Bucin 16: Bala Bantuan Ibu

71 9 1
                                    

BERHUBUNG sudah ada Faya, aku harus kembali ke rumah untuk sekadar menunjukkan diriku ke Ibu bahwa anaknya masih bernyawa setelah sepanjang malam tak memberinya kabar. Biasa Ibu tidak tenangan kalau anak-anaknya masih di luar rumah setelah magrib. Tidak sempat juga kukabari dia bagaimana kabarku di sini, meski hanya sehari.

Dan berhubung saldo terakhirku sudah habis digunakan untuk menjemput Faya malam kemarin sekaligus membelanjakan gorengan sebagai pengganjal perut, maka aku pulangnya tidak punya pilihan lain selain minta dijemput Lintang. Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk berdamai dengannya kembali.

Dia datang sekitar lima belas menit setelah pesannya dibaca, aku jadi salah tingkah karena ulah buruk sangkaku kemarin. Tahu-tahu minta dijemput juga. Pertama kali masuk ke joknya, yang pertama kali ditanyakan adalah keadaanku, apakah aku sudah meningan setelah kerasukan? Atau gejala PMS-ku sudah turun? Atau apa yang membuatku jadi kesetanan kemarin? Makin salah tingkah lagi kan aku dengan ulahku sendiri!

“Maaf. Kemarin aku marah-marah nggak jelas,” lirihku sedikit lugu mengakui kesalahanku.

“Belum apa-apa, udah dilanggar aja. Baru kemarin dibilang jelasin dulu, baru marah. Ini nggak ada angin, nggak ada geledek, ngamuk. Kagetlah,”

“Iya, maaf,”

“Jangan gitu lagi lain kali,” ucapnya, lantas aku mengangguk patuh.

“Iya,”

Lanjut bahasan Lintang kemudian aktif kembali menceritakan pengalaman dia mengunjungi rumah Kak Alma dengan Bang Harun. Katanya sepanjang jalan dia dan Bang Harun membahas banyak hal, mereka berdua memang jarang bertemu dan katanya bisa langsung seakrab teman lama yang baru dipertemukan.

Harusnya memang seperti itu sih, mau tidak mau kan Lintang dan Bang Harun akan jadi keluarga juga nanti, masa akurnya tunggu kalau sudah sah sih? Dan aku lumayan percaya skill retorika Bang Harun pasti sudah berbusa depan Lintang yang menanyakan keseriusannya. Tahu kan, kakak lelaki mau sejahil-jahilnya ke adik tetap saja punya perhatian, dari ilmu yang kupelajari di beberapa tempat mengaji, bahasa kasih para lelaki, including kakak lelaki yang jahil, biasanya memang kurang bisa menampakkan kasih sayangnya dari sekadar lisannya, mereka punya peran di balik punggung yang tak nampak, namun ada.

“Ngumpet nggak dia ketemu Kak Alma?”

“Nggak ngumpet sih. Tapi, pulangnya lemes, udah nggak bisa nyetir lagi. Padahal yang bukain pintu bukan Kak Alma loh, adiknya doang. Udah gitu dipanggilin ayahnya, untung bisa cepet-cepet handle diri, berabe aku kalau Bang Harun jadi gagap di tempat, bisa disangka aku yang mau lamaran,”

“Ngomong apa?” mulutku mendadak mengeluarkan balasan spontanitas itu. Bukannya dia merasa bersalah, malah dia menyengir bangga di depanku.

“Cemburu ya?” ucapnya jahil.

“Dih, enggak!” Aku balas penuh gengsi.

“Coba ngomong sekali lagi, kurang jelas dengernya,”

“Apaan sih Lintang!” nadaku berdesis tidak ingin dibercandai begitu, kulihat Lintang hanya balas tersenyum puas melanjutkan kemudinya menuju rumah segera.

Tidak begitu lama berada di mobilnya, kita sudah sampai di depan rumahku, kubukakan pagar halaman lebar-lebar dikarenakan belakangan ini dia jarang silaturrahmi dengan Ibu, jadi sengaja mampir untuk bertemu Ibu dulu.

Pintu yang setiap harinya memang terkunci segera kuketuk, biasanya setiap pagi memang suka ditutup dikarenakan Ibu sibuk mengurus Alisha sambil berberes, supaya aurat Ibu aman tidak dilihat tetangga baik sengaja atau tidak, pintu rumah harus ditutup dan Ibu bebas mau pakai pakaian kebesaran yang mana, dasterkah, kaoskah, senyaman Ibu saja.

Nggak Mau Pacaran LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang