Bucin 11 : Kutub & Kamuflase Beruang

78 11 1
                                    

SELESAI melakukan perawatan wajah sekitar dua jam-an menunggu sambil kukerjakan juga setengah tugas baruku, Lintang mengajakku lengser sebentar ke Kuningan untuk mengisi perut. Kawasan bisnis yang dipenuhi gedung pencakar langit ini pertama kalinya kudatangi lagi setelah lulus SMA bersama Lintang. Tahu kan date terbaikku dengan Lintang tidak pernah jauh dari mobil, dan ini adalah kali pertamanya aku menurut diajak ke sini setelah sekian lama menolak jika hanya berdua saja.

"Cobain ini deh, Na, enak banget. Kemarin aku baru nyobain bareng temen. Mau?" tawarnya menunjuk hidangan Mushroom & Avocado on Toast di buku menu yang dipegangnya.

Iya enak, karena pake alpukat!

Heran, secinta apa sih dia dengan buah anti-kanker itu? Iya sih, alpukat punya nilai gizi yang baik, dianggap sebagai "buah super" karena memiliki posisi khusus dalam kalori makanan, kaya berbagai nutrisi, vitamin, mineral penting, mengandung sumber asam lemak tak jenuh yang baik, kandungan gula rendah, dijadikan sebagai sumber serat makanan, dan merupakan sumber energi yang baik, tapi tidak perlu juga setiap makan bersama pesannya harus yang avocado, avocado, avocado terus kan?

Heran.

"Boleh," jawabku singkat kemudian melirik ke varian minuman yang disediakan. Ujung-ujungnya pesannya es teh juga.

Pramusaji yang melayani kami tadi beranjak segera setelah mencatat pesananku dan Lintang, kebetulan kita duduk bersampingan agak ke pojok dekat jendela, tidak begitu menonjol di tengah para muda-mudi yang juga datangnya dengan orang-orang spesial mereka. I don't know its 'uwu' or maybe a toxic.

"Besok ke rumah ya, Na, Mama udah siapin baju buat kamu," sahutnya tidak lepas dari layarnya sebentar, lalu kembali menghadapku.

"Baju?"

"Iya, nikahan Kak Akbar kan lusa, bajunya baru dateng tadi malam. Aku kabarin kamu tapi nggak dibuka-buka pesanku,"

"Baju apa?" Aku masih bingung.

"Seragaman, Na. Dinda nggak mau dateng kalau kamu nggak dijahitin juga, ukurannya persis banget sama Dinda. Jadi nanti kaya kembaran deh kamu sama dia,"

"Aku ikut emang?"

"Lah iya dong, mumpung keluarga pada dateng masa kamu nggak dateng? Harus dateng dong, nanti aku kenalin ke ibunya Papa, biar dapet restu,"

"Malu," suaraku jadi layu menciut.

"Loh kok malu, nanti kan jadi keluarga juga. Coba liat aku dulu," ucapnya berani mengangkat wajahku yang sempat tertunduk, aku agak kaget tapi tidak memberi perlawanan. Lebih menurut, iya.

"Denger ya ... kamu nggak boleh malu, keluargaku keluarga kamu juga. Gimana mau nikah kalau ketemu keluargaku aja nggak berani. Pokoknya lusa aku bakal dateng jemput, dipulangin sebelum magrib sesuai perjanjian sama Ibu, kamu mau nggak make up, nggak apa, terserah, yang penting dateng. Okey?"

"Boleh emang nggak make up? Nggak malu?"

"Kapan sih emang aku ngeliat kamu dari tampang?" ucapnya lebih terdengar meledek. Aku pernah mengatakannya dan sekarang dibalik. Tawaku jadi merekah tanpa izin diikuti Lintang yang bergegas menunjukkan gambar baju yang dikirimnya ke WhatsAppku.

Satu yang bikin salfok, nama kontakku
... Sayang ❤️

Ya Allah, ya Allah, aku tidak boleh baper, ahhh tolooong!

"Sengaja aksen bajunya nggak rame, Na, aku yang ngomong ke Mama kalau kamu nggak suka rame, makanya disimpelin aja jadi dress, Dinda juga sukanya yang dress brokat gini. Paling Mama doang nanti yang agak beda dikit pake rok batik, namanya juga ibu-ibu yang mesti keliatan coaple bareng suami,"

Nggak Mau Pacaran LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang