Glimpse of us

57 6 0
                                    

Javier sudah lupa kapan terakhir kali dirinya jalan kaki malam-malam di sekitaran Sudirman hanya demi mengambil foto gedung tinggi yang menurutnya indah dipandang mata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Javier sudah lupa kapan terakhir kali dirinya jalan kaki malam-malam di sekitaran Sudirman hanya demi mengambil foto gedung tinggi yang menurutnya indah dipandang mata. Dulu tak peduli pada dingin yang sampai ke tulang, cowok itu masih berdiri kokoh membidik gambar serta gencar mencari spot-spot foto yang bagus. Namun malam ini, waktu baru menunjukkan pukul delapan Javier sudah mengeluh kedinginan. Sepertinya memang sudah terlampau lama tak didatangi, tata letak kota banyak mengalami perubahan. Tak ada lagi yang sama seperti dulu ketika dirinya masih seorang mahasiswa jurusan teknik arsitektur.

Ah, menyedihkan. Bumi seolah sedang memberi tau kepada Javier bahwa segala hal di masa lalunya sudah sirna dimakan waktu tanpa ada satu pun puing-puing yang tersisa. Kata orang bijak, time changes everything. Dan Javier tak bisa jika tidak setuju pada kalimat itu.

"Kinara, aku pulang." Setelah menghela nafas berat, begitu kalimat pertama yang terlontar dari mulutnya. Setelah bertahun-tahun berkelana dan sok menyibukkan diri ke tempat terjauh versinya sendiri, Sudirman jadi tempat pertama yang ia kunjungi. Karena daerah ini bukan hanya tempat biasa melainkan tempat legendaris yang jadi saksi atas sejuta kenangan.

Pulang, satu kata yang bisa jadi alasan sebagian orang untuk merasa bahagia. Namun kalau untuk Javier kepulangan merupakan petaka yang nyata bagi dirinya. Meski terkesan sepele, pulang tak pernah jadi hal mudah untuk ia lakukan. Menghirup udara di kota ini selalu menciptakan sesak di dadanya. Untuk sekedar membuka mata melihat mentari pagi saja terasa sangat salah. Ada satu nyawa yang hilang di kota ini beberapa tahun silam. Meski semua terjadi karena keputusan tuhan, namun tetap ada campur tangan Javier di sana.

Pun sampai detik ini Javier masih belum bisa lupa akan luka-luka serta penyesalan akan hari itu, bahkan meski hanya sekedar memaafkan diri sendiri cowok itu belum mampu.

Pernah sekali Javier pulang, itu pun hanya tiga hari demi menghadiri acara paling bersejarah dalam hidup Haekal, acara pernikahan. Dan sekarang kalau bukan karena Mama yang sering kali memintanya pulang dengan embel-embel kangen atau Papa yang selalu menjadikan Adiknya sebagai sentaja agar Javier mau pulang meski sebentar, dan kalau bukan karena undangan dari Artajeno Maheswara yang akan mengakhiri masa lajang minggu depan nanti, barangkali Javier bisa hidup selama-lamanya di Paris, sampai nanti tuhan memanggil jiwanya untuk berpulang.

"Woi, where are you Japir anjing? Aing teh nungguin sia dari tadi but sia not come come to my home!" Seseorang di seberang telepon langsung mengomel sesaat setelah panggilan tersambung. Sudah jelas itu Haekal, karena sedari dulu Javier tak pernah kenal laki-laki berdarah sunda yang memanggilnya dengan nama Japir.

"Sabar dong bentar lagi nyampe."

"Lama amat! Sekarang di mana?"

"Sudirman."

"Lah, mau ngapain ke sana?"

"Nyari angin doang kok."

"Ck, angin kok dicari? Cewek dong yang dicari!" omel Haekal, masih cerewet seperti biasanya. "Bini gue masak banyak banget nih kayak orang mau hajatan, awas kalau lo nggak jadi dateng!"

Rumah Ke Rumah | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang