi yang besar.

“Aku sudah selesai makan, dimana Sungchan? Kenapa anak itu tak ikut sarapan?” Ucap ayah Jeno memecah keheningan.

“Ah, sepertinya masih tidur,”

“Pasti dia begadang lagi karena main game, dasar anak itu. Sudahlah, bawa aku keluar ini waktunya berjemur,”Ayah Jeno menggerakkan kursi rodanya kebelakang.

“Yeobbo, aku masih harus membersihkan meja makan, bagaimana jika dengan Jeno saja?” Kilah sang ibu berharap setelah ini ayah dan anak akan kembali berbaikan.

Ayah Jeno hanya diam memandang Jeno sekilas dan kembali membuang muka. Renjun menatap sekeliling, Jeno tampaknya tak akan bergerak sebelum sang ayah mengiyakan saran sang ibu dan juga sepertinya ayah Jeno masih belum bisa mengalahkan gengsinya.

“Aku saja!”Seru Renjun, semua menatapnya. “Sekalian aku ingin berkeliling, bagaimana Ayah?”

“Ya ya, terserahlah...”

Renjun tersenyum lebar bangkit dan segera menghampiri sang ayah mertua, ia mengedipkan sebelah mata pada Jeno sebelum mendorong kursi roda sang ayah menjauh.

“Apa yang coba dia lakukan?” batin Jeno penasaran.

“Wah~” Kagum Renjun melihat halaman rumah keluarga Lee yang benar-benar luas juga penuh dengan tanaman hijau. “Rumah anda benar-benar luar biasa, Ayah...” Ucap Renjun berbasa-basi karena sejak mereka keluar ayah Jeno tidak mengatakan apapun, ia tidak memiliki motif apapun hanya ingin dekat dengan ayah mertuanya saja, sebab melihat ayah Jeno ia teringat dengan ayahnya, Renjun rindu. Namun, agaknya ucapan Renjun tak mendapatkan respon apapun dari ayah Jeno. Sepertinya Renjun harus memikirkan topik pembicaraan yang lain, yang sekiranya akan menarik perhatian ayah Jeno.

“Sudah berapa lama kalian menikah?”

“Huh?”

Renjun sedikit tersentak mendengar pertanyaan dari ayah Jeno, “Oh... em... hampir satu tahun,” Ungkap Renjun sembari otak mengingat-ingat.

“Apakah Jeno hidup dengan baik? Bagaimana kehidupan kalian selama ini?” Renjun tersenyum. Tampaknya ayah Jeno mulai penasaran dengan kehidupan Jeno selama di Seoul, baiklah ini adalah kesempatan yang bagus.

“Iya, Jeno hidup dengan baik, ia juga dikelilingi orang-orang baik karena ketulusan hatinya... emmm... ia adalah orang yang bertanggung jawab dan bisa diandalkan dan juga Jeno sering menceritakan tentang anda,” Renjun berkata jujur, meski ada bagian dimana ia berbohong. Tak mungkin Renjun menceritakan tentang betapa menyeramkan kehidupan Jeno sebelum ini, itu hanya akan membuat ayah Jeno khawatir.

“Memangnya apa yang anak nakal itu ceritakan?” Ucap Ayah Jeno dengan aksen mengejek, seolah tak percaya jika Jeno akan menceritakan hal baik tentang dirinya.

“Banyak, dan dari semua cerita itu hanya ada satu kesimpulan bahwa meskipun selama ini Jeno terlihat tidak peduli dan tidak pernah memberikan kabar kepada anda, dalam hatinya, tidak ada hari tanpa merindukan anda dan sesungguhnya ia hanya menahan diri mencoba lari dari kenyataan yang harus ia hadapi, ia terus menyalahkan diri serta merasa bahwa anda membencinya karena kejadian yang membuat istri anda sebelumnya meninggal. Itulah kenapa Jeno tidak pernah mencoba untuk kembali, karena dia merasa takut, takut jika anda masih membencinya.” Renjun berhenti di tempat yang teduh, ia melangkah ke depan dan kini duduk berlutut di hadapan ayah Jeno. Renjun tersenyum. “Anda adalah ayahnya, saya yakin anda lebih mengenal Jeno di bandingkan orang lain... coba tanyakan pada hati terdalam anda seberapa penting Jeno dalam hidup anda? Ayah sungguh mustahil bila Ayah tidak merindukan Jeno begitu juga dengan Jeno yang selama ini diam-diam sangat merindukan anda,” Renjun meraih tangan ayah Jeno dan mengusapnya pelan.

Ayah Jeno tampak diam membeku, otaknya tengah mencerna ucapan wanita mudah yang duduk berlutut di hadapannya. Hembusan angin di pagi menjelang siang ini sedikit terasa aneh, seolah angin itu ikut berdesir di dalam hati ayah Jeno. Renjun benar, bohong jika ayah Jeno tak merindukan putranya itu, bohong jika selama ini ia tidak pernah memikirkan Jeno bahkan setiap malam ia selalu memikirkan anak nakalnya itu. Penyesalan terdalamnya adalah karena tidak berusaha bersungguh-sungguh membujuk Jeno untuk kembali dan membiarkan putranya hidup dengan caranya sendiri.

Suatu ketika, Ayah Jeno pernah menempatkan mata-mata untuk mengawasi Jeno, tapi siapa sangka putranya jauh lebih cerdik, mengancam sang mata-mata hingga sang mata-mata tidak bernai berkutik, dan kembali tanpa mendapatkan informasi apapun. Sempat frustasi dan marah besar, namun sang ibu berhasil menenangkan dan mengatakan bahwa mungkin Jeno sedang ingin menenangkan pikiran juga proses mendewasakan diri.

“Ayah, ini adalah saatnya untuk memperbaiki kesalahan yang harusnya diselesaikan sejak dulu, amarah dan ego lah yang membuatnya semakin rumit, eum?”Renjun meyakinkan.

Ayah Jeno tersenyum, dan bila di perhatikan garis wajahnya mirip sekali dengan Jeno hanya yang membuat berbeda adalah keriput di area mata.

“Aku malu mengakuinya, tapi kau benar, nak... orang tua ini sangatlah egois dan keras kepala juga sangat arogan... mungkin itu juga yang membuat Jeno enggan kembali,” Mata ayah Jeno berkaca-kaca, merasa menyesal. “Orang tua bukanlah Tuhan yang selalu benar, mereka pasti pernah melakukan kesalahan dan terkadang anak-anak lah yang menyadarkan mereka, sama seperti mu,” Ayah Jeno menepuk-nepuk pipi Renjun. Renjun tersenyum.

“Aku akan bicara dengan Jeno nanti,” Akhirnya, Renjun merasa lega sekali. “Ah, iya nak... ceritakan tentang dirimu dan bagaimana bisa kau menyukai bocah nakal itu?”

Renjun tertawa, otaknya mengingat rentetan kejadian bagaimana ia bisa bertemu dengan Jeno dan berakhir mencintai pria itu, “Emm... tidak ada yang spesial tentang ku, Ayah.. kedua orang tuaku sudah tidak ada, ibuku meninggal saat aku masih kecil dan ayahku meninggal hampir satu tahu ini juga. Aku merasa duniaku benar-benar berhenti berputar dan kosong saat itu, sampai Jeno datang dan mengubah segalanya, dia seperti malaikat pelindung yang dikirim Tuhan untuk ku,” Renjun terkekeh pelan.

Ayah Jeno mengusap rambut Renjun, melihat sorot mata Renjun entah kenapa ia merasa senang, seolah ini memang mereka ditakdirkan untuk bertemu, “Jadi kau sudah tidak punya orang tua?”Renjun tersenyum sambil menggeleng. “Jangan merasa sedih dan sendirian, sekarang kau punya kami, karena kau istri Jeno itu artinya kau juga putri kami, eum?”

Renjun menggigit bibir bawahnya, menahan diri untuk tidak menangis meski rasanya mata sudah memanas. “Ayah, bolehkan aku memeluk anda sekali saja?”

“Tentu saja... kemari, nak..”

Renjun segera berhambur kepelukan ayah Jeno, menumpahkan segala perasaan yang sejak tadi mengusik hati. Kini semua terasa lega, lega sekali.

“Terima kasih, Ayah... terima kasih...”

Ayah Jeno mengangguk dan tersenyum sambil kedua tangan menepuk-nepuk punggung Renjun.

Di atas sana, Jeno dan sang ibu memperhatikan, mereka ikut menangis terharu.
.

A Precious Wife ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang