Satu persatu mulai terlihat

33 10 1
                                    

Javier lupa kapan terakhir kali dirinya duduk santai di halaman belakang demi merawat atau hanya sekedar melihat deretan bunga matahari mekar kesayangannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Javier lupa kapan terakhir kali dirinya duduk santai di halaman belakang demi merawat atau hanya sekedar melihat deretan bunga matahari mekar kesayangannya. Sejak hari di mana Januar menyelesaikan urusannya dengan bumi selesai, sejak hari di mana tubuh Januar menyatu dengan tanah, Javier kehilangan alasan untuk menghabiskan waktu berjam-jam di halaman belakang. Tak ada lagi yang bercerita panjang lebar dengannya hanya untuk membahas alien dan kehidupan luar angkasa tanpa henti di tempat itu.

Dulu Januar pernah bilang, ia ingin jadi manusia cerdas yang menciptakan teknologi canggih agar manusia bisa teleponan dengan alien. Pemikiran bocah itu memang konyol, tapi tak pernah sekali pun Javier mengejek atau menertawakan. Ketimbang anggap remeh, cowok itu malah manggut-manggut setuju akan ide mustahil adiknya.

Dan sekarang, Javier sangat ingin jadi orang cerdas yang mampu menciptakan teknologi canggih agar manusia bisa teleponan dengan orang yang sudah meninggal.

"Yah, udah pada layu." Cowok itu menghela nafas, menyesal karena sudah beberapa bulan bersikap cuek pada bunga-bunga kesayangannya.

"LAH?! PADA MATI BUNGA LO, PIR?!"

Sontak Javier menoleh ke arah sumber suara, didapatinya Haekal dan Rija berjalan memasuki halaman belakang. Kedua cowok itu berdiri tepat di sisi kanan-kirinya, sama-sama menatap deretan bunga matahari yang dulu mekar indah sekarang sudah layu bahkan hampir semuanya mati.

"Gara-gara gue sih udah jarang ngerawat." Javier berujar santai. Meski sedih bunga-bunganya mati, cowok itu tetap memperlihatkan sisi dirinya yang tak terluka sama sekali. Enggak lucu kalau besok di kampus ia jadi bahan bual-bualan Haekal karena menangisi bunga mati.

"Sibuk ngebucin mulu sih lo," ejek si cowok berkulit eksotis, Haekal Darmawangsa.

Ketiganya terduduk tanpa daya di atas rerumputan hijau yang mulai tinggi. Sudah lama pula rumput-rumput empuk ini tak dipangkas oleh Javier. Halaman belakang rumah memang jarang terjamah sejak cowok itu tinggal seorang diri. Ia tak betah jika hanya sendirian di sini, karena selalu ada bayang-bayang Januar dan membuat luka lamanya kembali terbuka.

"Jeno mana?" Javier baru sadar kalau temannya kurang satu. Haekal dan Rija datang tanpa seorang Artajeno.

Rija mengangkat bahu cuek, cenderung terlihat kesal. "Nggak tau tuh, katanya nggak ikutan."

"Alasan?"

"Dia nggak bilang."

Menghela nafas kasar, hanya itu yang bisa Javier lakukan sekarang. Entah sampai kapan perang dinginnya dengan Jeno selesai, Javier pun tak tau. Sejak terakhir kali pertemuan di kantin, keduanya tak lagi saling tegur sapa atau berkomunikasi. Haekal atau pun Rija masih belum sadar sama sekali, karena baik Javier mau pun Jeno begitu pandai bersandiwara seolah tak terjadi masalah apa-apa di antara mereka.

Meski semarah apapun, hati kecil Javier selalu ingin berbaikan lagi dengan Jeno. Namun sang sahabat tampaknya begitu marah hingga Javier merasa kehilangan. Ia tau betul apa alasan Jeno tak datang hari ini. Bukan karena urusan mendadak atau alasan klise apapun, melainkan tak ingin berinteraksi banyak dengannya.

Rumah Ke Rumah | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang