◻️◻️◻️
"Fero!"
Sang empunya nama menoleh ke asal suara. Ternyata Mayra yang memanggilnya. Tapi ... lihat wajahnya—tak ada sedikitpun rasa bersalah yang terpancar. Seperti tak terjadi apapun. Dasar wanita.
Daripada cari masalah dengan menanyakan alasan sikap menyebalkan Mayra, lebih baik Fero ikuti saja alurnya. Bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Itu lebih baik, atau akan ada perang kedua.
"Gimana kemarin?"
Mayra mengangguk antusias. "Seru, setelah sekian lama akhirnya gue bisa ngobrol banyak lagi sama Ella."
"Ternyata orang tua Ella udah meninggal pas kecelakaan, gue gak nyangka. Padahal mereka udah kayak orang tua gue sendiri."
"Ella sekarang tinggal sendirian, kalau gue jadi Ella mungkin gue gak akan sekuat dia."
Fero langsung menatap lekat Mayra. "Bukannya lo juga hampir sama kayak Ella?''
Mayra langsung menarik Fero memasuki mobil Fero.
Yup, mereka di parkiran. Mayra tadi meneriakinya dari depan lift yang turun di depan basement, lalu berjalan di sampingnya.
Setelah memakai sabuk pengaman, Mayra membalas pertanyaan Fero tadi. "Mungkin secara harfiah hampir sama, tapi gue rasa Ella lebih ngerasa buruk disbanding gue. Kalau gue emang dari lahir, jadi kayak ngerasa gak terlalu sakit karena bahkan gue gak pernah ngerasa ada jadi rasa kehilangan itu gak terlalu kentara ditambah gue punya kakak yang ngebuat gue gak terlalu kesepian. Sedangkan Ella, dia kehilangan orang tua dia pas remaja, dia juga anak tunggal. Gue bersyukur gue bukan anak tunggal."
Fero terdiam. Ia anak tunggal, apakah nanti ia akan merasakan apa yang dialami teman Mayra itu?
Mayra mengelus bahu Fero pelan, seolah menenangkannya. "Lo jangan khawatir, gue juga gak minta lo buat gak ngebayangin hal itu karena setiap anak pasti bakal nglamin hal itu. Gue cuman mau lo kuat saat itu terjadi, oke?"
Fero mengangguk dan tersenyum. Mayranya sudah kembali.
"Jangan senyum Fero," ucap Mayra pelan.
"Kenapa?"
"Gue makin terpesona sama lo, iman gue lemah kalau sama cowok ganteng macam lo."
"Kalau gitu gue senyum aja terus," ucap Fero sambil tersenyum dengan lebarnya.
"Fero!"
◻️◻️◻️
Mayra menghela napasnya. Kemarin segala hal berkecamuk di pikirannya, tak butuh waktu lama untuk membuat sebuah kesimpulan dan keputusan—dan ia rasa sudah membuat keputusan benar. Semoga saja.
"Kamu udah baikan sama Fero ya?"
Mayra mengangguk. "Sebenernya di bahkan gak tau kalau gue lagi gedeg sama dia."
"Seperti yang aku bilang, kamu tanya langsung sama dia. Mungkin yang terjadi sebenernya gak seperti yang kamu lihat. Aku percaya Fero bukan cowok kayak gitu. Kalau dia punya niat buruk sama kamu mungkin dia gak akan ngajak kamu pacaran, dari yang aku denger juga dia belum pernah pacaran. Berarti dia gak punya pengalaman."
"Iya deh yang udah punya pengalaman sama cowok pucek," ledek Mayra.
Ella nyengir saja.
Kejadian kemarin lusa masih tertanam dalam ingatannya.
"Lo tengok Varidza duluan, nanti gue nyusul. Keknya cuman bentar gak akan lama," ucap Mayra sambil menyodorkan beberapa bingkisan untuk menengok Varidaza yang tak kunjung bangun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Bad
General Fiction"Yang kalian lakukan salah." Baik Meyra maupun Fero tidak mempedulikan apa yang mereka lakukan itu salah atau benar. Yang mereka tau ialah mereka senang dan puas karena melakukan hal yang mereka inginkan. Started: 14 March update/seminggu dua sekali