Bucin 1: Debate!

261 18 15
                                    

Lintang ... Aku menyahut ketika saling menatap jalan menuju kampusku. Ritual ini sudah terhitung wajib untuk bertemu di awal hari.

Hm?” balasnya sedang fokus ke jalan.

“Bentar lagi kita kan udah semester lima, kamu belum ada niat nikahin aku gitu?”

Mendadak ujung matanya menyorotku amat jengah, “Ya Allah, Ana ... mesti bilang berapa kali sih, aku pasti nikahin kamu, cuman belum sekarang. Coba bayangin kalau kita nikah sekarang, kamu mau dikasih makan apa coba? Laporan praktikum? Nunggu sampai wisuda nggak bakalan lama lagi, kan, Na?” jawabnya terdengar masuk akal, dan aku tak punya pilihan lain selain membuang muka ke jendela.

“Kita sama-sama fokus ke studi dulu aja, Na, kamu nggak usah ke-trigger seangkatan yang milih nikah. Mungkin mereka udah siap,” katanya lagi.

Segera kupalingkan kembali mukaku, memberanikan diri menatap dia yang sedari dulu rasanya tak pernah memberi respon lain setiap pembahasan ini.

“Gimana kalau tiba-tiba ada cowok lain yang dateng ke Ayah? Terus Ayah main terima aja? Ceritanya beda lagi loh, Lintang,” balasku ikut meyakinkannya sebuah opsi berbeda.

“Ya nggaklah, pokoknya aku yang duluan. Kalau perlu aku bakal jagain kamu terus biar semua tahu kamu punya siapa.”

“Terus kita mau sampai kapan kaya gini, Lint?Emang kamu nggak bosen pacaran terus? Kamu nggak ngerasa kasihan liat aku? Coba deh kamu inget-inget lagi jaman awal-awal pacaran, kamu pernah ngomong apa? Lulus SMA kamu bakal apa? Bakal nikahin, kan? Kita bahkan udah sama-sama dewasa, harusnya kita udah punya keputusan, Lintang,” ujarku naik turun menyudutkan.

“Na ... aku tuh nggak pernah lupa kata-kata aku, aku kan udah janji bakal nikahin, tapi please lah, jangan sekarang juga, ngurus diri aku aja belum bisa gimana kalau udah berdua. Bang Harun juga belum nikah kan, masa kamu mau duluin abang kamu sih?!”

Hash, sudahlah Ana, sudah!

Percuma mengajak Lintang berdebat masalah begini, dia pasti selalu punya ribuan alasan untuk menumbangku, dan mungkin memang belum saatnya aku memenangkan inginku, aku harus menahan sedikit lagi dengan embusan napasku yang kini mengalir pasrah.

“Terserah kamu deh, doa aja banyak-banyak semoga kita beneran jodoh,”

“Loh kok ngomongnya gitu sih, Na? Kamu nggak mau jadi jodoh aku apa?” decitnya kedengaran melontarkan nada kusut namun aku sudah tak ingin menggubris lagi. Kukeluarkan ponselku hendak mengecek sudah berapa lama aku duduk di dalam mobilnya.

“Oh iya, nanti siang deket kampusku aku ada bazar, kita ke sana ya. Sekalian pulang dulu ambil Alisha, Papa kemarin sempet nanyain juga soalnya,” katanya lagi bertujuan mengalihkan pembahasannya dan kubalas sedikit sinis sebelum kembali ke layar hendak memberi kabar kepada Faya, temanku di kelas.

“Ya kali bazar ngajak Alisha, kamu yang mau tenangin kalau dia rewel?” Aku meliriknya heran lalu kembali mengarah sepenuhnya pada otakan di ponsel, bayangkan dia hendak membawa bayi setahun ke bazar, yang ada hanya aku yang kerepotan.

“Ya udah berdua aja kalau gitu,”

“Enggak ah. Mengundang fitnah!” tolakku.

Semenjak menginjak fase kuliah, aku memang suka menolaknya setiap kali diajak ke mana-mana, kami jarang keluar bersama lagi, kalau berhasil jalan pun pasti hanya ke Grand Indonesia, paling jauh ke Kemang setahun lalu mencari referensi buku di mal daerah Kemang. Selebihnya, kutolak.

Selain karena Lintang selalu mengajaknya hanya berdua saja, aku juga punya serentetan tugas kuliah yang tidak boleh kutinggalkan. Merelakan waktuku dengan sia-sia bersama Lintang sama halnya merelakan waktu semalaman untuk menyelesaikan tugasku sebelum pagi menyingsing, itu juga kalau berhasil selesai.

Nggak Mau Pacaran LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang