Kita sahabat, bukan?

54 9 0
                                    

Artajeno Maheswara lupa di mana ia pernah membaca kalimat, sahabat itu seperti bintang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Artajeno Maheswara lupa di mana ia pernah membaca kalimat, sahabat itu seperti bintang. Memang tidak selalu terlihat, tapi akan selalu ada. Menemukan tiga bajingan tengik di sela-sela perjalanan hidupnya yang monoton (Eh bukan tiga. Mungkin hanya dua, karena kelakuan Rija tidak terlalu bikin sakit kepala) adalah hal yang akan selalu ia syukuri sepanjang usia.

Bisa dibilang, Jeno manusia terakhir yang bergabung ke dalam circle pertemanan mereka. Rija dan Javier menjalin persahabatan sejak SD, lalu di bangku SMA mereka menemukan Haekal dan memutuskan untuk jadi trio. Hingga kemudian, saat ospek maba hari pertama takdir mempertemukan Jeno dengan tiga laki-laki tengil yang berhasil mengubah dunianya sampai sekarang.

Siang ini terik matahari begitu menyengat kulit, rasanya seperti neraka sedang bocor. Selepas sholat dzuhur berjamaah, mereka berempat duduk-duduk sebentar di teras mesjid sambil memasang sepatu. Sebenarnya agak bahaya jika keempatnya nongkrong di depan mesjid fakultas, karena baru saja ada mahasiswi yang terpeleset akibat terlalu asik melirik Jeno, hingga lupa memperhatikan jalan di depan.

"Bahaya banget pesona sang wajah indah arsi, sampai bikin anak gadis orang nyungsep ke lantai!" ejek Rija setelah gadis yang terpeleset auto kabur lari karena malu bukan kepalang. Entah dari jurusan maba, namun dari penampilannya bisa dipastikan adalah seorang maba.

Jeno hanya tertawa geli. Begitu orang-orang di Fakultas ini menjulukinya, wajah indah arsitektur. Tak jarang foto Jeno terpampang di mading himpunan arsitektur sebagai daya tarik agar orang-orang mau datang ke acara yang disusun dengan setengah mati oleh Rija dan kawan-kawan.

"Kal, lagi ngapain sih?" tanya Javier tiba-tiba. Dia curiga melihat gerak-gerik sang sahabat.

Sosok yang dipanggil hanya menoleh sekilas, kemudian melanjutkan aktivitas kembali. Sedari tadi Haekal senyam-senyum sendiri di depan kotak infaq. Gelagat anehnya menimbulkan kecurigaan di kepala Javier yang sedari tadi diam-diam memperhatikan.

"Lo mau maling?"

"Kata siapa mau maling?!"

"Dari tadi gue pantau, lo senyam-senyum mulu di depan kotak infaq. Istighfar coba, kali aja otak lo lagi digondol setan!"

Haekal mendelik kesal. Sementara yang lain tertawa mendengar ucapan Javier. "Lain maling mah, aing teh lagi sedekah, anjing!" umpat Haekal. Logat sundanya mengalir begitu saja kalau sedang mengomel.

"Sedekah?"

"Lah iya dong, senyum kan sedekah. Makanya gue senyam-senyum terus di depan kotak infaq!"

Nyaris sepatu Rija melayang ke arahnya. Enggak ada yang tau apa isi otak seorang Haekal. Tingkah lakunya terlalu absurd untuk dijelaskan, selalu bikin siapapun menghela nafas sambil elus dada, menahan geram. Namun meski begitu, tanpa kehadiran Haekal Darmawangsa mungkin bumi akan jadi tempat paling sunyi bagi Javier, Jeno, dan Rija.

Rumah Ke Rumah | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang