Sebuah ukiran kisah

46 36 58
                                    

Risa

Malam semakin larut. Semua orang memilih berdiam diri di dalam rumah karena hawa malam yang menusuk kulit. Tapi, tidak bagiku. Aku memilih keluar rumah dan berdiam diri disebuah pondok yang aku bangun dengan Ayah. Pondok yang tidak terlalu luas tapi mampu membuatku tenang.

Di pondok ini sudah terdapat semua alat lukis karena aku sangat menggemari hobi itu. Ini bukan sebuah pondok biasa, tapi sebuah pondok yang mampu memunculkan sebuah imajinasi. Aku merubah pondok ini menjadi sebuah drawing place. Di dalamnya banyak sekali karya-karyaku yang aku panjang disetiap dindingnya.

Kali ini, aku sedang melihat ke langit sana yang dimana langit biru yang awalnya cerah telah menjadi gelap gulita yang hanya diterangi cahaya bulan dan taburan bintang. Aku tersenyum melihat itu semua. Ah, aku sangat suka suasana malam. "Bolehkah aku berharap malam ini lebih panjang?"

Aku mulai mengoleskan beberapa warna ke sketsa putih yang terdapat di depanku. Melukis malam ini, aku ditemani oleh bulan dan bintang yang aku lihat tampak tersenyum ke arahku. Mungkin karena mereka tahu aku selalu sendirian. Hufft rumahku sangat jauh dengan teman-temanku yang lain.

Beberapa menit sudah aku habiskan hanya untuk melukis. "Akhirnya." Aku menyeka keringatku yang entah kenapa bisa keluar. Aku tersenyum menatap hasil karyaku yang baru saja aku selesaikan. Entah kenapa, melukis selalu membuat diriku tenang juga bahagia. Bahagia dengan usaha yang tidak berujung dengan sia-sia. Apalagi itu usahaku sendiri. Ah, aku sangat menyukainya!

Satu karya baru akhirnya berhasil aku buat. Dengan penuh semangat, aku menempelkan lukisan itu di dinding yang sudah dipenuhi banyak sekali karyaku selama ini. Aku berdiri di depan hasil lukisku. "Sebenarnya, aku tidak percaya bisa menggambar semua ini."

Sampai pada akhirnya, satu derap langkah membuatku membalikkan badan. "Risa! Masuk rumah! Sudah malam ini." Itu Mama ku. Mama Ria. Aku sangat menyanginya. Dia selalu baik kepadaku, mungkin karena aku anak perempuan satu-satunya yang dia miliki. Aku dengan segera menghambur ke dalam pelukannya. Masa bodoh jika Mama ku menatapku bingung, yang terpenting aku sangat ingin memeluknya!

"Hey! Enak ya, kalian berpelukan!" Aku dan Mama sontak terkejut dengan teriakan berat itu, tapi kemudian kami terkekeh. "Ayah! Sini peluk bareng!" Ya, orang yang berteriak tadi adalah Ayah ku, Ayah Widjaya. Akhirnya kami pun berpelukan di bawah sinar bulan. Ah, aku tidak akan melupakan semua ini!

• • • •

Sedari tadi dua orang terlihat sedang memperebutkan sesuatu, membuat wanita dewasa yang melihat itu menggeleng heran.

"Pokoknya, Vio gak mau berangkat sekolah bareng Via!" Vio berteriak dengan tangannya yang masih asik membuat simpul pita di sepatunya. Beginilah seorang Vio ketika di rumah. Dia tidak akan memakai kata gue-lo karena menurutnya itu tidak sopan jika berada di rumah.

"Tapi kalau bolak-balik, nanti Mama yang repot!" ujar Via tidak kalah kesal.

"Masih pagi jangan ribut." Suara itu membuat mereka berdua terdiam. "Kita berangkat bareng-bareng aja," ujar Mama Letta.

"Emangnya muat naik motor bertiga?" Vio menatap Letta.

Letta tampak ragu, tapi sedetik kemudian mengangguk mantap. "Kakak di depan, Adek di belakang, oke." Ucapan itu sontak membuat Via melongo, sedangkan Vio tersenyum senang.

"Kenapa harus Via yang di depan? Kenapa gak Vio aja?" Letta menghembuskan napas panjang. "Kalau Adek yang di depan gak muat. Jadi, Kakak aja." Via mendengus tapi dia menurut saja. Ah, lebih tepatnya pasrah. Kalau dia tidak begitu, perdebatan ini tidak akan ada ujungnya dan bisa-bisa mereka terlambat masuk sekolah.

Lumpiah [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang