Move On : Obrolan Tetangga

42 6 0
                                    

LAIN di kampus, lain juga di rumah.

Jika di kampus mereka belum bisa menerima apa yang kuputuskan, sampai beberapa hari ini mereka sengaja membentuk tim lambeturah kelas untuk mengepoi media sosial Lintang saja, lebih parahnya mereka juga senang bergerombol menyisakan aku di luar dari kumpulan mereka di meja Tifah. Kebetulan Tifah satu-satunya teman kelasku yang Lintang accept di Instagram, beberapa temanku seperti Audrey, Sandra, dan beberapa yang lain jadi suka histeris di sana setelah tahu sosok Lintang seperti apa.

Untuk kali pertamanya, aku merasa berhasil tak termakan cemburu lagi Lintang dibicarakan perempuan lain, bahkan di depan telingaku sendiri. Ruang untuknya sepertinya benar-benar sirna ikut terbawa hanyut di kaos Bang Harun, sampai mendengar Sandra menyempurnakan deskripsi tentang Lintang dengan seragam basket biru tua dengan rambut tergerainya pun aku tak peduli.

Lain halnya ketika di rumah, seisi rumah seperti tak habis kenapa-napa. Sama dengan urusan Bang Harun dengan Kak Alma kemarin, seisi rumah seperti sengaja mendiamkan urusanku sampai kurasa semuanya sudah kuselesaikan sendiri. Ini urusanku, bukan urusan orangtuaku atau keluargaku yang lain, jadi aku yang tahu bagaimana menyelesaikannya.

"Bu, aku sama Alisha keluar sekarang, ya," pekikku meminta izin dari ruang tengah sembari memasangkan sepatu kecil Alisha hendak berkeliling komplek di waktu sore, sepulang dari kuliah.

"Hati-hati," balas Ibu yang masih bergulat dengan piring-piring kotor di dapur.

Segera kugendong Alisha beres sepatunya terpasang dan keluar dari rumah menyambangi sekeliling kompleks sesuai rencana tadi. Sudah lumayan lama juga ya tidak berkeliling, sekaligus melatih Alisha yang sekarang sudah bisa berjalan pelan-pelan.

Dua hal yang ikut kurasakan seperti yang Ibu rasakan terhadap Alisha, aku tidak sabar menyaksikan pertumbuhan Alisha yang semakin berkembang, sekaligus tidak rela Alisha akan bertambah besar. Rasanya mungkin akan berbeda memeluknya yang masih balita dan ketika nanti sudah sekolah. Mungkin tidak semenggemaskan sekarang lagi.

"Eh ... ada Alisha. Assalamualaikum, Icha," tegur salah seorang tetangga yang rumahnya beberapa rumah dari rumahku. Sebagai tetangga yang baik kubalas dia dengan senyum terramah, mengingat dalam ajaran yang kuanut tetangga adalah orang yang patut dikenai perbuatan terbaik. So, sebagai tetangga tidak diperkenankan saling membicarakan keburukan tetangga yang lain ya, lebih baik diam daripada berbicara tapi menyakiti perasaan si tetangga. Fix.

"Waalaikumussalam, Tante," balasku ikut memberikan senyum, "Naufal sama Naumi ada?" Tidak lupa kutanyakan kabar anak-anaknya, kebetulan kedua anaknya teman sekelasku ketika SMP kelas satu dulu, mereka kembar yang sama-sama berprestasi, sayangnya ketika lulus kita tidak satu sekolah lagi, mereka lanjut di SMA tetangga dan jarang sekali bertemu, paling di acara-acara yang diadakan di sekitaran kompleks-itu pun kalau sama-sama hadir, huft!

"Ada tuh di dalam, Na, lagi sama-sama sibuk kerja tugas. Tumben ini Ana keluar jalan-jalan, mau ke mana?"

"Hehe, sama Tante, kaya si kembar, tugas kuliah juga numpuk. Jadi ini mau refreshing aja keliling-keliling biar nggak sumpek liatin kertas mulu, hehe,"

"Kata Naumi kamu kuliah kedokteran, ya?" tanyanya lagi.

"Alhamdulillah, Tante," balasku sedikit malu, tahulah pandangan orang lain terhadap prodi ini seperti apa, bagai pandangan mereka sudah melihatku habis melakukan sesuatu yang wah saja, padahal belum melakukan apa-apa juga, hehe.

"Nanti bisa ke rumah, nggak? Tante nggak pernah ngecek kolesterol lagi soalnya. Mumpung ada kamu nih, mending sama kamu. Lebih hemat," katanya.

"Oh boleh, Tante. Sekarang juga boleh," Aku menjawab antusias.

Nggak Mau Pacaran LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang