Bucin 8: Pasien Manja

110 8 3
                                    

Salah satu hal yang paling tidak kusenangi adalah, Lintang kenapa-napa.

Belum lama mengelilingi pabrik ayah tadi, pesannya tiba-tiba masuk dengan mengirimkan gambarnya tengah berselimut sedada, wajahnya pucat. Aku langsung bergegas menyusul kediamannya tatkala tahu dia tengah demam. Bang Harun sampai menggeleng, baru juga dinasihati untuk tidak berlebihan mencintai Lintang. Masalahnya Lintang sakit, kalau dia tidak kenapa-napa sih mau salto depan belakang juga aku mana peduli.

Driver taksi online yang kemudian mengantarku untuk sampai di depan rumahnya. Tante Yuni ikut cekikikan melihatku datang tidak sebagai calon menantunya lagi, melainkan sebagai dokter pribadi anaknya.

Tatkala kutemui Lintang di sofa, dia benar-benar lemas menyaksikan tayangan kartun di sana, pandangannya sayu menghadapku lalu kembali ke TV. Tidak tahukah dia bahwa aku tidak bisa melihatnya sepucat itu?!

“Nggak apa-apa, Na, Lintang demam tuh paling mentok dua hari aja. nggak usah dikhawatirin,” ucap Tante Yuni.

“Ma, ini beneran sakit loh, masa dibilang nggak apa-apa?!” keluhnya tidak terima, bahkan dia tak sungkan membawa jemariku dalam genggamannya, bak meminjam panas dari tubuhku teruntuk kondisinya yang menggigil.

“Lepasin nggak tangan Ana! Atau Mama panggilin Papa pulang seret kamu ke kompor dunia, mau?!”

“Ma, Lintang nggak mood bercanda dulu, ini pusing banget loh, Ma,”

“Dih, siapa yang bercanda? Kamu tuh yang mesti sadar, kalau udah nikahin Ana sih mau dipeluk depan Mama juga nggak jadi masalah. Ini kok pacaran doang udah kaya nikah puluhan tahun aja,” omel Tante Yuni.

“Mau dibawa ke rumah sakit nggak, Lint?” selaku, sembari melepas jemariku beralih membereskan rambut-rambutnya yang berantakan. Tidak enak pegangan seperti tadi yang mengganggu mata siapa pun yang melihat. Masalahnya hanya satu, kami belum halal untuk melakukannya.

“Nggak ah, emangnya kamu belum diajar ngurus orang demam apa?!” katanya.

“Aku masih pre-klinik Lintang, masih banyakan belajar teori ketimbang praktiknya. Entar deh kalau udah masuk klinik, kamu pengen dibedah pun biar aku yang tanganin. Kalau demam doang mah, Tante Yuni juga sanggup kali ngurusnya,”

“Ya terus ngapain kamu sekolah kedokteran, kalau nggak pengen ngurus aku juga?” ujarnya tidak terima. Aku jauh lebih tidak terima, dia mulai menganggap kehadiranku tidak begitu berguna.

“Kalau gitu kamu tunggu di sini, aku pulang ambil alat dulu, biar kamu tahu nggak semua yang punya peran mesti yang punya jasa. Aku di sini tuh karena ngerasa punya peran, Lint, kamu nggak anggap aku penting ya?” manikku menyelidik heran.

“Tuh kan, marah lagi. Kamu mah, orang sakit bukannya disayang malah diomelin,”

“Kamu juga sih, sakit tuh orang banyakin istigfar bukan malah ngatain orang nggak berguna! Orang demam tuh dosanya lagi dihapuskan, ini bukannya inget dosa malah nambah dosa,”

“Na, Na, ceramahnya di-pending dulu tolong, kepala aku udah makin pusing diomelin dari tadi pagi,” selanya menghentikan aku untuk mendumel, berubah jadi mengibainya, rambut-rambutnya tetap kusapu agar lebih tenang sedikit.

“Salah sendiri, disuruh minum aja udah kaya disuruh neguk racun. Gimana mau cepet sembuh coba?” bela Tante Yuni tidak ingin disalahkan Lintang.

“Namanya juga orang sakit, mana ada orang sakit neguk airnya kaya habis maraton. Jelasin tuh Mama, Na, orang sakit nggak boleh dipaksa makan, sel darah putihnya lagi sibuk bunuh benda asing yang masuk ke tu—” penjelasan sok iya Lintang ikut tertahan mendengar sahutan salam dari luar pintu rumah. Tante Yuni bergegas membuka pintu menemui pemilik suara yang diklaimnya pasti adalah Dinda. Ini memang sudah jam pulang sekolah.

Nggak Mau Pacaran LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang