Two Bad • Part 5 ~ Eating Sate [1]

1.5K 45 0
                                    

Sederhana, tapi bermakna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sederhana, tapi bermakna.

◻️◻️◻️


Fero menarik tangan Mayra, menyeretnya ke arah yang berlawanan.

"Kenapa ditarik sih?!" protes Mayra.

Fero menatap datar Mayra, "Emang lo tau dimana motor gue?"

Cengiran lebar diberikan Mayra. Saking semangatnya sampai jalan aja lempeng gak belok-belok. Gak tau aja kalau itu bukan arah ke tempat motor Fero.

Fero menaiki motornya, tapi tidak dengan Mayra.

Mayra mengamati dengan seksama motor hitam yang telah dinaiki oleh sang mpunya itu. Ia mengetukkan jari pada dagunya. "Kok kayak pernah liat," gumam Mayra.

Sang mpunya motor sadar akan pengamatan Mayra, ia menaikan satu alisnya. Tingkah Mayra benar-benar absurd. Segala tingkahnya sangat berkebalikan dengan tampang polosnya itu.

"Kenapa?"

"Kayaknya gue kenal sama motor ini," Mayra berkacak pinggang.

Fero menaikkan sebelah alisnya. Bukannya ia tak pernah bertemu Mayra sebelumnya, kecuali saat di club. Namun mengapa Mayra bilang mengenal motornya ini.

Mayra berjingkrak bahagia, "Si motor areng. Akhirnya Mayra yang cantik menemukanmu!"

Berani-beraninya ni anak ngatain motor gue, motor areng!

"Maksud lo?"

Mampus gue, ngomong apaan tadi gue? Nada ngomongnya udah kayak mau nerkam gitu. Apalagi matanya njir, udah melotot-melotot ala-ala genderuwo.

"Eh, nggak. Emang tadi gue ngomong apa?" tanya Mayra pura pura tak tau, yang dibalas Fero dengan tatapan datarnya.

"Naik."

Mayra mengagguk dan menjulurkan tangannya ke arah Fero—yang hanya ditatap sedemikian rupa. Gadis bermata sipit itu memutar bola matanya jengah, "Minjem tangan lo, gue mau naik, susah."

Akhirnya Fero mengulurkan tangannya dan membantu Mayra naik ke motor besarnya.

◻️◻️◻️

"Le, di depan ada tukang sate. Berenti di sana," ucap Mayra sambil menunjuk spanduk bertuliskan 'Sate jomlo'.

Fero mengernyitkan dahinya mendengar panggilan 'Le' dari Mayra.

"Eh, sorry. Gue manggil lo 'Le'," ujar Mayra sambil turun dari motor Fero.

"Kenapa?"

Mayra berdiri menghadap pada Fero yang masih belum ingin beranjak dari motornya.

"Lo itu 'kan emang sering dipanggil Bule, ya nggak?"

Fero menggangguk.

"Jadi, nggak masalah 'kan kalau gue panggil lo—Le?"

Fero mengangguk dan menggeleng.

Mayra menyatukan alisnya. "Loh, kok?"

Fero menggeleng, "Kayak orang Jawa."

Setelah mengucapkan itu Fero turun dari motor hitamnya.

Otak Mayra memang benar-benar lemot ya, liat ajja—Fero ngomong gitu masih ajja tuh alis nyatu. Badan boleh tinggi, tapi otaknya benar-benar berkebalikan dengan tinggi badannya itu.

Apa maksudnya si Bule coba?

Alis Mayra semakin menukik tajam, sementara Fero mengamati tempat pedagang sate ini. Sate Jomlo, kenapa dikasih nama Jomlo? Pikir Fero.

"Ah, udahlah. Pusing gue mikirinnya." Gumam Mayra.

Tangan Fero ditarik Mayra untuk memasuki kedai sate yang hanya diberi pelindung terpal di atasnya disertai meja dan kursi di setiap mejanya.

Mereka mendudukan bokong mereka di kursi yang masih kosong.

Fero mengamati sekitarnya. Tempat ini bisa dibilang cukup ramai, walau ada beberapa meja yang kosong, beberapa pengunjung mengamatinya secara terang-terangan, tapi Fero tak peduli. Si penjual bertubuh kurus, namun gerakannya sangat lincah. Keringat bercucuran di dahinya karna harus berhadapan dengan arang panas yang berasal dari batok kelapa. Daging yang telah ditusuk berjejer di atas arang dengan penghalang besi-besi silinder kecil menyerupai penjara satu sisi. Lalu yang terakhir, spanduk bertuliskan 'Sate Jomlo' bertengger di atas sana.

"Kenapa?" tanya Fero dengan tetap melihat pada spanduk itu.

Telunjuk Mayra mengarah pada pandangan Fero. "Oh, itu?"

Fero mengangguk.

"Nggak tau." Mayra mengedikkan bajunya.

"Penjualnya jomlo."

Mayra mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Fero dan ia tak bisa menahan untuk tidak tertawa. Ia tertawa terpingkal-pingkal sambil memukul-mukul meja, hingga membuat beberapa orang menoleh padanya.

"Kenapa?"

Mayra mengusap dadanya berulang kali, untuk meredakan tawanya.

"Lo bilang kenapa? Lo itu bisa lucu juga ya," ucap Mayra sambil berusaha meredakan tawanya. "Eh, gue baru nyadar. Lo dari tadi bilang kenapa udah tiga kali deh, untung gue ngerti apa yang lo maksud."

Fero tidak bergeming.

Mayra menghadap sepenuhnya pada Fero. "Sebelum lo nanya kenapa gue ngajak lo kesini," Mayra menarik napasnya. "Jadi ceritanya gue mau nraktir lo makan sate disini, soalnya lo udah nyelamatin gue dari bayang-bayang masa lalu."

Fero mngernyitkan dahinya. "Masa lalu?"

"Tadi gue lagi sama Ica ngobrol gitu ya, terus tiba-tiba ajja gue pengen ngeliat ke sebrang jalan. Pas gue nengok, eh ada mantan sama pacarnya. Gue tatap-tatapan sama dia, lama banget. Di jalan juga nggak ada motor atau mobil yang lewat, tapi nggak lama kemudian motor lo—si areng, lewat depan gue, jadi deh gue udahan tatap-tatapan sama si mantan."

Di akhir kalimatnya, Fero melihat ada binar sedih di mata Mayra. Apakah Mayra tak mengharapkannya untuk datang pada saat itu?

◻️◻️◻️

Two BadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang