Bisakah kita?

46 7 0
                                    

Kalau boleh jujur, jam sembilan di hari sabtu masih jadi pagi-pagi buta bagi seorang Hadirija Sadendra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalau boleh jujur, jam sembilan di hari sabtu masih jadi pagi-pagi buta bagi seorang Hadirija Sadendra. Meski malas tanpa ampun menyerang, meski ngantuk pun masih di ambang mata, cowok itu tetap memutuskan untuk bangkit dari kasur demi menjemput sang kekasih yang katanya ada kelas karena dosen paling killer se-teknik elektro mendadak mengumumkan pergantian jadwal kuliah.

"Tumben Mas bangun pagi pas libur." Itu Aira, adik perempuan Rija yang saat ini kelas dua SMP. Terbiasa melihat Mas-nya molor sampai matahari tinggi di hari sabtu, hingga pemandangan kali ini agak asing di matanya.

"Ada urusan di kampus."

"Ada urusan apa mau pacaran?"

Setelah meneguk segelas susu hangat buatan Ibu-nya, cowok itu terkekeh malu. Tebakan sang Adik sama sekali tak meleset. Sebelum berlalu, diusapnya kepala Aira lembut dan penuh kasih sayang. "Bye, pergi dulu!"

"Kirim salam ke Kak Javier dan Kak Jeno!"

"Dasar bocil genit, tau aja mana yang ganteng," ejek Rija disertai gelak tawanya yang renyah. Tak peduli di manapun berpijak, dua sahabatnya itu selalu jadi idola perempuan.

Seolah langkahnya direstui semesta, hangat mentari pagi pun seperti sedang merengkuh erat tubuhnya. Hanya membayangkan rupa elok sang gadis pujaan, Rija rasa dirinya mulai gila. Senyam-senyum nggak jelas kayak orang senewen, sampai tukang ojek online di lampu merah melihatnya ngeri-ngeri sedap. Entahlah, Rija terlalu bersemangat menyambut hari ini.

Dengan degup jantung yang semakin kencang, begitu berani cowok itu mengetuk pintu yang tertutup rapat. Tak lupa sembari mengucapkan salam dengan suara paling lembut yang ia bisa.

"Selamat pagi, Ja-"

Pintu terbuka, langsung menampakkan wujud seorang Indah Kinara Lavika yang tersenyum lebar sembari merentangkan kedua tangan. Gadis itu pun bersemangat menyambut pagi nan cerah. Tanpa perlu izin Rija melangkah maju, memberi peluk hangat meski tak diminta. Hanya naluri dalam dirinya saja yang ingin memberi Kinara sebuah pelukan.

"Kok tau aku bakal datang?" tanyanya.

Kinara dalam pelukan terdiam sejenak karena sosok yang tiba tak sesuai ekspektasinya. "Hm, a-aku kenal sama suara motor kamu," ucapnya bohong.

"Udah mau berangkat, kan? Ayo aku anterin, hari ini aku nggak sibuk sama sekali. I am free for you today." Rija menyunggingkan senyum, diraihnya pergelangan tangan sang gadis agar segera ikut bersamanya.

Jam segini Bunda sudah berangkat ke toko kue, di rumah hanya ada Kinara seorang diri. Karena itu, Rija tak perlu pamit dan berbasa-basi masuk ke rumah. Lagi pula bukan hal etis baginya masuk ke rumah perempuan apabila sedang tak ada orang tua di dalamnya.

"Kamu seriusan bangun pagi di hari sabtu?"

"Apa? Aku nggak bisa denger." Rija terpaksa meninggikan suaranya. Bahkan terkesan seperti sedang teriak. Jalanan padat dan suara klakson yang silih berganti membuat suaranya seolah hilang terbawa angin.

Rumah Ke Rumah | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang