Ice cream

67 47 52
                                        

Detak jarum jam yang melingkar dipergelangan seseorang, membuat suasana tambah tegang. Aliran darah berdesir panas di dalam pembuluh darah. Hawa panas tiba-tiba menyeruak ke dalam ruangan yang mereka tempati.

Guru IPS dengan tampang garangnya tengah berdiri di depan dengan tangan yang dia sampirkan di belakang punggung. Matanya penuh  menyelidik ke arah anak-anak muridnya, membuat mereka menelan saliva gugup.

"Kenapa kelas masih kotor?" Tidak ada yang berani menjawab pertanyaan dari Guru itu. Mereka semua memilih diam daripada mendapatkan kata-kata mutiara yang amat menyakitkan.

"Kenapa pada diam?" Keringat tampak bercucuran di pelipis mereka. Oke, mungkin kalian bilang ini terlalu lebay. Tapi percayalah bahwa berurusan dengan Guru IPS ini tidak akan membuat diri kalian menang. Apapun yang dilontarkan kalian akan selalu dianggap salah meskipun itu benar.

"Tadi udah diberesin, Pak." Vio akhirnya angkat biacara. Bagaimanapun, Vio adalah ketua kelas yang harus siap mendapat konsekuensi apapun.

Guru IPS  itu lantas mengangguk paham, meski ekspresi mukanya tidak bisa berbohong bahwa dia sedang menahan amarah. Entah apa yang membuatnya marah. Jujur, selama beberapa bulan guru itu mengajar di kelas ini, tidak ada satupun orang yang tahu apa yang diinginkan Guru itu sebenarnya. Panggil saja, Pak Heri. Guru yang sulit untuk dimengerti oleh murid-muridnya. Yah, bisa dibilang, dia seperti seorang cewek PMS yang emosinya tidak pernah stabil. Kadang baik, kadang tidak.

"Pelajaran tidak akan dimulai kalau kelas masih kotor," seru Pak Heri dan berlalu pergi meninggalkan kelas. Sontak, semua yang berada di kelas tersenyum girang. Siapa bilang mereka takut olehnya? Oh, tentu tidak. Tidak ada kata 'takut' dalam kamus kelas 8F yang sebentar lagi akan naik kelas 9, kecuali oleh, Pak Nana, sih.

Mereka lantas beteriak girang, tidak peduli bahwa kelas sebelah sedari tadi sudah marah karena mereka terlalu berisik. Seulas senyum tercetak disetiap wajah mereka. Tentu saja mereka senang. Kenapa mereka harus takut? Siapa peduli jika Guru itu sedikit terlambat dalam mengajar? Tapi tenang, meskipun kelas ini terlihat sangat malas belajar, siapa sangka bahwa kelas ini yang selalu menang dari kelas manapun, termasuk kelas unggulan dalam hal kegiatan sekolah. Jangan anggap remeh sesuatu yang selalu dianggap rendah!

Vio sedari tadi sudah berteriak untuk mereka segera membersihkan kelas kembali. Hati Vio memang tidak bisa berbohong kalau dia memang senang ketika jam pelajaran IPS menjadi sedikit karena kelasnya yang kotor. Tapi, dia tidak mungkin membuat sebuah masalah muncul lagi untuk kelasnya. Sudah cukup kelasnya selalu dipandang rendah oleh kelas lain juga Guru-guru. Jangan lagi!

Meli selaku teman rajinnya Vio, dengan segera membantu Vio untuk menyapu kelas. Tidak peduli jika lantai itu kotor kembali karena ulah beberapa anak yang tidak mau diam. "Jangan mondar-mandir gak jelas elah. Kalau gak mau bantuin diem aja, bisa kan!" ucapnya penuh penekanan kepada beberapa anak yang sulit untuk diatur.

Tapi sayangnya, mereka tetaplah mereka yang tidak pernah mendengar ucapan orang selain oleh Pak Nana—Guru yang sangat ditakuti semua warga sekolah Gempita.

Dirasa sudah cukup bersih, akhirnya Vio memutuskan untuk memanggil Pak Heri yang tentu saja membuat decakan marah dari mereka.
Tapi Vio tetaplah Vio, si anak rajin yang tidak takut oleh ancaman teman-teman sekelasnya. Dia berjalan keluar kelas dengan Meli yang berada di sampingnya. Hanya Meli lah yang selalu menemani Vio untuk memanggil seorang Guru. Jangan tanyakan kemana teman-temannya yang lain karena kini mereka sedang menelungkupkan kepalanya di atas meja.

Suasana bising pun seketika berubah menjadi senyap kembali. Guru yang mereka hindari telah datang beberapa detik yang lalu. Di bangku barisan ke-4, Putri sedang pura-pura membaca buku paket IPS. Padahal aslinya, dia hanya melihat gambarnya saja tanpa minat membaca. Putri memang menyukai sejarah, tapi jika Gurunya adalah Pak Heri, Putri jadi tidak berselera.

Situasi tidak jauh berbeda dengan yang dialami Putri. Beberapa dari mereka juga melakukan hal yang sama, yaitu membuka-buka lembar demi lembar halaman tanpa minat membacanya. Hanya sekedar pengalihan. Daripada menatap muka Guru itu, lebih baik menatap deretan banyak huruf yang tercetak buram di mata. Huruf-huruf itu mampu membuat mata setiap orang minus seketika karena sangking banyaknya teori tanpa tahu ujungnya.

"Kerjakan 5 soal tabel yang ada di halaman 306. Bapak beri waktu 3 menit!"

"HAH?!"

• • • •

"Kalau gini sih, pengen cepet-cepet naik kelas 9." Putri mengaduk-aduk minuman yang baru dia beli di kantin.

"Iya, masa harus ngisi tabel dalam waktu 3 menit? Yang bener aja." Ghea ikut mengomel.

"Tenang, oke. Sebentar lagi kita bebas dari Guru itu. Guru IPS kelas 9 bukan, Pak Heri, kan?" Ucapan Vio lantas membuat ke-5 temannya mengangguk.

Syukurlah sebentar lagi, batin mereka, tanpa tahu bahwa kehidupan kelas 9 jauh lebih rumit.

"Eh, dapet eskrim gratis dong!" pekik Vio sedikit histeris ketika melihat sebuah stik ice cream miliknya terdapat sebuah tulisan yang sangat diharapkan hampir seluruh warga sekolah, terutama penikmat gratisan.

Bonus 1 ice cream 🍦

Vio lantas bangkit dan berniat untuk menukar stik itu dengan ice cream yang kembali utuh. Tidak berselang lama, Vio sudah kembali dengan satu buah ice cream di tangannya. Semua teman sekelasnya yang melihat itu tampak iri. Tapi Vio malah semakin menggoda mereka dengan menjilat ice cream itu.

"Put! Cepet, Put!" Putri lantas bingung dengan apa yang diucapkan oleh beberapa anak cowok yang kini sudah menatapnya.

Salah satu dari mereka tampak berdecak sebal melihat respon Putri yang sangat polos. "Itu eskrim cepet habisin. Siapa tahu dapet bonus kan?" Putri memutar bola matanya malas ke arah Devan. Tapi sedetik kemudian, Putri dengan cepat menghabiskan ice cream itu.

Ternyata, takdir baik memang sedang berpihak pada persahabatan ke-6 orang ini. Tampak tulisan bonus 1 ice cream🍦 terpampang di stik ice cream mereka, tanpa terkecuali Vio yang sudah mendapatkannya lagi. Memang sungguh luar biasa nikmat ini.

Mereka lantas menukarnya kembali kepada penjaga koperasi yang memang kebetulan berjualan ice cream. Berbeda halnya dengan Putri yang masih terduduk malas. Dia tidak berniat menukarnya karena Mama nya melarangnya untuk terlalu banyak memakan sesuatu yang dingin. Ya, meskipun dia sudah melanggar itu.

Otomatis beberapa anak cowok tadi yang menyuruh Putri untuk segera menghambiskan ice cream ya dengan cepat menghampirinya. "Buat gue ajalah ya," seru pemuda bernama Arul. Putri memandang Arul dengan sedikit tidak suka. Tapi sedetik kemudian, Putri menyodorkan stik ice cream itu kepada Arul, membuat yang lain ikut bernapas lega. "Ambil aja."

"Ingat! Satu untuk semua~"


Vote dan komennya jangan lupa (~‾▿‾)~

Jadi inget dulu🤧

Lumpiah [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang