Debar tak wajar

78 11 0
                                    

Meski September yang mengesalkan berakhir, masih akan ada bulan-bulan berakhiran ber selanjutnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Meski September yang mengesalkan berakhir, masih akan ada bulan-bulan berakhiran ber selanjutnya. Musim penghujan memang agak menyebalkan dan bikin mood jelek, tapi setidaknya masih ada hal-hal sederhana yang menciptakan senyum di bibir Javier.

Demi memotret bunga matahari mekar, cowok itu rela rebahan di atas rumput hijau yang masih basah. Sekitar tiga bulan lalu bunga-bunga mekar itu hanya berupa biji kuaci yang sengaja ditabur Javier pada halaman belakang rumah. Tersenyum puas, usahanya merawat bunga tersebut mulai dari benih hingga berubah mekar tak sia-sia.

"Bang."

Merasa dipanggil, cowok yang asik sendiri melihat hasil potretannya refleks menoleh. Di ambang pintu ada seorang laki-laki jangkung, masih mengenakan seragam putih abu-abu. Dia baru pulang sekolah.

"Mau apa sih, Nu?" tanya Javier jengah, pasalnya sudah lama menanti namun sang adik malah diam tak bergeming.

Namanya Januar Respati, si bungsu kesayangan Javier. Kakinya melangkah gontai, lalu duduk di samping sang Kakak. "Ck, basah ternyata," ucapnya kesal.

"Pakai ini biar nggak basah." Javier sedikit mengangkat bokongnya, lalu menyerahkan triplek yang ia jadikan alas duduk untuk Januar. Dia rela bokongnya saja yang basah demi adik tercinta.

"Cantik juga ya kalau udah mekar," ujar Januar sembari menatap kawanan bunga matahari di hadapannya.

Javier manggut-manggut, menyetujui pendapat sang adik. Melihat bunga-bunga bermekaran selalu menciptakan bahagia yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, hanya bisa dirasa dalam hati masing-masing. Wajah Januar begitu polos, sepasang matanya berbinar-binar menatap kagum kelopak bunga matahari.

"Bang-"

"Apa sih, Nu?!" Intonasi suara Javier meninggi tapi bukan berarti marah. "Dari tadi Bang Bang mulu, tapi ngomong kagak!" omelnya.

Januar nyengir kuda sambil menggaruk kepala yang sama sekali tidak gatal. Ada sesuatu yang ingin ditanyakan, tetapi ragu-ragu. Untungnya Javier sangat peka akan hal itu. Dengan santai ia merangkul pundak sang adik, berharap perlakuan hangatnya akan membuat Januar lebih terbuka.

"Ada cerita apa hari ini?" tanya Javier.

"Kalau Mama sama Papa beneran cerai, nasib kita gimana, Bang?"

Suasana hening, Javier tak bergeming saat Januar mengharap sebuah jawaban keluar dari mulutnya. Ya, kalau orang tua cerai harus apa lagi? Mungkin menangis, kecewa, dan kesal. Tapi hidup akan terus berjalan, kan? Javier tak bisa memberi jawaban pasti, dia bukan peramal yang bisa memprediksi hidup akan baik-baik saja atau malah sebaliknya setelah perceraian orang tua. Satu hal yang Javier yakini, dunia akan terus berputar tanpa mempedulikan hatinya yang remuk.

"Nu, lo takut?" Javier menatap lekat pada wajah polos adiknya. Pertanyaan itu hanya dijawab Januar dengan anggukan kepala. Wajar ketakutan, Januar adalah anak bungsu yang terbiasa dimanja Mama dan Papa. "Kenapa lo harus takut?"

Rumah Ke Rumah | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang